PROLOG

106 6 0
                                    

Hay, All

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hay, All.
Kalau boleh tahu, kalian dari kota mana saja ini?
Adakah yang sama denganku dari Jawa Tengah?
Absen dulu, yuk di kolom komentar!

Fyi, kisah ini diadaptasi dari kisah nyata. Jangan berharap terlalu romantis dan dramatis seperti drama Korea. Aku menulis ini dengan harapan semoga kalian dapat mengambil pelajaran! (Kalau ada) Wkwk...

Pokokoknya ... Happy reading^^

***

"An, ada yang ingin melamarku."

"Hah, seriusan?!" bola matanya membulat sempurna, dengan mimik yang serius, Anita tak mengalihkan sedetikpun pandangannya dariku.

"Bercanda kamu, ya?" ujarnya, masih tidak percaya. "Bella, jawab!" Anita mulai mengguncang bahuku, menuntut jawaban atas kebisuan yang aku lakukan.

Aku masih bergeming, memandangi segerombolan anak SMA yang terlihat asyik bermain skateboard, berharap aku sedang berada di alam mimpi saat ini. Bodoh! Dasar bodoh! Aku memaki dalam hati. Seharusnya aku tidak mempermainkan hidupku hanya karena ingin membuktikan kebenaran mitos yang beredar. Seharusnya aku tak mengambil melati itu. Aku belum siap. Aku masih ingin fokus pada kuliahku yang baru saja masuk semester empat.

"Terus kamu terima? Kamu mau gitu?" Anita yang menyadari air mataku perlahan jatuh, pun akhirnya mengerti jika ini bukan sekedar gurauan.

"Bella ...." Anita memegangi pundakku yang mulai berguncang.

Aku hanya merespon dengan gelengan kepala seraya mengusap air mataku dengan kasar.

"Aku pulang, ya, Ta?" ucapku, setelah merasa lebih tenang. Mengambil tote bag yang kuletakkan sembarang di atas paving.

"Kenapa pulang?" tanya Anita.

"Kepalaku sakit, Ta. Aku mau istirahat." Aku menatapnya dengan wajah sendu, meminta pengertiannya.

"Aku antar, ya?" raut wajahnya berubah khawatir.

Aku segera menggeleng, "Nggak usah, aku 'kan bawa motor sendiri."

"Aku buntutin, ya?" Anita terus membujuk ingin mengantarku pulang. Seperti biasa, dia selalu cemas berlebihan.

"Nggak!" Aku menyahut cepat.

"Ya udah, iya ...." Anita mengalah pada akhirnya, percuma juga usahanya membujukku yang memang selalu keras kepala. Sebelum aku pergi, Anita memberikan seblak yang masih aman terbungkus dalam plastik belum sempat kita makan.

"Buat kamu aja lah." Aku lagi-lagi menolaknya, membuat wajah ovalnya mengerut. Entahlah, makanan yang sangat kugemari itu terasa tidak menarik lagi saat ini. Perasaanku kalut, sangat penuh rasanya.

"Nggak, ah! Bisa mencret aku makan dua bungkus." Anita bergidik, kukuh membawakan seblak itu untukku. Aku yang sudah tidak punya energi untuk berdebat, pun memilih menerimanya.

"Aku balik, ya?"

"Oke, ati-ati!"

Aku berjalan meninggalkan Anita yang masih memaku di tempat, di bawah pohon beringin tua di alun-alun kota, tempat favorit kami gendu-gendu roso sembari menikmati candunya seblak hot dan es teh kemasan jumbo sepulang dari kuliah.
Samar terdengar teriakan Anita yang memanggil-manggil. "Es teh kamu, Bel?"

"Buat kamu aja!" Aku meneruskan langkahku tanpa menoleh kepadanya.

***

Namaku Bella, seorang mahasiswa fakultas ekonomi di sebuah universitas di kota Nanas. Terlahir dari keluarga sederhana dengan mimpi yang tidak sederhana. Terlalu banyak dream list yang kucapai sebelum berada di angka 25, usia perencanaan diriku untuk menikah.


Sayangnya, meskipun kuliah di kota, aku tinggal di pedesaan. Sudah menjadi hal yang lumrah di desa, perempuan yang menginjak kepala dua, akan didesak dengan pertanyaan-pertanyaan seputar; "kapan nikah?" baik dari tetangga maupun dari kalangan keluarga.

Kemudian, dianggap tidak laku dan akan dibanding-bandingkan dengan sebaya lain yang telah menikah duluan. Padahal, perihal jodoh bukankah setiap manusia punya waktunya masing-masing? Lantas, kenapa manusia harus mengambil pusing? Membuat kepala pening dengan sesuatu yang sudah diatur oleh sebaik-baiknya pengatur, Allah ta'ala.

"Bella, kamu kan sudah 20 tahun, Kayla-anak tetangga saja sudah lamaran. Kamu kapan?"

"Bella, kamu aslinya punya pacar atau tidak?"

"Bella, Ibu kenalin sama teman pengajian Ibu, ya?"

Begitulah yang selalu ibuku katakan. Candaan yang awalnya kutertawakan mendadak kupikirkan. Membuat malamku yang semula damai menjadi bising oleh isi pikiran sendiri yang menerka-nerka kapan jodohku datang?

Apakah benar, aku seburuk rupa itu sehingga tidak ada yang mau denganku? Ah, kurasa tidak. Setelah melakukan kilas balik, masalahnya bukan pada rupaku. Meskipun tidak cantik-cantik amat, tapi aku menarik, katanya. Kata mereka yang berusaha mendekatiku dan aku tolak dengan dalih tidak mau pacaran dan ingin fokus belajar. Tapi sungguh, aku ingin menyelesaikan pendidikanku terlebih dahulu. Aku ingin seperti ayah, menyandang gelar sarjana. Aku tidak ingin menikah muda.

Apa aku terlalu jual mahal? Kalimat ini yang sering kutanyakan pada diri sendiri menjelang tidur saat memikirkan mengapa aku tak kunjung punya pacar. Kupikir memang begitu. Setiap kali ada yang mendekat secara agresif, aku langsung melarikan diri. Aku selalu tidak menyukai yang menyukaiku dan malah sebaliknya, menyukai laki-laki yang ujungnya cuma menjadikanku second choice atau pilihan kedua.

Ah, sudahlah. Sepertinya tidak boleh membiarkan diri ini pada zero activity, soalnya kalo sepi suka pingin punya pasangan. Betul tidak?

To be continued..

Vote kalian adalah semangat kami, jangan lupa vote!

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang