MD.13

18 1 0
                                    

Selembar kertas hasil study semester empat telah kuterima. IP semester ini 3,90 dengan IPK 3,82. Aku tersenyum puas, belajar kerasku tidak sia-sia. Begadangku membuahkan hasil. Aku keluar ruangan dengan hati gembira, menemui Anita yang penasaran dengan hasilnya.

"Berapa?" tanya Anita.

Aku meyerahkan selembar kertas tersebut, Anita tersenyum lalu menyerahkan miliknya kepadaku. Seperti biasa, kita membandingkan nilai satu sama lain. Aku terpana senang, IPK Anita juga sama tinggi
"Lebih tinggian kamu, Bel! Selamat, ya?" Anita mengembalikkan KHS milikku.

"Beda dikit doang." Aku menyenggol pundaknya. "Selamat juga buat kamu, mari kita rayakan!"

Aku dan Anita berboncengan naik motor pergi ke alun-alun kota. Kita akan merayakannya dengan jajan seblak, telur gulung, kebab, cilok dan kawan-kawannya.

"Hari ini aku traktir kamu, Bel!"

"Kamu gajian, ya?"

Anita saat ini bekerja part time sebagai barista di salah satu kafe di kabupaten. Katanya, untuk mengusir rasa kesepian sebagai anak tunggal yang orangtuanya full kerja. Dulu, setiap kali mendengar keluhannya, dengan konyolnya pernah terbesit dalam pikiran jika kelak aku menikah, berencana memiliki banyak anak. Aku tersipu sendiri kala mengingatnya. Khayalanku sudah melampaui batas. Sungguh terlalu kalau kata Rhoma Irama.

"Bel, Bel, lihat deh! So sweet banget berasa dunia milik berdua!"

Kurasakan pundakku digoyang-goyangkannya. Namun, fokusku saat ini sedang tertuju kepada hal lain. Mataku tak henti menatap juga mengikuti langkah kaki besarnya.

"Ssssst! Lihatin apa, sih?!" Anita kembali menyenggol bahuku. Kurang puas, tangan kanannya berdadah-dadah tepat di depan wajahku.

"Tuh!" Mataku menunjuk seorang laki-laki yang barusan melintas.

"Wanginya seperti Arga," imbuhku. Aku segera berpaling dari memandangi punggung laki-laki yang baru saja melintas di depan kami. Menatap manik mata hitam pekat miliknya seraya melipat bibir ke dalam lalu melengkungkan senyuman. Dejavu, aku kembali mengingat dia hanya karena wangi parfume.

"Bosen, ah! Kamu masih bahas dia mulu?! Udahlah, ngapain sih kamu cinta sama laki modelan begitu? Kamu tertarik bagian mananya, Sayang?"

"An...." Aku berdecak kesal. Meski kujelaskan sampai mulut berbusa pun, dia tidak akan mengerti. Perasaanku ke Arga murni dari hati. Aku mencintainya tanpa sebab tanpa tapi. Terdengar klise, tapi bagi mereka yang benar jatuh cinta, ini serius.

Seperti saat Qais dalam cerita Laila Majnun, ketika dia ditanya oleh seseorang, “Sebab apa mencintai Laila? Sedangkan Laila tidak cantik?” kemudian Qais menjawab, “Kau tidak melihat dengan caraku memandangi Laila. Maka sesungguhnya cinta itu adalah Ruh yang dicintai, bukanlah pada wajah semata.”

"Ingat, kamu udah jadi calon istri orang!" tukas Anita, sengaja sekali menekan kata calon istri orang. Aku mengerucutkan bibir, pernyataan Anita adalah kenyataan yang tidak aku sukai.

***

"Yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah ketika muncul hentakan-hentakan kecil di kepala, membawa kembali semua duka nestapa, menyadarkan pada realita-cerita kita telah berbeda."


[Boleh minta nomor WA-nya, Mba?]

Pesan pertama Arga di messenger. Aku mengernyit, laki-laki slengean yang gemar mengajak ribut di sosial media, gemar membuat kerusuhan dengan komentar-komentar menyebalkannya di setiap postingan tiba-tiba meminta kontak WhatsApp. Buat apa?

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang