7 - Red Day

214 25 7
                                    

Bel istirahat kedua berbunyi, tapi Ana tak beranjak juga dari bangkunya. Tiba-tiba saja perutnya sakit dan badannya lemas. Dia menduga datang bulannya telah tiba. Jika dia menstruasi, kondisinya akan seperti ini.

"Na, lo nggak papa?" tanya Wendy khawatir saat melihat wajah pucat Ana.

"Nggak papa, kok. Kayaknya gue datang bulan. Lo pada duluan ke kantin aja, gue mau ke kamar mandi dulu." Dia mengambil pembalur dan berlari keluar aula meninggalkan teman-temannya yang tampak khawatir.

"Kita susul aja?" usul Nayya.

"Jangan deh. Kayaknya dia bisa sendiri," jawab Kirana. "Tapi, gue khawatir sama dia, sih."

"Kita ke kantin, yok. Dia pasti hubungin kita kalau ada apa-apa," ucap Jehan pada teman perempuannya yang belum bergerak.

Dengan terpaksa, mereka pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka. Di sana, Jehan dan Carel yang mengantre untuk memesan makanan, sementara Kirana dan Wendy mengantre minuman. Nayya bertugas mencari meja yang kosong.

Kantin sangat ramai, banyak peserta yang mengantre untuk memesan. Antreannya rapi, tak ada keributan yang tercipta. Kantinnya juga luas, jadi para peserta tak perlu khawatir kehabisan meja.

Mereka pun selesai mengantre dan mulai menikmati hidangan yang mereka beli. Tak lama, datang segerombolan geng mendekati meja mereka.

Geng Arga.

"Halo, cantik," sapa Naja genit pada Wendy.

"Jangan sampai gue colok mata lo pakai garpu ya, Kak," terangnya dengan marah sambil menyodorkan garpu ke arah Naja. Lelaki itu meneguk salivanya kasar, menatap takut dan kembali terdiam.

"Kita izin gabung, ya. Meja yang lain udah penuh," kata Marka dengan sopan, yang mendapat anggukan dari mereka.

Untung saja mejanya panjang, jadi muat untuk menambah beberapa orang.

"Halo, Kirana," sapa Jeri yang mengambil tempat duduk di sebelah Kirana.

Kirana tersenyum. "Halo, Kak Jeri."

Sementara itu, Arga terus mencari keberadaan Ana di meja ini, namun matanya tak salah. Ana tak ada di sini.

"Ana mana?" tanya Arga.

"Tadi ke kamar mandi, Kak. Katanya, dia mens," jawab Wendy. "Kasian dia. Mukanya pucet banget, terus keliatan sakit perutnya."

"Emang kalau cewek lagi datang bulan kayak gitu, ya?" tanya Rafael.

"Iyalah, Kak. Apalagi kalau lagi hari pertama, itu pasti sakit banget perutnya," sahut Wendy. Yang perempuan lain hanya mengangguk setuju, membenarkan ucapan Wendy.

"Gue susulin dia, deh. Duluan, ya!" pamit Arga.

Mereka terdiam sambil menatap kepergian Arga. Teman-temannya menatap takjub. Perubahan Arga setelah bertemu Ana hanya berlangsung 24 jam.

"Moga Ana nggak kenapa-napa, ya," doa Nayya.

*****

Ana meringis kesakitan di dalam kamar mandi. Benar saja, dia menstruasi, hari pertamanya. Ana sudah memakai pembalut—yang untung saja tidak bocor, tapi sakit perutnya benar-benar tak terkondisikan. Sakitnya seperti keram, tapi ada nyerinya juga. 

Untungnya lagi, Ana selalu membawa pembalut ke mana-mana.

Ana keluar dari toilet. Langkahnya gontai sambil memegangi perutnya yang kesakitan. Kakinya kian melemah tak kuat, hingga dia terjatuh di lantai.

Dia memandangi sekitar yang terlihat sepi. Tak ada orang yang bisa menolongnya sekarang.

Ana bingung dalam kondisi ini. Dia bahkan lupa membawa ponselnya yang berada di tas.

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang