2 - MPLS (2)

413 38 10
                                    

Entah perasaan Ana yang berlebihan atau bagaimana, di aula terlihat semua orang menatapnya. Ana tak tahu apa yang membuatnya menjadi pusat perhatian sekarang. Apa karena semua orang mengetahui bahwa dirinya terlambat dan mendapat keringanan hukuman? Entahlah, yang jelas, Ana tak menyukai perasaan ini. Dia tak suka tersorot lebih. Dia juga menyadari bahwa beberapa panitia memperhatikannya sepanjang koridor menuju aula. 

Apa karena dirinya bersama Arga?

Naja menatap Arga penuh godaan saat mengantar seorang siswi yang tadi sempat membuat semua panitia heboh. "Buset, harus banget nganter sampai ke dalam?" tanya Naja dengan wajah tengilnya.

"Heboh banget lo," ketus Arga. Kemudian dia menoleh ke arah Ana yang sudah duduk di tempat kelompoknya. Matanya menghitung anggota kelompok Naja. Kelompoknya terdiri dari enam orang, di antaranya ada tiga orang yang dia kenal. Arga memang telah mengetahui bahwa mereka bertiga satu kelompok. Namun, pasti sepupunya, Wendy, akan marah karena mengetahui bahwa Naja adalah kakak pembimbingnya. Dia tersenyum tipis melihat raut wajah Wendy yang merengut kesal. "Kenapa, sih, Wen?"

"Pakai ditanya lagi. Alerginya kambuh gara-gara ada Bang Naja," jawab Jehan. Itu adalah adiknya. 

Di sampingnya, seseorang menertawakan jawaban Jehan, yang itu adalah Carel, teman satu gengnya juga. "Bang, parah banget. Lo dikatain alergi."

"Emang gue alergi. Bawaanya gatal aja gitu kalau deket-deket dia," ucap Wendy dengan melayangkan tatapan tajam kepada Naja. Yang ditatap hanya menyunggingkan senyum tengilnya dan mengedipkan matanya.

Sebelum Arga mendengar keributan lebih banyak, lebih baik dia pergi. Lagipula, acara selanjutnya sebentar lagi akan dimulai. Tugasnya bukan di sini. "Gue pergi dulu, deh. Kayaknya, Bang Marka udah nyariin gue." Sebelum Arga pergi dari hadapan mereka, lelaki itu menyempatkan untuk melihat Ana. Yang ditatap hanya melayangkan senyumannya. Ah, Arga menyukai senyuman itu. Arga membalasnya dengan senyuman tipisnya. 

Sesaat Arga berlalu pergi, Ana menatap punggung lelaki itu yang mulai menghilang dari pandangannya. Hanya melihat. Kemudian, dia kembali menempatkan diri pada kelompoknya. 

"Lo nggak papa?" tanya Naja tiba-tiba, membuat semua anggota fokus pada dirinya. "Eh, gue harus panggil lo apa, ya?" 

"Ana, Kak," jawabnya. "Saya nggak papa, Kak. Udah mulai baikan."

Naja menggangguk. "Kalau ada apa-apa, bilang, ya."

"Siap, Kak," balas Ana.

"Kepada seluruh kakak pembimbing kelompok peserta, harap berkumpul di kelas sebelah. Terima kasih!"

Suara pengumuman itu membuat Naja berdiri dan segera berkumpul bersama panitia lain. Dia meninggalkan enam orang itu saling bercengkerama dan mengenal satu sama lain.

Seorang perempuan yang duduk di sampingnya mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Hai, Ana. Gue, Kirana."

Ana menerima uluran tangan tersebut dan menjabatnya. "Gue, Ana."

Seorang perempuan lain ikut mengulurkan tangannya, disusul dengan perempuan yang dijahili Naja. "Gue, Nayyara. Panggil aja, Nayya."

"Gue, Wendy."

"Salam kenal ya, Nayya, Wendy. Gue, Ana."

Wendy mengarahkan tangannya pada Jehan dan Carel untuk memperkenalkan mereka. "Ini Jehan, adik Bang Arga yang barusan nganter lo. Nah, ini Carel."

Ana mengangguk dan tersenyum kepada mereka berdua yang duduk di seberangnya. "Salam kenal, Jehan, Carel." 

"Kok bisa lo pingsan, Na? Lo nggak sarapan?" tanya Kirana. 

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang