17 - Memaksa

152 15 10
                                    

Bel yang menandakan istirahat pertama telah berbunyi. Arga segera siap-siap untuk pergi ke kantin bersama teman-temannya. Rasa semangatnya muncul kembali karena ingin bertemu dengan Ana.

Ah, perempuan itu memang selalu membuatnya rindu.

"Mau pesan nggak?" tanya Naja pada teman-temannya.

Rafael menggeleng dan menduduki tempat yang mereka pilih. "Gue nunggu Sylvi. Katanya, dia bawa bekal buat gue."

"Lo, Ga?" tanya Jeri.

"Gue nunggu Ana, bentar. Lo pada duluan aja," jawab Arga sambil celingukan mencari sosok Ana.

Jeri dan Naja pun pergi duluan memesan makanan. Dari belakang, mereka disusul oleh Carel dan Jehan yang ikut mengantre beli makanan.

Kening Arga mengerut kala melihat Wendy dan teman-temannya datang tanpa Ana. Wendy lebih dulu menempati meja, di samping meja Arga, dan kemudian duduk. Dia menatap Arga seolah memberi pertanyaan kepadanya. "Nyari Ana, ya? Ana lagi ke perpus, Bang."

Sontak, Arga berdiri dan langsung menghampiri Wendy. "Ngapain di perpus?"

Wendy mengedikkan bahunya. "Gue udah ajakin dia ke kantin, karena gue tahu lo nungguin dia. Si Carel dan Jehan juga udah bujuk Ana, tapi Ana tetap mau ke perpus. Katanya, karena ada buku yang pengen dia cari. Tapi, gue rasa, cuma alibi dia doang, biar nggak ketemu para fans lo."

"Makasih, ya. Gue susulin dia, deh."

Benar, Arga menyusul Ana ke perpustakaan. Dia sedikit kesal dengan Ana yang tidak memberitahunya terlebih dahulu.

*****

Ana berubah pikiran menyusul Arga ke kantin. Dia pergi ke perpustakaan untuk menghindari tatapan para penggemar Arga.

Walau sebenarnya sama saja. Dia tetap menjadi pusat perhatian para murid di sini. Bahkan ada yang secara terang-terangan bertanya soal hubungannya dengan Arga.

Ana tidak menjawab dan terus melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Dia berusaha tak peduli dengan ramainya manusia ini.

Sesampainya di perpustakaan, Ana langsung mengarah pada rak novel. Dia sangat suka membaca novel, apalagi tema romansa. Dan untung saja, di perpustakaan ini lengkap menyediakan novel yang dia mau.

Dia pun mengambil satu novel untuk dia baca. Lalu memilih tempat duduk yang paling pojok. Dia pun mengeluarkan penyumbat telinga kabel. Dia pasang di telinga dan dicolokkannya ke ponselnya itu. Dia pun memutar lagu kesukaannya.

Ana mulai membaca halaman pertama.

Dalam situasi ini, harusnya dia tenang. Namun, entah mengapa, lagi-lagi dia merasa seluruh mata masih memandang ke arahnya. Apa yang membuat orang-orang terus memandangnya? Mungkin mereka tak percaya perempuan miskin sepertinya bisa dekat dengan Arga.

Ana menghela napas. Namun, dia berusaha fokus untuk membaca novelnya.

"Ana," panggil seseorang yang membuat Ana terkejut, menoleh ke samping.

"Kak Arga," bisiknya. "Kakak ngapain ke sini?"

"Lo kenapa nggak ke kantin? Tadi gue nungguin lo di sana."

Mereka mengobrol dengan suara pelan. Karena memang di perpustakaan mempunyai peraturan untuk tidak mengobrol dengan suara yang keras.

"Aku malas ketemu fans kamu, Kak."

Kedatangan Arga menghampiri Ana justru sedikit membuat kehebohan. Ada yang secara terang-terangan mengabadikan momen itu. Ada juga yang berbisik-bisik mengenai mereka.

Arga melotot tajam ke arah murid-murid yang heboh itu. "Sopan kalian kayak gitu?"

Ciut. Mereka langsung menunduk lalu berbalik untuk tak melihat Ana dan Arga lagi.

Arga kemudian berbalik ke arah Ana. "Maaf, ya, bikin lo nggak nyaman," ucapnya tak enak hati sambil menggenggam tangan Ana.

"Bukan salah kamu, Kak. Salah fans kamu aja yang belum terima aku."

Ana kemudian fokus kembali membaca novel dengan tangannya yang masih digenggam Arga. Lelaki itu menatapnya sambil menopangkan kepalanya pada satu tangannya.

"Pacaran, yuk."

"Ngawur kamu."

"Gue serius, Na. Kita pacaran, yuk." Arga tak ada romantisnya mengajak Ana pacaran di perpustakaan.

Ana menoleh dengan ekspresi datarnya. Sedetik kemudian beralih fokus lagi kepada novelnya. Dia diam tak ingin menjawab apapun.

"Lo diam, berarti jawabannya iya, Na."

"Aku diam karena kamu rese dari tadi."

"Pacaran sama gue untungnya banyak loh, Na. Tinggal lo jalanin aja bareng gue."

"Maaf, nggak tertarik."

"Yah, tapi sayang, Na. Dalam kamus gue, nggak ada kata penolakan."

Ana mendelik kesal ke arah Arga yang menatapnya dengan tatapan tengilnya itu. "Jangan sampai buku ini aku lempar ke wajah kamu, Kak," ancam Ana.

"Jangan marah gitu dong, Sayang."

Ana hanya menghembuskan napasnya kasar. Bersama Arga, dia memang harus sabar.

*****

"Ana! Tunggu, Na!"

Ana berjalan terus tak tahu arah, kalau bisa dia lari menghindari Arga.

Namun, bukan Arga namanya jika tidak mendapatkan apa yang dia mau. Beberapa saat, dia mampu menahan tangan Ana untuk menghentikan langkahnya.

"Kenapa, sih, Na? Perasaan gue sebercanda itu untuk lo?"

Ana mendekat ke arah Arga. Dia melepaskan tangan Arga dengan sekalin sentak. Wajahnya datar nan dingin menarap Arga yang ingin mendapatkan jawaban. "Kak, aku lagi menghindari yang namanya pacaran. Harusnya kamu paham hal itu, Kak."

"Tapi, gue bukan mantan pacar lo yang psikopat itu, Na! Gue, Arga!" balas Arga dengan tajam.

"Dalam seminggu, aku kenal kamu. Aku sudah bisa menilai, kamu itu sama seperti dia, Kak. Kamu pemaksa, egois, posesif, dan sebagainya yang juga dia punya. Dan kamu pikir, selama seminggu itu kita dekat, aku baper sama kamu? Enggak, Kak!" Ana mengusap rambutnya sebentar. Kemudian dia menghela napas. "Aku sudah berusaha menghindar dari kamu, tapi nggak bisa. Karena kamu yang selalu berusaha untuk mendekati aku, akhirnya aku bingung gimana caranya jauhin kamu."

"Na, gue tulus sama lo! Dan camkan ini di otak lo, ya. Gue nggak sama seperti mantan lo itu! Gue masih punya hati, Na."

"Kalau kamu masih punya hati, berarti kamu bisa menghargai keputusan aku untuk hubungan kita, Kak."

Arga menatap Ana dingin. Dia terus memajukan tubuhnya, tak peduli dengan Ana yang terus menahannya. Hingga Ana menabrak dinding di belakangnya. Dalam situasi ini, aura Arga seperti hendak memakan seseorang. Kedua tangan Arga pun mengukung Ana agar tidak pergi.

"Sekali gue menyatakan perasaan, cewek itu sudah jadi milik gue, Na."

"Jangan egois, Kak!"

Kepalanya pun maju untuk membisikkan sesuatu kepada Ana. "Dan asal lo tahu, gue bisa lebih buruk dari mantan lo kalau sampai lo menolak gue. Jadi, jangan samakan gue dengan mantan lo itu."

Ana merinding mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Arga. Lelaki itu kemudian menatap Ana. "Ikuti perintah gue, maka lo aman sama gue, Na."

"Kamu gila, Kak."

"Yes, I am, Ana. Makanya, jangan pernah menolak gue, Ana. Gue nggak suka."

Hidup Ana rasanya selalu sial. Niatnya kabur ke Jakarta bukan untuk mencari pengganti mantannya. Dia murni ingin mencari ketenangan.

Tapi yang ada malah terjebak dengan Arga.

Sial sekali hidupnya.

*****

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang