MD.6

31 6 0
                                    

"Arga siapa, Bu?" tanya ayah bingung.

"Yang waktu itu ke sini, dia kayaknya suka sama anak kita," sahut ibu.

Ayah beralih menatapku, "Betul, Bel? Dia suka sama kamu?"

"Enggak, Yah. Kita hanya berteman. Ibu sukanya mengada-ada," sahutku dengan menundukkan kepala.

Beliau membiarkanku sejenak, sebelum akhirnya berbicara kembali.
"Nak, untuk saat ini nggak papa, kalau teman laki-laki kamu mau bertamu, rumah kita selalu terbuka untuk siapapun. Tapi, Nak, apa kamu yakin Arga tidak ada maksud lain? Maksud Ayah, bagaimana kalau ternyata dia menyukaimu barangkali? Apa tidak sebaiknya kamu menjaga jarak dengannya? Takutnya malah bikin sakit hati kalau dia tahu kamu akan dilamar. Dan apa keputusanmu? Kamu terima Fadhil atau tidak?"

"Bella belum tahu, Ayah. Jujur, Bella belum siap untuk itu. Rasanya terlalu mendadak. Kasih Bella waktu untuk berpikir. Sebelum hari itu tiba, Bella janji akan memutuskannya."

Aku menunduk, menyembunyikan air mataku yang tiba-tiba mengalir begitu saja. Padahal ayah tidak memarahiku, tapi kenapa dadaku terasa nyeri? Seolah jiwa ini mengerti akan kehilangan separuhnya. Aku akan kehilangan Arga dalam enam hari.

"Baik, apapun keputusanmu tapi Ayah berharap kamu mempertimbangkan dengan baik Fadhil, seandainya kamu menolaknya, belum tentu kamu akan mendapat lelaki sebaik dia lagi."

Ibu mengimbuhkan, "Pamali tahu, Bel, menolak lamaran, kalau kata orang dulu, nanti susah dapat jodohnya, makin jauh jodohnya."

"Iya, Ayah, Ibu." Aku berkata dengan suara yang tertahan, dadaku rasanya semakin sakit. Kalimat barusan jelas menohokku. Hingga kemudian, suara isakan yang pelan berubah menjadi suara tangisan yang keras.

Ibu dan ayah saling memandang, heran dan bingung melihat reaksiku. "Pikirkan lagi bak-baik. Jangan sampai menyesal di kemudian hari. Mintalah petunjuk Allah. Jangan sampai salah membuat keputusan."

***

Kepingan puzzle tentangmu bahkan belum selesai kususun. Namun, mengapa waktuku telah habis? Sang pemilik enggan memberiku waktu tambahan. Memaksaku melepaskan puzzle dan mengubur mimpi untuk memenangkannya. Aku dipaksa mundur dan membawa segala rasa penasaranku pulang. Tentang kamu, tentang bait-bait kisah dalam hidupmu, aku ingin sekali mengetahuinya. Aku ingin menyelam lebih dalam agar dapat memahamimu secara utuh.

Mataku terpejam. Kutarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Bolpoin kuletakkan kembali di tempatnya. Buku bersampul cokelat di hadapan kututup pelan dan mendekapnya dalam pelukan. "Aku harus apa?"

"Kamu nggak beliin Arga cemilan? Katanya dia mau datang?"

Lagi-lagi ibu mengagetkanku dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Pandangan ibu beralih pada buku yang sedang kudekap. "Lagi apa?" tanyanya.

"Tugas kuliah," sahutku asal, buru-buru meletakkan buku di atas meja.

"Oh, sana pergi beli cemilan! Sekalian Ibu mau nitip beliin lombok lima ribu. Ibu mau masak sudah sore. Kasihan ayahmu pulang belum ada makanan. Kamu juga mandi sana, nanti Arga ke sini kamu belum siap. Buruan, ya, Ibu tunggu."

Aku mengangguk. "Iya, Bu."

🍁🍁🍁

"Bu, uniko ada? Lanting? Keripik pisang?"

Aku telah tiba di warung bu Yuli. Mengamati isi rak dari atas sampai bawah, tapi tak menemukan cemilan yang kucari.

"Lihat aja sendiri, Mba, di rak ada apa enggak. Kalau tidak ada, berarti habis," tutur penjual yang masih sibuk melayani pembeli lain. Dih, judes amat. Pembeli adalah raja, lho, aku berucap dalam hati.

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang