Jakarta, 2027
Di bawah naungan rumah tangga yang harmonis itu, aku menemukan pria berpakaian kasual duduk santai di atas sofa ruang tamu. Dia adalah pria yang menemaniku selama tiga tahun terakhir. Dia adalah pria yang menjadi suamiku. Seseorang yang sudah mengisi penantian panjang itu.
Aku langsung merebut buku itu dari tangannya. "Kamu mencuri lagi? Sudah kubilang, jangan baca novelku yang ini!" omelku padanya.
"Aku beli sendiri di toko. Lihatlah, sampulnya masih bagus," tampiknya.
"Aku akan menyitanya." Aku menyingkirkan novel itu darinya.
Pria itu hanya tersenyum pasrah, kemudian menarik tanganku ke dalam peluknya. "Kamu udah sering menceritakan tentang cinta pertama kamu itu sama aku. Ternyata kamu juga menceritakan Arjuna sangat berlebihan di novel," protesnya sambil bermuka masam sekilas.
Aku membalas pelukannya. "Makanya jangan dibaca, jadinya cemburu deh. Aku juga sengaja nggak nerbitin novelku yang itu di penerbit tempat kerja kamu dulu karna ingin menjaga perasaan kamu."
"Maka tulislah aku di novel kamu selanjutnya," pintanya.
"Novelku yang lain itu, semua peran utamanya adalah kamu."
"Yang mana?"
"Semuanya, kecuali Juna dan Jogja."
"Buatlah yang spesifik. Seperti awal kita bertemu sampai punya anak."
"Awal kita ketemu kamu sangat menyebalkan, jadi aku malas menulisnya."
"Kenapa aku menyebalkan? Padahal aku udah sangat ramah."
"Kamu memanggilku ibu saat usiaku masih 22 tahun."
"Apa yang salah? Usia 22 tahun juga ada yang udah jadi ibu-ibu anak satu, bahkan dua. Kamu aja yang waktu itu belum nikah."
"Wah, kamu memang pintar mengajak debat."
Setelah percakapan di antara kami menegang, dia pun tertawa puas. Orang seperti dia yang memang selama ini aku cari. Seseorang yang membuatku banyak bicara sampai lelah. Seseorang yang mengajakku tertawa ketika aku mulai marah. Tuhan mungkin tidak memberiku sosok yang kuanggap indah, tapi dia memberiku sosok yang terbaik. Hari bahagia itu memang akan datang. Dalam hidupku, itu datang saat aku sangat dicintai dengan tulus.
"Papa!" Aku menoleh meski anakku itu sering memilih memanggil ayahnya daripada ibunya.
Anak berusia dua tahun lebih itu berlari menghampiri kedua orang tuanya. "Hai, sayang, sini, Nak," panggilku. Namun ayahnya lebih dulu menangkapnya.
"Aruna-nya papa jangan lari-lari ya, Nak. Nanti jatuh," kata Afgan. Dia memberi nama anak kita Aruna. Jangan salah panggil.
"Oh iya, aku baru sadar. Bukannya saat aku panggil Aruna terdengar seperti Arjuna?" tanya Afgan padaku.
"Apa itu menganggu kamu?"
"Untuk apa? Aku udah merelahkannya dengan selapang-lapangnya dan nggak ada sisa patah hati sama sekali."
"Apa karna balasan surat cinta darinya?"
Aku hanya mengangguk setelah mencium pipi putri kecil yang dipangku oleh ayahnya itu. Seperti hal yang aku lakukan pada Kak Juna, aku ingin mencintai seseorang tanpa kebohongan. Jadi kuceritakan seluruh kisah sepanjang hidupku pada orang yang kini menjalani hidup bersamaku. Termasuk pesan dari Kak Juna yang kuterima saat perjalanan pulang ke Jakarta.
(Pesan dari Arjuna, di dalam kereta—kepulangan Friska ke Jakarta.)
"Semoga siapa pun di dunia ini, ikhlas melepaskan sesuatu yang memang bukan ditakdirkan untuknya. Dan akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik."
Terima kasih telah membaca Novel 'Juna & Jogja'.
-TAMAT-
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNA dan JOGJA [END]✔
Storie d'amore⚠️REVISI BERJALAN Orang bilang, jangan jatuh cinta di Kota Jogja. Tapi kebetulan aku bertemu dengan Arjuna Satria Girsang, manusia paling mencolok yang takkan pernah aku temukan lagi imitasinya di muka bumi ini. Sosok yang hanya dengan mendengar sua...