(29) Tahun Baru

152 35 15
                                    

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KEBERADAAN KALIAN BERUPA VOTE DAN KOMEN, SOALNYA NGGAK ENAK KALO GAK DIANGGAP ADA ITU😩😌
.
.
.
.
.
.

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KEBERADAAN KALIAN BERUPA VOTE DAN KOMEN, SOALNYA NGGAK ENAK KALO GAK DIANGGAP ADA ITU😩😌

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat pukul 00.00 WIB
Jakarta, 01 Januari 2018


DUAARRRR!!!!

"HAPPY NEW YEAR!!"

Kembang api mekar dengan beraneka kilau dan rupanya di langit hitam Ibu Kota. Tahun 2017 pun naik angka menjadi 2018. Ucapan selamat tinggal menyertai selamat datang. Sepertinya kita baru saja melakukan perjalanan waktu yang singkat dari tahun lalu ke tahun depan.

Kami menciptakan denting dari beberapa gelas jus buah naga yang saling beradu. Ritual wajib tiap tahun yang kami sekeluarga lakukan di atas rooftop rumah saat malam tahun baru.

"Dafa, jangan dekat-dekat ayah sama Mas Dinar! Ini jus buat kamu, ayo cepat sini!" tegur Mbak Ayu lantaran Dafa mengekori Mas Dinar dan Mas Fatur yang bertugas menyalakan kembang apinya. Untungnya anak sholeh itu pun patuh pada ibunya.

"Akhirnya kita masih bisa ngumpul kayak gini ya," ucap mama.

"Mama jangan bilang gitu. Kami akan tetap melakukannya sampai beberapa tahun ke depan," kata Mbak Ayu mengelus perut buncitnya. "Juga sama cucu kedua nenek."

Aku hanya mendengarkan percakapan orang-orang dewasa itu sambil menyeruput minumanku. Aku heran, semua orang tersenyum saat pergantian tahun, aku bahkan tidak bisa menikmati detik-detik penghabisan waktu itu. Seakan-akan terlalu banyak hal yang aku persiapkan untuk menyambut masa depan yang tidak aku ketahui itu.   

"Kalian jadi mau pindah ke Kalimantan nanti?" tanya papa pada menantunya itu.

"Enjeh, Pa. Tapi kita nanti harus nunggu adiknya Dafa sampe usia setahun dulu. Sekalian, nunggu Friska menyelesaikan sekolahnya juga," jelas Mbak Ayu.

"Dek, kamu kelihatannya kerasan ya di Jogja?" tanya mama padaku. Sebagai anak bungsu panggilan adek akan selalu mama pakai mau berapa pun usiaku.

"Iya iya lah, Ma. Ada orang yang Friska sukai—" Sergap aku membungkam mulut Mas Dinar yang baru nimbrung langsung seenaknya menyambung obrolan.

"Ada yang Friska sukai? Siapa? Awan?"cecar Mbak Ayu rupanya mendengar setengah ucapan Mas Dinar. Namun dia tetap salah menebak orang yang aku suka.

"Mas Awan? Bukanlah, Mbak. Dia bukan tipeku. Lagian Mas Awan udah punya pacar," balasku.

"Bukan Awan, Mbak. Tapi—"

Aku langsung menyumpal mulut Mas Dinar yang ember itu dengan roti bakar sampai dia susah payah berbicara dengan benar. "Diem ya! Jangan ikut campur!" garangku pada kakakku sendiri. Dia mengangguk dan menyerah, lalu mengunyah enak roti bakar yang aku berikan dengan paksa ke mulutnya.

"Jadi beneran ada orang yang kamu sukai, Fris?" goda Mbak Ayu.

"Ng...nggak! Nggak ada kok!" gelagapanku.

"Friska, kamu jangan pacaran dulu ya. Pegang prinsip yang pernah kamu bilang ke mama," pesan mama.

"Emang prinsip apa?" tanya Mbak Ayu, tatapannya penasaran.

"Pacaran kalo udah siap nikah," balasku sambil meringis. Prinsip yang aku buat sejak SD itu seolah runtuh saat aku mulai jatuh cinta di masa SMA. Hatiku tak bisa berbohong kalau aku juga ingin punya hubungan spesial dengan orang yang aku sukai.

"Sudah-sudah, karna sudah kumpul semua, saatnya kita buat harapan untuk tahun ini," ucap Papa mengambil perhatian kami. "Berdoa dimulai."

Aku menengadahkan kedua tanganku dan menurunkan kedua kelopak mataku. Dengan sekali hembusan napasku, aku memanjatkan segala harapanku dalam sunyi.

Daripada memanjatkan banyak harapan, aku akan merenungi apa pun yang aku dapatkan di tahun ini, sehingga aku bisa menyambut masa depanku dengan lebih hati-hati lagi. Daripada mengucapkan banyak kata semoga, aku ingin mengatakan terima kasih atas semua kisah indah di akhir tahun ini dan masih diberikan kesempatan bersama orang-orang yang aku sayangi. Bagaimana pun tahun ini tidak banyak prestasi yang aku dapatkan. Aku selalu menjadi sosok yang payah dan selalu kalah dalam hal apa pun. Satu-satunya harapanku untuk masa depan hanyalah menjadi diriku yang lebih percaya diri sehingga dapat kurangkul semua orang-orang yang aku sayangi tanpa ragu.

"Khusyuk amat! Sebanyak apa memang harapannya sampe sejaman sendiri?" sungut Mas Dinar saat aku membuka mata. Lantas aku menyengir mendapatkan tatapan heran satu keluargaku.

🌻🌻

Jakarta, 01 Januari 2018

Liburan yang aku lalui kemarin begitu lama. Empat hari yang lalu, Mas Fatur mendapat cuti libur kerja, dia mengajak anak dan istrinya, juga aku ke rumah orang tuaku di Jakarta. Seminggu sebelumnya, aku bersama Rui dan Tirah menepati janji kami liburan bertiga. Selama itu aku tidak tahu kabar tentang Kak Juna yang menghabiskan liburan bersama keluarganya.

"Hati-hati di jalan ya," ucap mamaku saat mengantarkan kepulangan kami ke Jogja.

"Waduh, Ma banyak sekali," balas Mbak Ayu menerima tas besar dari mama berisi perlengakapan bayi.

"Sedikitnya ada bekas milik Friska waktu masih balita, mungkin nanti bisa dipakai waktu dia seusia itu," jelas mama sangat perhatian pada menantunya.

"Emang anaknya Mbak Ayu cewek?" tanyaku.

"Kalau bukan cewek nggak akan mama kasih bekas pakaian lo, Dek!" sahut Mas Dinar sambil bersedekap berdiri di samping mama. Sementara papa masih sangat rindu dengan cucu tersayangnya. Mereka masih bermain bulu tangkis di halaman rumah.

"Waktu USG sih emang cewek," balas Mas Fatur setelah merapikan bagasi. Dia lalu mengambil barang yang mama berikan dari tangan istrinya.

Mas Fatur langsung beralih membantu istrinya masuk mobil yang dia kendarai. Bisa dibilang, di antara anak-anaknya mama dan papa, hanya Mas Fatur yang paling sukses dalam karirnya. Dia tidak mengikuti jejak papa yang berkecimpung di dunia sastra dan pendidikan. Dia lebih mirip mama yang punya jiwa pembisnis. Tidak masalah juga, toh papa juga punya aku dan Mas Dinar yang sama-sama tertarik dengan sastra.

"Dafa, kamu mau tukeran sama aku tinggal di sini?" panggilku pada keponakan pertamaku itu. Dia langsung menghampiri kami dalam rangkulan papaku.

Kami berempat lantas masuk mobil sambil melambaikan tangan kepada keluarga di Jakarta. Aku justru merasa akan pulang, bukan pergi. Aku sudah merindukan Jogja meski hanya beberapa hari di Jakarta. Aneh sekali, padahal aku tidak bisa hidup tanpa orang tuaku selama ini. Bahkan lebih aneh lagi orang sepertiku yang tidak suka masa-masa sekolah, tiba-tiba aku juga merindukan sekolah.

Entah sekolahnya atau orangnya?

TBC

JUNA dan JOGJA [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang