Orang bilang, jangan jatuh cinta di Kota Jogja. Tapi kebetulan aku bertemu dengan Arjuna Satria Girsang, manusia paling mencolok yang takkan pernah aku temukan lagi imitasinya di muka bumi ini. Sosok yang hanya dengan mendengar suara tawanya bisa me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku berharap Kak Juna tertawa karna aku.
🌻
Di perpustakaan tengah siang dalam rangka merayakan jamkos, aku menunggu dering bel pulang berakhir di tempat penuh buku itu. Sementara Rui dan Tirah ikut nimbrung nobar film lewat laptop di kelas bersama teman-teman.
Setelah mendapatkan satu buku dari rak khusus novel, aku melewati rak kumpulan majalah sekolah. Aku agak tertarik membuka beberapa majalah sekolah untuk sekilas membaca artikel sejarah sekolah, juga cerita beberapa siswa dan alumni berprestasi.
Aku membuka halaman secara acak karna hanya berniat melihat-lihat. Sampai di halaman tengah, aku dikejutkan dengan profil Kak Juna.
'Si Jago Matematika; Kategori Juara Olimpiade Se-Asia Tenggara'.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku melihat ke sekitarku untuk diam-diam mengambil ponsel dan memotret satu halaman yang menceritakan tentang Kak Juna itu.
"Ayolah, Juna!"
Panggilan itu cepat-cepat membuatku menutup majalah sekolah. Aku menangkap sosok Kak Juna dari rak arah kanan berjalan melintasiku bersama siswi yang juga kutemui di klub sastra itu. Siswi itu kelihatan selalu menempel dengan Kak Juna.
"Bantu aku mengerjakan KTI," mohon siswi itu manja pada Kak Juna. Sikapnya seolah mereka sangat dekat.
"Baiklah," balas Kak Juna pasrah.
Aku langsung mengembalikan majalah itu dan berjalan diam-diam mengikuti jejak mereka berdua. Aku mengambil buku asal, dan duduk tak jauh dari meja Kak Juna bersama siswi itu.
Mereka berdua menyalakan satu laptop. Aku memperhatikan dari jauh seperti agen rahasia yang sedang menyelidiki fakta tentang hubungan Kak Juna dan siswi itu.
Makin lama aku memperhatikan setiap ekspresi Kak Juna, baik itu saat dia sedang serius, saat sedang tertawa, saat ekspresinya terlihat begitu lelah, semua ekspresinya membuatku candu. Sampai aku hanya membiarkan buku yang aku pegang hanya sebagai dalih untuk tetap bersinggah di perpustakaan.