9 - Pasar Malam

172 20 10
                                    

"Geraldine Anandita," gumam seseorang, berdiri di sebuah balkon kamarnya. "I guess, gue pernah denger nama itu. Tapi, di mana?"

Lelaki itu terus memutar otaknya. Dari kemarin, dia memandang Ana dengan tak asing. Namanya terdengar sangat familiar baginya.

"Sama-sama ada nama Gerald. Jangan-jangan adek gue," kekehnya kemudian.

Dia segera menepis pemikiran itu. Nama Gerald banyak di dunia ini, bukan hanya dirinya yang memakai nama itu. Bagi keluarganya, nama Gerald sendiri adalah menandakan bahwa dirinya anak dari papanya yang bernama Gerald.

"I'll pretty sure, gue pernah denger nama itu."

Marka merasa yakin, dia pernah bertemu Ana atau mendengar namanya. Namun, nihil, Marka tak mengingat apapun tentang Ana.

Suara pintu terbuka membuat pikirannya membuyar. Marka memutar tubuhnya, melihat sang Papa yang masuk ke dalam kamarnya.

"Marka," panggil papanya.

"Ya?" Marka menghampiri papanya dan ikut duduk di kasur di sampingnya. "Ada apa, Pa?"

"Gimana acara MPLS? Lancar?"

"Lancar, tapi capek banget," keluhnya. Raut wajahnya berubah saat mengingat sesuatu. "Papa bukannya masukin satu siswa pas H-2 MPLS, ya kan? Itu siapa, Pa? Papa belum bilang ke Marka."

"Oh, namanya Ana. Nama panjangnya Geraldine Anandita. Ana yang nyelamatin Papa dari perampokan malam itu."

Marka manggut-manggut. Dia baru ingat sekarang bahwa nama itu dia dengar dari papanya. Namun, tampaknya masih ada sesuatu yang mengganjal. Marka tak menunjukkan hal itu pada papanya.

Dia berencana akan mencari tahu hal itu sendiri, karena dirinya tak suka bila ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

"Gimana dia? Baik-baik aja, kan?" tanya papanya.

"She's good. Dia supel, gesit ngerjakan sesuatu dan—oh iya, masakan dia juga enak banget, Pa!" seru Marka. "Kan dia satu kelompok bareng Jehan, Carel, Wendy, sama dua cewek lagi. Terus, mereka milih jualan di bazar. Dan rencana mereka jualan seblak, es buah jeli, jus, dan es teh, Pa. Ana yang masak seblak, enak banget."

"Pasti beruntung banget yang dapatin Ana. Udah cantik, baik, dan pintar masak," puji papanya.

"Udah diembat sama Arga, Pa. Dia suka sama Ana."

Papanya menatap Marka dengan kaget. "Secepat itu?" Marka mengangguk, papanya hanya manggut-manggut.

"Sebenarnya, Papa ke kamar Marka ngapain, sih? Dari tadi ngomongin Ana."

Papanya tersenyum. "Papa cuma pengen tahu kabar Ana. Soalnya, Papa hubungin dia nggak aktif, Mar."

"Loh, Papa tahu kontak Ana?"

"Iya, dong. Papa juga cari tahu tentang dia." Papanya menghela napas, menatap sendu di depannya. "Ana hidup sendiri dan kerja buat biayain mamanya yang koma di rumah sakit. Hati Papa tersentuh saat tahu anak seusia dia harus mengalami nasib begitu, Mar."

Kemudian dia kembali menatap anak lelakinya. "Papa berbuat baik ke dia itu bukanlah apa-apa dibanding dia yang udah nyelamatin nyawa Papa, Mar. Makanya itu, tolong perlakukan dia sebaik mungkin dan jaga dia, ya."

Marka terpaku diam. Dia belum pernah melihat papanya begitu memohon seperti ini. Ana memang telah menyelamatkan papanya, namun haruskah papanya segitu ingin melindungi Ana? Dalam diamnya, Marka sedikit menatap curiga pada papanya.

Sekali lagi, Marka menyimpan kecurigaannya sendiri. Lelaki itu akan menyelediki semuanya.

"Anggap dia seperti adik kamu yang hilang, Mar."

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang