MD. 4

32 6 0
                                    

Kring Kring Kring

Aku terperanjat, bunyi alarm jam weker menarik kesadaranku secara penuh. Kudapati jarum panjang menunjuk angka 5. Ah, rupanya terlalu asyik bernostalgia, hingga tanpa sadar terlelap selama dua jam lamanya.

Aku beranjak dari kasur, segera mengambil wudhu untuk menunaikan sholat ashar yang terlambat. Hamparan sajadah yang mengarah ke kiblat, menjadi tempat pengaduan terakhir, berkomunikasi kepada sang khalik-Allah ta'ala-Tuhan pemilik alam semesta. Dimana lagi bisa kita temui, berbisik kepada bumi, didengar oleh langit?

Aku mengusap wajah, mengakhiri doa. Segala pinta telah kupanjatkan, selanjutnya biarlah waktu yang akan mengantarkan satu per satu permintaan. Entah itu bahagia atau rasa kecewa.

Terdengar suara Fabian mengetuk pintu, memintaku segera bangun dan memenuhi panggilan ibu. Aku bergegas melipat mukena, menaruhnya di atas sajadah yang kugulung secara rapi. Meletakkannya di tempat tinggi, di atas kursi, agar tidak terjamah kaki yang mungkin terkena najis tanpa kita sadari.

Aku menemui ibu, yang memintaku belanja bumbu dapur yang telah habis di warung teteh Yuli. Aku mengamati dan mulai membaca sesobek kertas kecil-berisikan daftar belanjaan-dengan tulisan ala-ala dokter di dalamnya-latin dan sulit dibaca. Berisikan daftar belanjaan. Aku sedang memastikan apakah yang kubaca sesuai dengan apa yang tercatat di sana.

"Bella, minyak goreng setengah kilo. Ibu lupa mencatatnya, sama kunyit dua ribu rupiah. Terasi dua yang merk 55. Jangan lupa minta catatan harga-harganya!"

Daripada lupa, aku kembali masuk ke dalam rumah. Mengambil bolpoin menuliskan pesanan tambahan ibu.

"Siap laksanakan, Komandan!" kataku seraya memberinya gerak hormat.

Dalam dua puluh menit, aku telah kembali. Menenteng dua kresek plastik hitam yang langsung kuserahkan padanya, untuk dieksekusi, disulap menjadi makanan-makanan lezat.

Aku memperhatikan ibu mengolah bahan-bahan itu dengan seksama, berharap ada satu dua proses yang tertancap di ingatan, ingin rasanya aku pandai memasak seperti ibu.

"Ibu, ajarin aku masak, dong!"

Perempuan empat puluh lima tahun itu tertawa, seolah permintaanku adalah hal lucu baginya. "Kamu mau ngapain?"

"Masak." Benar begitu, kan?

"Ya sudah, kemari, kupas dan iris bawangnya!"

Aku cepat memprotes, "Ibu, aku mau memasak bukan mau mengupas bawang! Kalau sekedar mengupas dan mengiris, Aku sudah bisa!"

Ibu kembali tergelak, "Bel, sampai kamu tidak menangis lagi saat mengupas bawang dan mengirisnya, saat itulah Ibu baru akan mengajarimu cara memasak. Sekarang, berlatihlah dahulu. Kupas dan iris bawangnya!"

Baiklah, akan kubuktikan bahwa aku bisa mengupas bawang merah tanpa menangis. Aku mengambil pisau, mulai mengupas. Sayangnya, perih yang aku rasakan. Aku melengos, menjauhkan wajah dari bawang-bawang kecil ini.

"Ini, Bu, sudah." Aku menyerahkan bawang yang telah berhasil kupotong, meski dengan deraian air mata.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi menertawakanku, "Inilah sebab Ibu ingin kamu menikahi Fadhil, dia bisa memasak, melengkapi kekurangan kamu yang tidak bisa masak."

"Kenapa repot? Kan bisa membeli di luar? Lagian, Allah menganugrahiku kemampuan secara finansial, pasti itu salah satu alasannya."

"Tidak ada yang tahu nasib seseorang di masa depan. Roda kehidupan berputar. Apa yang kamu miliki sekarang hanyalah titipan. Jangan menjadikanmu sombong, ya? Jika Allah mau, Dia bisa saja meruntuhkan bisnismu semudah membalikkan telapak tangan."

"Astaghfirullahaladzim, iya, Bu, maaf."

Ibu lanjut menjelaskan. "Pasangan harus bisa saling melengkapi, menutupi kekurangan masing-masing. Pernikahan tidak butuh cinta. Namun, butuh saling pengertian."

Ibu memasukkan bumbu yang baru saja ia haluskan dalam cooper ke wajan. "Banyak sekali mereka yang kehilangan cinta setelah pernikahan. Karena mereka tidak saling memahami. Bahkan, hubungan lama bertahun-tahun dengan status pacaran, bisa kandas setelah menikah dalam beberapa hari."

Aku menyimak, sembari memakan remahan rengginang di atas meja.

"Itu karena, minimnya ilmu yang mereka punya. Jika berpikir menikah adalah untuk bahagia, maka tarik bayangan itu dari sekarang. Menikah tidak selalu bahagia. Akan ada ujian-ujian yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing hamba-Nya. Pernikahan akan langgeng, saat orientasinya hanya untuk ibadah kepada Allah. Menjadikan rasa kecewa sebagai sarana mendapat pahala Allah saat hatimu ikhlas menerimanya."

"Lima tahun pertama, kamu akan kaget dengan hal-hal yang baru kamu rasakan, tentang pasangan yang mungkin berbeda, tentang lelahnya menjadi seorang ibu, tentang banyak hal yang tidak sesuai realita. Inilah fase penyesuaian diri. Saat kamu berhasil melewatinya, insya Allah mudah untuk menjalani tahun berikutnya. Makanya nggak heran ada istilah "sebesar apapun ombaknya, jangan pernah lompat dari kapal" sebab inilah fase-fase terberat pernikahan. Banyak yang nggak kuat dan memilih perceraian sebagai jalan pintas. Padahal, mau dengan siapapun menikah, masalah akan tetap ada."

"Seram sekali, Bu, jadi tidak ingin menikah," celetukku di sela nasehat pernikahan yang sedang ibu bicarakan.

"Hust, hati-hati kalau bicara!"
Ibu kembali mengimbuhkan, "Bella, maka syarat yang diajukan ayahmu adalah sebaik-baiknya syarat. Ayah menginginkan menantu yang penyayang, karena dengan sifat tersebut, diharapkan ia akan memuliakan dan memperlakukan kamu dengan baik. Kedua, ayah tidak menyukai laki-laki perokok karena biasanya mereka yang merokok keras kepala, bukankah perokok akan menyangkal semua pendapat dan terus mencari-cari pembenaran dari merokok? Lalu, terkait unggah-ungguh, ini penting sekali karena kita orang Jawa. Agar kelak ketika kamu membawanya untuk dikenalkan kepada keluarga besar, dia bisa menempatkan diri."

"Iya, Bu. Bella setuju sama pendapat ayah, kok."

"Bagus! Kamu tahu, ada dua hal yang mungkin tidak akan bisa ditolerir kesalahannya dalam pernikahan, yaitu selingkuh dan KDRT. Selagi bukan dua itu, pertahanan perahunya. Hadapilah badai bersama-sama."

Ibu kembali berbicara, "Menjalani rumah tangga ibarat melakukan perjalanan mengarungi lautan, membutuhkan ilmu. Ilmu bagaimana cara-cara bertahan ketika terjadi badai."

"Ibu, aku merinding. Ibu dapat darimana kata-kata indah itu?"

"Ish, sudahlah, sana mandi! Lalu siapkan piring untuk makan malam. Ayahmu akan pulang sebentar lagi!" perintahnya, aku pun lekas beranjak.

🍁🍁🍁

"Bulan, kamu bersinar sendirian, kemana bintangmu?"
Meletakkan tanganku di atas jendela dengan dagu yang ditempelkan di sana juga. Aku berdiri memandangi indahnya langit malam dengan puluhan bintang yang bertebaran di sana.

Langit, dengan segala keindahan dan misterinya yang tak terbatas, selalu menjadi sumber inspirasi bagi manusia sepanjang perjalanan sejarah. Dari awan berwarna-warni hingga gemerlap bintang di malam hari, langit telah mengundang kita untuk merenung, bermimpi, dan bertanya-tanya tentang makna eksistensi alam semesta.

Berbicara soal langit, mari, akan kuceritakan bagaimana aku mencintai langit dengan segala yang ia punya. Memang, langit tidak selamanya tenang. Kadang kala gunturnya terlampau keras memekik telinga. Kadang pula gerimis dan hujan besarnya membuat badan yang lemah ini meriang. Namun, aku sudah menerima langit dengan segala bentuk cuaca yang dia miliki. Mencintai kemaraunya, mendungnya, hujannya, bahkan badainya sekalipun. Tapi ... ini bukan sekedar tentang langit. Yah, seperti itulah dia dengan penggambarannya. Dia dengan segala moodswingnya.

Arga, andai saja kamu tahu, dalam setiap detakan dan tarikan napas, tidak ada jeda aku mengagumi dirimu. Sejak aku jatuh cinta padamu, memilikimu adalah hal yang selalu kusemogakan. Namamu menjadi perbincangan rahasiaku dengan Tuhan. Yah, meskipun di hadapanmu aku malu-malu, tapi di hadapan-Nya, sungguh aku memintamu secara terang-terangan. Maaf untuk segala kelancangan ini, semoga kamu tidak keberatan.

"Apa ini? Langit dan-"

"Bian!" hardikku dengan tatapan melotot, merebut sepucuk kertas yang berada dalam genggaman adikku.

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang