Mataku mengerjap saat cahaya mentari dari ventilasi menyorot tepat pada wajahku dan membuatku silau. Suara ketukan pintu terdengar berulang, diiringi suara ibuku yang terus memanggil-manggil.
“Masuk aja, Bu, nggak dikunci!”
“Bella, perias sudah datang.” Ibu membuka pintu, aku masih termenung di dalam kamar. Dengan sisa-sisa air mata yang mulai mengering bekas menangis semalaman. Sehabis menangis panjang, rupanya tanpa sadar aku telah terlelap. Meskipun hanya satu jam lamanya dari jam 6 pagi sampai 7 pagi.
“Bella!” Ia terlonjak kaget mendapati anaknya dengan mata bengkak dengan rambut yang berantakan.
“Ada apa? Kamu kenapa kaya gini, haa?” Ibu merapikan rambutku yang berantakan. Lalu, menangkupkan kedua tangannya membingkai wajahku yang tampak lesu.
Ibu terlihat panik. “Kamu ‘kan mau dirias, masa kaya begini?!”Tak sepatah katapun aku bicara, rasanya tidak kuat untuk sekedar mengatakan aku baik-baik saja.
“Cepat ke kamar mandi terus cuci muka! Ibu nggak mau, ya, para tamu mengira pertunangan hari ini adalah perjodohan paksa. Ingat, ya, Bella! Ibu tidak pernah maksa. Kamu sendiri yang menyetujuinya.” Bu, Ibu memang tidak pernah memaksa, tapi Ibu menginginkannya. Dan, keinginan Ibu adalah perintah bagiku, ucapku dalam hati.
Aku mengangguk lalu berjalan dengan sisa tenaga yang aku punya. Aku melangkah gontai menuju kamar mandi. Kulihat orang-orang yang aku lintasi serempak memperhatikan wajahku. Sayangnya, aku tak peduli pada pikiran orang lain. Seusai cuci muka dan mandi, aku duduk di kursi yang tim perias sediakan.
“Mba habis nangis, ya? Matanya bengkak parah,” komentar mba Dian, periasku.
“Iya, Mba. Maaf, ya. Terus gimana, Mba?” tanyaku balik, merasa bersalah karena sudah menyusahkan pekerjaanya.
“Harus dikompres dulu, Mba. Ada air hangat?”
“Aku minta ke ibu dulu, ya?”
Mba Dian mengangguk. Aku beranjak untuk mengambil air. Lalu kembali dengan membawa sebaskom air dan kapas. Dengan telaten dan sabar, ia mengompres mataku.
“Mba, kalau bisa jika esoknya akan dimake-up, nangisnya ditahan dulu, ya? Nanti hasilnya kurang maksimal. Bengkak di mata akan mengurangi tingkat keindahannya, karena sulit untuk disamarkan.”
Aku melihat cermin, bengkak di mataku berangsur membaik. Walaupun tidak bisa hilang total, setidaknya tidak terlalu parah seperti di awal.
“Iya, Mba. Maaf, ya, sudah mempersulit pekerjaan mba Dian,” tuturku merasa tak enak dengan mba Dian.
“Tidak apa-apa, Mba, saya malah menghawatirkan Mba Bella. Tentu Mba ingin tampil sesempurna mungkin bukan di hari spesial Mba ini?”
Bukan aku yang menginginkannya, Mba. Bahkan, tak pernah terpikir olehku akan bertunangan dengan laki-laki yang wajahnya saja tidak pernah aku bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Dilamar
RomanceDesakan menikah dari orang tua, membuat Bella iseng mencuri melati pengantin saat pergi kondangan di pernikahan tetangganya. Siapa yang menyangka, mitos yang beredar dan selalu ia sangkal, kini ia alami sendiri, saat tiba-tiba dirinya dilamar oleh l...