Ana terus menghela napas mendengar Arga yang terus mengoceh. Arga bersikeras untuk menahan Ana agar tak pergi ke rumah Carel untuk kerja kelompok. Ana hanya diam mendengar ocehan Arga sembari menunggu teman-temannya di parkiran keluar dari aula.
"Diam, Kak," suruh Ana. "Yang ada aku malah makin sakit denger kamu ngoceh terus dari tadi."
"Ngoceh? Gue perhatian sama lo, Ana."
Ana berbalik badan menghadap Arga. "Kak, aku tetap ikut pergi ke rumah Carel. Lagian ini cuma masak, Kak. Prosesnya bentar doang."
"Tapi kan tetap aja, Ana ..."
"Diam, Kak," potong Ana. "Sakit mens ini cuma sehari doang, Kak. Besok juga kembali normal."
Arga menghembuskan napasnya. Perempuan ini benar-benar keras kepala. Sudah hidupnya keras, kepalanya pun ikut keras. Apa tidak bisa menuruti perintahnya? Toh, ini juga demi kebaikannya.
Lelaki itu meraih pundak Ana. Tatapan mereka bertemu. "Na, gue serius. Kalau lo sakit perut lagi, kasih tahu gue, ya."
Jarak mereka hanya beberapa senti. Ana dapat melihat wajah Arga dengan jelas. Dari jarakt sedekat ini, wajah Arga terlihat jauh lebih tampan. Iya, Ana mengakui ketampanan Arga. "Kamu tenang aja, Kak. Aku yang paling mengerti tubuh aku."
Arga melepaskan tangannya dari pundak Ana. "Kalau lo ngerti soal tubuh lo, harusnya lo bisa jaga kesehatan, Ana."
Ana menghela napas lelah. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Arga. "Udah deh, Kak. Obrolan kita dari tadi mutar itu doang."
"Gue cuma nggak mau lo sakit lagi, Ana. Gue perhatian sama lo."
"Iya, Kak Arga. Bawel banget kamu."
Arga hanya menghembuskan napasnya. Ana susah sekali diatur. Namun, Arga memaklumi itu karena hidupnya sendiri sedang kesusahan.
Ana melihat beberapa peserta yang berjalan menuju parkiran. Sepertinya, acara sudah berakhir. Arga sudah mengabari Wendy bahwa mereka akan menunggu di parkiran. Beberapa peserta juga melihat ke arah Ana dan Arga. Mereka terlihat saling berbisik dengan berbagai tatapan yang mengarah pada Ana dan Arga.
"Jangan didengerin, Na," ucap Arga.
Ana tak menjawab. Matanya melotot marah pada orang-orang yang terlihat menggunjingnya. Ada dua orang peserta perempuan yang berdiri tak jauh dari mereka, menatapnya sinis, dan mengobrol dengan menyindir yang dapat Ana dan Arga dengar.
"Eh, lo berdua mending pergi. Nggak sopan ngelihatin orang gitu. Merasa hidup lo sempurna sampai berani ngeliatin Ana gitu?" tegur Arga degan nada tegas.
Dua perempuan tadi langsung terdiam dan pergi dari hadapan mereka. Aksi Arga tadi pun mendapat perhatian dari beberapa yang menyaksikan mereka. Namun, mereka ikut terdiam dan kembali mengerjakan aktivitas mereka sendiri, tanpa melihat ke arah Arga dan Ana lagi.
Bersamaan dengan itu, teman-temannya pun telah datang. Mereka juga menyaksikan Arga menegur dua perempuan tadi.
"Udah, Na, jangan dimakan hati. Orang kayak gitu biasanya syirik sama lo," ujar Wendy menenangkan Ana yang masih terlihat marah.
"Mereka terang-terangan gitu, loh, bisik-bisik depan gue. Apa coba maksudnya?" gerutu Ana marah.
"Iri doang mereka tuh. Pengen ada di posisi lo. Tenang ya, Ana. Kan udah ditegur Kak Arga," ucap Nayya.
Ana menarik napas sebelum menghembuskannya, mencoba menenangkan dirinya.
Wendy pun menyerahkan tas kepada Ana sesuai perintah Arga. Mereka berkumpul sebentar untuk mengatur tumpangan di mobil menuju rumah Carel. Namun, tak lama datang teman-teman Arga yang ingin ikut ke rumah Carel meramaikan suasana, termasuk Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argana
Fiksi Remaja"Aku mau kita putus, Kak." - Ana "Apapun yang menjadi milik aku, nggak akan pernah aku lepaskan, Ana." - Arga ***** Niat Ana kabur dari Bandung ke Jakarta untuk menghindari mantannya, tetapi malah bertemu lelaki dengan sifat yang sama seperti mantan...