4 - Kafe Hijau Daun

231 22 12
                                    

Senyum Ana merekah saat menemukan teman-temannya telah sampai di kafe. Ana menyarankan mereka untuk duduk di outdoor, karena suasananya sangat nyaman di sana. Namun, tak lama di belakang mereka berdiri beberapa orang, mengikuti langkah teman-temannya duduk di meja sampingnya. Ana tahu itu adalah panitia OSIS di sekolahnya. Salah satu di antara mereka adalah Arga. Pandangan lelaki itu bahkan tak luput dari Ana. 

Ana menghembuskan napasnya. Sepertinya dia tahu bagaimana Arga dan teman-temannya bisa mengetahui bahwa dirinya bekerja di sini. Siapa lagi kalau bukan Jehan dan Carel yang notabene adalah bagian dari geng mereka. 

Namun, Ana harusnya senang. Dirinya akan mendapatkan banyak bonus dari bosnya karena sudah membawa banyak orang ke kafe ini. Ana berlalu sebentar ke dalam untuk mengambil buku menu dan kertas untuk mencatat pesanan. 

Wendy menyubit lengan Jehan begitu lelaki itu mendaratkan pantatnya di sampingnya. "Lo kan yang ngasih tahu abang-abang lo kalau kita ke sini?" 

Jehan mengaduh kesakitan. "Iya! Aduh lepasin dong, Wen. Sakit banget, anjir!"

Wendy melepaskan cubitannya dengan mendengus kesal. "Hidup gue rasanya dipantau terus setelah satu kelompok sama lo."

"Yaelah, baikan aja, sih, Wen. Lo bahkan nggak dengerin penjelasan dia," ujar Carel yang duduk di samping Nayya. 

"Nyenyenye. Bacot."

"Udah deh, jangan pada ribut," lerai Kirana merasa jengah dengan situasi yang tidak dia mengerti sedari tadi. 

Selang berapa lama kemudian, Ana kembali. Dia membawa dua menu yang dibagikan ke meja Arga dan meja teman-temannya. "Kalian pilih dulu, ya. Gue mau ke meja Kak Arga." Mereka mengangguk. 

Sesungguhnya, Ana sedikit gugup berhadapan dengan Arga lagi. Tapi, dia harus menjalankan pekerjaannya ini. Ana melihat satu persatu orang yang ada di meja ini. Untungnya, Ana mengenali semuanya, termasuk Jeri dan Rafael yang dia ketahui dari Wendy.

"Hai, Kak. Silakan mau pesan apa?" tanya Ana. 

"Oh, ternyata lo cewek yang ditolong Arga?" Rafael membeo usai melihat langsung Ana. 

"Iya, Kak." Ana tersenyum kikuk. 

Jeri lebih dulu mengambil buku menu itu, Rafael yang di sampingnya ikut melihat. 

"Udah berapa lama lo kerja di sini, Na?" tanya Naja.

"Kurang lebih udah sebulan, karena kafenya juga baru buka, Kak," jawab Ana.

"Hm, lo punya rekomendasi makanan nggak? Yang enak banget di sini." Jeri minta saran, namun matanya tetap fokus mencari sesuatu yang enak untuk dipesan. Begitu juga dengan Rafael. 

Ana terdiam sebentar. "Nasi goreng seafoodnya enak, Kak. Kalau camilan, saya saranin pesen kentang dan nuggetnya, karena itu dibuat sendiri. Jadi, terjamin enak dan sehat," saran Ana.

"Buset, Na, di luar sekolah lo juga ngomong kaku gini. Santai aja sama kita, Na," tegur Naja dengan nada bercandanya. Ana hanya mengangguk pelan dan tersenyum.

"Gue pesen nasi goreng seafood, Na. Minumnya ice coffe latte," pesan Jeri. 

Buku menu pun beralih kepada Naja dan Arga. Anehnya, Arga tak membaca buku itu dan hanya menatap Ana. Perempuan itu tahu Arga sedang menatapnya dengan intens, jadi sebisa mungkin Ana menghindari tatapan itu.

"Gue pesen paket kentang dan nugget, minumnya es teh lemon," pesan Rafael.

Naja melihat buku menu itu dengan tak minat.  Dia tak lapar dan tak juga haus. Dia ke kafe hanya ingin bertemu Wendy. Namun, akan sayang sekali bila dia tidak memesan apapun. "Gue pesen ice americano aja," pesan Naja.

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang