(14) Dia Tahu Namaku

158 68 34
                                    

Dia sangat baik, itulah kenapa aku tidak ingin membencinya, sekalipun dia tidak menganggapku ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dia sangat baik, itulah kenapa aku tidak ingin membencinya, sekalipun dia tidak menganggapku ada.

🌻

"Hati-hati yo, semoga sampai rumah," ucap Mas Haris saat langkahku sudah naik ke pintu belakang bus. Untungnya aku datang tepat waktu sebelum kehabisan kursi. Semua kursi hampir penuh dan tersisa beberapa kursi di belakang. Aku pun memilih kursi paling belakang sendiri.

Aku merasa sedikit gelisah karna pertama kalinya pulang naik bus di kota orang, sendirian lagi. Beberapa penumpang mulai naik dari pintu belakang karna kursi-kursi depan sudah penuh. Dari sekian banyak penumpang yang berlalu lalang di depanku, hanya satu penumpang yang sangat mencolok di mataku.

"Mas Juna." Spontan aku memberi sapaan pada cowok itu yang baru saja masuk lewat pintu depan hingga semua orang ikut menoleh sekilas.

Aku kira Kak Juna benar-benar melihat ke arahku. Pandangannya langsung berpaling dalam sekejap. Meski kursi di sampingku masih tersisa, Kak Juna lebih memilih hanya berdiri di sana. Aku sampai malu sendiri karna orang yang kusapa tidak menghiraukan aku di tengah banyaknya orang. Dia memang berniat menghindariku sejak awal. Kemarin saat dia mengatarkanku, dia hanya bersikap manusiawi padaku. Dia hanya merasa tidak tega melihat perempuan pulang sendirian melalui jalanan yang gelap. Dia sangat baik, itulah kenapa aku tidak ingin membencinya, sekalipun dia tidak menganggapku ada.

Sebelum bus dijalankan, aku melihat Cakra menunjuk kursi yang masih kosong di sampingku. Akhirnya, Cakra mengajak Kak Juna duduk di kursi barisanku. Aku sedikit bergeser dan memberi pembatas dengan totebag-ku agar Kak Juna duduk dengan nyaman. Kak Juna duduk di sampingku yang dekat jendela sisi kanan bus. Aku melihat Cakra agak menjauh dari Kak Juna karna lebih suka duduk di dekat jendela. Dia tipe introvert yang sama denganku. Posisi duduk di dekat jendela memang paling disukai oleh kaum penyendiri. Karna Cakra, aku jadi berasa hanya duduk berdua dengan Kak Juna.

Sumpah ini bukan mimpi, kan? Andai ada yang memotret posisi ini? Apakah aku sudah pantas duduk bersanding dengan Kak Juna?

Perjalan bus malam ini tidak jadi menakutkan bagiku. Aku akan pulang bersama sosok yang paling aku taksir untuk yang kedua kalinya. Sekaligus orang yang tinggal dekat kampungku.

Aku sedang mengumpulkan keberanian untuk menyapa mereka berdua lebih dulu. Aku sangat geram menunggu Kak Juna yang masih berlagak tidak mengenalku. Lalu Cakra yang memori di otaknya itu pasti sebeku sikapnya sampai tidak mengingatku yang sudah dua kali bertemu.

"Kamu sendirian?"

Belum juga aku menyiapkan kata-kata sapaan untuknya, Kak Juna mengajakku bicara lebih dulu. Aku pun hanya meresponnya dengan anggukan karna begitu terkejut dengan perubahan sikapnya.

"Mas Juna naik bus? Tadi bukannya kalian bawa motor?" tanyaku karna Kak Juna hanya mengajakku bicara sesingkat itu.

"Naik motor?"

Ingin sekali aku memukul kepalaku saat ini. Aku berniat memperpanjang obrolan justru pertanyaan itu yang aku keluarkan. Bisa ketahuan kalau aku memantau Kak Juna dari jendela toko.

"Ng...apa mungkin, maksudku mungkin saja Mas Juna naik motor ke kota," ucapku tidak karuhan.

"Aku memang ke kota naik motor sama dia," Kak Juna menunjuk Cakra yang sibuk sendiri dengan pikirannya, "tapi motornya mogok. Kita tinggal di bengkel, soalnya besok ada ujian, jadi kita pulang aja."

Penjelasan Kak Juna yang rinci itu membuatku mengangguk paham. Tatapan matanya saat ini seperti tidak lagi menaruh curiga atas pertanyaanku tadi. Kendati begitu aku masih tidak tenang, kalau Kak Juna tahu aku ada di toko bunga langgananya, dia tidak akan terkejut kalau pun aku tahu dia naik motor ke kota. Makanya reaksinya itu seolah sudah tahu.

"Mas kenal dia?" Aku menghela napas dalam-dalam saat Cakra mengajukan pertanyaan menyebalkan pada Kak Juna. Menyebalkannya, dia belum juga mengingatku.

"Kita ndak saling kenal, tapi aku tahu dia. Dia Friska Hismaudika, adik kelasku."

Aku tertegun saat nama lengkapku bahkan sangat fasih keluar dari mulut Kak Juna.

"Mas Juna tahu nama lengkapku?" celetukku.

"Hanya kebetulan, nama itu terus bermunculan di semua akunku." Senyuman miring Kak Juna membuatku memalingkan muka. Ternyata aku ketahuan menjadi stallker sejatinya.

"Satu lagi," kata Kak Juna padaku, "jangan panggil aku Mas Juna, panggil aku kayak anak-anak di sekolah memanggilku."

Kak Juna.

🌻🌻

Terpaksa aku harus begadang untuk mempersiapkan ujian esok pagi sampai pukul satu tengah malam.

"Ah, nggak bisa!" umpatku menggelengkan cepat kepalaku. Ini bukan tentang materi Bahasa Inggris yang sedang aku pelajari. Tapi ini tentang Arjuna Satria Girsang yang tak pernah enyah dalam kepalaku.

Kakiku yang berayun mengguncangkan kasur, juga wajahku yang berkali-kali menenggelamkan diri ke dalam buku. Aku ingin memastikan kewarasanku saat ini, yang malah terlihat bodoh karna tidak dapat menahan senyum. Kurasa mengaguminya memang segila ini.

Bagaimana aku bisa fokus kalau begini? Aku terus mengingat dialog yang sedikit lebih panjang antara kita sepulang dari Kotabaru.

Aku menyingkirkan bukuku lebih dulu dan mengecek ponsel yang beberapa jam yang lalu belum aku sentuh. Pukul 01.30 di layar ponselku. Aku baru sempat membaca bom pesan dari Rui yang dikirim jam sepuluh malam tadi. Pesan itu malah membuatku heran. Kemarin Rui bersedia saat aku izin memberikan nomor Mas Awan lewat chat whatsaApp karna dia sudah berangkat ke Samarinda.

Rui Anak Bahasa:
Friska!!!
Friska!!
Frisssskaaaaa!!!
Kenapa kamu kasih nomorku ke Awan?

To Be Continue...

JUNA dan JOGJA [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang