(10) Confess To My Crush

158 75 11
                                    

Selamat Malam Penghuni Dunia Oyen!!

Hari ini aku up dua bab sekaligus ya...

-Happy Reading-

🌻

Cara penolakannya itu ternyata lebih hebat daripada caraku mengungkapkan kesungguhan hati. 

🌻

🌻

Yogyakarta, 04 Desember 2017

Aku mengumpulkan buku tugas Bahasa Indonesia di meja guru saat jam istirahat berbunyi dan mengambil ponselku dalam sebuah rak di sana. Di sekolah ini, ponsel dikumpulkan selama jam pelajaran berlangsung.

"Kamu punya nomornya Kak Juna." Langkahku sejenak terhenti sesaat mendengar percakapan dua siswa yang kulintasi. Aku sedikit melirik penasaran. Hingga beberapa siswi di belakang kedua siswi itu pun ikut nimbrung dan membicarakan nomor Kak Juna.

Aku juga ingin memberitahu pada mereka kalau aku juga punya nomor Kak Juna yang dikirim Mas Awan tadi malam. Tapi, aku tak mau banyak orang tahu kalau aku juga mengagumi Kak Juna.

"Eh, disimpan juga ndak sama Kak Juna," minta salah satu siswi.

"Hehe, aku ndak berani chat dia lah."

Aku hanya tersenyum. Aman lah selama belum sampai ke Kak Juna. Aku pun melanjutkan langkah ke bangkuku, melihat Tirah yang duduk tenang seolah tidak tertarik dengan pembahasan para siswi lainnya. Sementara Rui yang duduk dengan siswi lain di samping bangku kami, hari ini tidak masuk. Dia ikut acara pernikahan kerabatnya di Samarinda. Dia pernah cerita kalau ayahya asal Samarinda. Dan dia sendiri sudah tinggal di kota ibunya ini sejak lahir.

"Siapa piket hari ini?" tanya Pak Kuswanto sebelum keluar kelas.

Pertanyaan itu menahanku duduk di kursi. Kebetulannya aku yang piket kelas bersama Rui. Sedangkan temanku itu absen hari ini.

"Bawa bukunya ke ke kantor ya," pinta Pak Kuswanto.

Tirah malah terkekeh melihatku dapat tugas membawakan buku-buku teman satu kelas sendirian. "Aku bantuin deh," ucapnya kemudian.

Temanku yang satu ini memang paling pengertian. Memang begitu kalau punya teman yang pendiam. Diam-diam dia peka juga maksudnya.

Aku dan Tirah sekalian menyandang tas saat keluar kelas membawa tumpukan buku tugas teman satu kelas. Hal yang aku perhatikan lebih dulu saat keluar kelas adalah, mengitip kelasnya Kak Juna yang bersebelahan dengan kelasku.

"Kelasnya sepi. Kayanya ke laboratorium. Kenapa? Kamu cariin Kak Juna?" celetuk Tirah sampai aku melotot. Perkataannya itu selalu ada benarnya. Tirah sudah seperti cenayang saja.

"Tunggu ya, Rah," ucapku sambil melimpahkan tumpukkan buku yang kubawa di atas buku yang ada di tangan Tirah. Teman sebangkuku itu sampai terlihat menahan beratnya.

Kakiku mengendap-endap masuk kelas Kak Juna. Aku keluarkan secarik kertas berwarna pink dan menyelipkannya di bawah tasnya Kak Juna. Tas berwarna hitam dengan garis kuning itu sudah lama aku perhatikan bersama pemiliknya.

"Fris, cepat! Teman-teman udah keluar kelas tuh!" tegur Tirah padaku agar cepat keluar kelasnya Kak Juna.

Sungguh kali ini aku sangat berani menyelinap ke kelas dua belas. Beruntung aku sudah berjalan di samping Tirah dan meminta buku yang kubawa tadi saat segerombolan siswa memenuhi koridor.

"Kamu kasih surat cinta yo ke Kak Juna?" tebak Tirah setelah melihat gelagat anehku.

"Aku cuma ingin orang yang kubuatkan puisi membacanya," jawabku.

"Semoga Kak Juna peka yo!" kekeh Tirah meledek.

Kalau pun puisi itu tersampaikan kepada Kak Juna. Aku tak yakin dia akan tahu akulah penulisnya. Aku bahkan tidak menyantumkan namaku di sana. Aku hanya berharap, dia tahu bahwa dia itu adalah sosok yang indah.

🌻🌻

Aku salah. Aku salah menyelipkan puisi itu ke tas Kak Juna. Cowok itu malah mendatangi Pak Kuswanto.

"Tolong ini disimpan yo, Pak. Siapa tahu itu milik anak klub sastra," pinta Kak Juna pada Pak Kuswanto.

Tirah memilih menungguku di lobi karna Pak Kuswanto meminta waktuku sebentar. Kami mengobrol santai mengenai puisiku yang dia suka tempo hari saat kelas klub sastra. Dia bahkan ingin mengikutkanku kontes membaca dan menulis puisi. Obrolan itu pun terputus lantaran kehadiran seorang siswa yang menyerahkan secarik kertas berwarna pink pada Pak Kuswanto.

Tubuhku langsung gemetar melihat puisi yang kubuatkan spesial untuk Kak Juna malah diberikan pada pembimbing klub sastra. Untung-untung bukan puisi yang kubuat waktu kelas klub sastra yang kukasihkan kepada Kak Juna. Bisa mampus aku kalau Pak Kuswanto mengenalinya.

"Kamu piye toh, Jun. Jelas-jelas namamu loh tercantum di sini. Puisi ini buatmu," balas Pak Kuswanto.

"Tapi saya ndak mau menerima pemberian dari orang yang ndak mau mencantumkan namanya," jelas Kak Juna.

Aku masih terdiam di samping Pak Kuswanto. Tertampar oleh kalimat Kak Juna. Memangnya harus ya aku cantumkan namaku? Bukan namanya pengagum rahasia donk!

"Mungkin dari penggemarmu," kekeh Pak Kuswanto.

Dalam hatiku yang terdalam langsung memberi jempol Pak Kuswanto.

"Sayang sekali, padahal puisinya bagus. Kenapa ndak buat ikut lomba aja daripada buat nyatain perasaan?" puji Kak Juna membuatku tersenyum pada kalimat pertamanya. Kalimat keduanya sedikit mengenaskan. Dia sama sekali tak tahu soal perasaan. Yang dia tahu hanya olimpiade saja.

Saat itu juga Kak Juna melirikku tajam. Aku pun langsung membuang muka. Tatapan itu lagi? Apa dia tahu kalau aku yang menulis puisi itu? Keadaannya makin menyedihkan kalau Kak Juna sampai membenciku hanya karna menuliskan puisi tentangnya.

"Sudah, sudah. Kamu simpan sendiri ya, Jun. Wong itu buat kamu kok," ucap Pak Kuswanto sambil pamit pulang duluan.

"Fris, jangan lupa ya nanti ke rumah." Pak Kuswanto mengingatkanku juga tentang tawarannya. Dia mau memperlihatkan banyak buku puisi di perpustakaan kampung dekat rumahnya.

Aku melirik Kak Juna yang masih berdiri di tempat. Aku mulai bimbang antara ingin segera pergi dan tidak. Kesempatan yang baik bukan berhadapan dengan Kak Juna seperti ini? Tapi kenapa getar jantungku membuatku tidak tahan lama-lama berdiri di sana.

"Kamu?"

Jantungku kali ini makin meledak-ledak tatkala Kak Juna memanggilku. Responku hanya bisa mengerjapkan mata karna super gugupnya aku.

"Apa kamu kenal puisi ini?" Kak Juna memperlihatkan puisi itu padaku.

Aku pun geleng-geleng kepala. Padahal jelas-jelas aku yang menulisnya. Aku tidak tahu lagi harus bertindak bagaimana. Jika aku mengakuinya sekarang, aku tidak siap melihat reaksi Kak Juna secara langsung.

Tiba-tiba saja Kak Juna menarik lengan kananku pelan. Terasa dentuman di jantungku makin keras. Cowok itu melipat dan meletakkan puisi itu di atas telapak tanganku.

Dengan lembut dia berbisik, "Simpan saja. Aku ndak mau menerima sesuatu dari orang yang ndak aku kenal."

Aku melebarkan mataku. Kak Juna pergi begitu saja setelah memberikan puisi itu padaku. Aku ingin mengejar langkahnya. Tapi aku hanya mematung di sana. Perkataannya yang terakhir itu....

Tunggu. Apa berarti aku sudah ditolak olehnya? Apa Kak Juna sengaja mengatakannya untukku?

JUNA dan JOGJA [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang