MD.15

40 1 0
                                    

“Kenapa tidak berterus terang sama Ibu? Jadi, alasan mata kamu bengkak hampir setiap hari itu Arga? Bukan karena merindukan Fadhil?”

Aku mengangguk. “Alasan lainnya, waktu itu Bella merasa belum siap dengan komitmen dalam hubungan. Rasanya terlalu mendadak dan terburu-buru.”

“Dua puluh tahun itu sudah dewasa. Ibu dulu menikah umur tujuh belas tahun. Delapan belas mengandung kakak kamu. Sembilan belas tahun melahirkan.”

Ibu kembali menambahkan. “Punya anak perempuan itu tanggungjawabnya besar. Kamu tidak akan paham selama kamu belum menjadi seorang ibu. Pergaulan jaman sekarang mengkhawatirkan, anak perempuan dibonceng laki-laki kesana kemari tanpa ikatan. Pegangan tangan, berpelukan, pulang - pulang lapor telat datang bulan. Ya Allah ... miris Ibu melihat berita! Ibu hanya berusaha menjaga kamu dari pergaulan bebas. Ibu ingin menjaga kehormatan kamu sebagai seorang wanita. Lagipula, kamu sudah 20 tahun, lebih tua 3 tahun dari usia Ibu menikah dulu. Sudah diperbolehkan baik secara agama maupun negara. Kamu tidak lagi disebut remaja, Bella. Kamu sudah dewasa. Dan Ibu juga tidak memaksamu untuk menikah cepat, 'kan? Kamu boleh melanjutkan sarjana kamu dulu.”

Aku menghela napas panjang. “Ibu terlalu berlebihan … apa Ibu tidak memercayaiku? Aku bukan gadis kecil yang tidak tahu mana yang benar dan salah. Aku bisa menjaga diri. Bukankah selama ini aku selalu nurut sama Ibu? Perkataan Ibu mana yang tidak kulakukan? Ibu memutuskan segala hal di kehidupanku. Bu, dewasa tidak ditentukan oleh usia. Umur bukanlah patokan kesiapan mental seseorang untuk menikah, tidak bisa disamaratakan. Jaman kita berbeda, Bu. Aku tidak ingin menikah muda. Aku ingin membahagiakan Ibu dengan prestasi Bella." Aku menjelaskan dengan gamblang, berharap ibu akan mengerti.

“Kebahagiaan Ibu adalah melihat kamu menikah, Bella. Lagipula, kodrat wanita itu cuma tiga; dapur, sumur, dan kasur. Tidak perlu terlalu berambisi mencapai sesuatu di luar dari kodrat kita sebagai perempuan.”

Aku terhenyak, memilih mengakhiri pembicaraan dengan alibi akan mengerjakan tugas kuliah. Aku tidak ingin menggunakan mulutku untuk mendebat ibu yang telah mengajariku berbicara. Pergi dari hadapan ibu adalah pilihan terbaik daripada meneruskan pembicaraan yang sudah berbeda haluan.

Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Aku menangis, menangisi perbedaan pemikiran di antara aku dan ibu yang tidak menemukan jalan keluar justru adu kuat mempertahankan mindset-nya masing-masing. Aku menangis, membayangkan kehidupan pernikahan dengan segala di dalamnya yang ... rasanya ingin 'ku acak-acak saja kamar ini.

***

Kodrat wanita itu cuma tiga; dapur, sumur, dan kasur.

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku. Entah siapa pencetusnya, aku sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Padahal, pada dasarnya wanita sama seperti laki-laki sebagai manusia, mereka diciptakan setara sebagai makhluk ciptaan Tuhan, hak dan kewajibannya pun sama begitu juga kebutuhan dan keinginannya.

Mengacu pada arti dari kodrat itu sendiri bermakna kekuasaan Tuhan, hukum alam, dan sifat asli atau sifat bawaan. Merujuk pada arti tersebut, maka yang paling benar mengenai kodrat wanita adalah menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Dimana ke-tiga hal tersebut adalah kuasa Tuhan yang hanya dapat dilakukan oleh wanita—kecuali bagi wanita yang diberikan ujian.

Pria bisa dan boleh memasak, begitupun wanita boleh meniti karir sesuai yang diingankannya. Semua hal itu sama rata, bisa dimiliki wanita maupun pria. Tentu saja tidak ada yang salah dengan berada di dapur, di sumur, atau di kasur. Tetapi, membatasi ruang hidup perempuan di tiga tempat itu adalah hal yang keliru.

“Gimana, seru, kan?”
Aku terkesiap dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Tadi dia bicara apa?

“Ah, gimana, Mas?”

Aku dan mas Fadhil duduk bersebrangan di sebuah warung makan pinggir jalan. Dia baru saja menjemputku pulang kuliah dan mengajak mampir ke warung makan untuk mengisi perut. Ini hari kedua setelah kepulangannya kemarin.

“Kamu mikirin apa, Dik?” tanyanya.

“Eh, enggak ... nggak mikirin apapun. Maaf.”

“Ya udah, dimakan nasinya nanti keburu dingin. Mas aja udah mau selesai kamu belum apa-apa,” katanya.

“Iya, Mas.” Aku cepat menyendok nasiku dan makan dengan terburu-buru. Berharap bisa segera pulang dan istirahat.

“Jangan terburu-buru, nanti tersedak. Makan yang baik, Calon istriku.”

Uhuk-uhuk!

Aku terbatuk-batuk, tersedak, mas Fadhil lekas menyodorkan air putih untuk aku minum. Bukan, bukan karena terburu-buru makan, tapi karena panggilan yang baru saja ia layangkan untukku.

“Tuh, kan, tersedak. Mas bilangin hati-hati,” katanya penuh penekanan.
Aku tersenyum kecut, “Terima kasih,” ucapku sembari kembali meletakkan gelas.

Aku melanjutkan makan, Fadhil yang sudah selesai dari tadi, hanya bergeming menatapku sembari senyum-senyum
.
“Cantik banget calon istriku,” ujarnya di sela makanku.

Kali ini aku tidak tersedak, tapi perkataan itu terdengar menggelikan sekali. Calon istri? Emang, iya, sih. Tapi kan ... tidak perlu disebutkan juga. Apalagi di tempat umum seperti ini? Malu rasanya.

“Dik, diam aja? Dimakan atuh!”

"Iya," sahutku pendek, buru-buru menghabiskan makananku dengan segera.

Makan malam pun selesai, aku dan Fadhil sudah berada di parkiran motor. Fadhil memasukkan tas miliknya ke dalam jok. Aku masih berdiri menunggu Fadhil bersiap dengan motornya.

“Kita mau mampir kemana lagi?” tanya Fadhil seraya menyerahkan helm.

“Pulang aja kali, ya?” sahutku, setelah melihat angka 22.32 pada layar ponsel. Acara makan malam tadi menghabiskan waktu sekitar 32 menit.

7 panggilan tidak terjawab
1o pesan belum dibaca

Notifikasi dipenuhi kontak yang kuberi nama “Ibuku” yang isinya selalu sama yaitu perintah untuk segera pulang. Hmm, meskipun usiaku sudah kepala dua dan berstatus mahasiswa, rasa khawatir ibu tak berkurang sedikitpun. Justru semakin bertambah akibat banyaknya berita pemerkosaan akhir-akhir ini.

Aku membuka kaca helm, memiringkan kepala karena suara Fadhil setara dengan ributnya jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang menyalip kami.

“Apa, Mas?” tanyaku meminta dia mengulangi.

“Beneran nggak mau mampir kemana-mana?” ulangnya memperkeras suara, menoleh sedikit-sedikit ke belakang, ke arahku.

“Oh, pulang aja, Mas,” sahutku.
Fadhil menganggukkan kepala, lalu menambah kecepatan motornya hingga kendaraan kami tidak lagi disalip motor lain. Mungkin, karena sudah malam juga.

Tiba di depan gerbang, Fadhil pamit pulang. Dia merasa tidak enak jika mampir malam-malam begini. Aku mengetuk pintu, saat ibu membukanya, Fadhil bergegas pergi.

“Lho, Fadhil nggak mampir?” tanya Ibu seraya menutup pintu kembali.
“Sudah malam, Bu. Tidak enak sama tetangga katanya.”

“Oalah, iya. Pemuda sini kalau malam pada nongkrong di pojokan TK yang arah kemari itu, lho. Kepada pemuda lain yang bukan berasal dari wilayahnya, mereka suka sekali mengajak ribut. Bisa-bisa dikeroyok si Fadhil. Makanya kalian cepat nikah, cepat diresmikan, biar aman kalau kemana-mana,” ucap Ibu, membuat mood yang sudah buruk karena merasa letih menimba ilmu bertambah buruknya.

“Bu, Bella capek. Ibu jangan bahas ginian boleh?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang