MD. 3

29 7 0
                                    

"SMA, Bu," jawab Arga seraya tersenyum.

Spontan aku menyembunyikan wajah dengan telapak tangan. "Ketahuan, deh!" lirihku merutuki keadaan.
Arga menatapku yang sedang memelototi dirinya. Bukannya sadar, dia yang tidak paham kode malah menaik-naikkan alisnya dan bertanya. "Apa?" katanya.

"Kenapa, Bella?" tanya ibu menoleh.

"Emm, nggak papa, Bu." Aku menunduk malu.

Ibu mengalihkan pandangannya kembali pada Arga. "Oh, SMA. Mas Arga tinggal dimana?" tanya ibu lagi.

"Desa K.R, Bu. Masih satu kecamatan dengan Bella." Arga menyebutkan nama desa tempat tinggalnya. Ia kembali melanjutkan. "Tapi sehari-hari saya di Jakarta karena kerja di sana."

"Oh, dekat berarti. Anaknya siapa, sih, Mas? Barangkali Ibu kenal, terus Mas Arga kerja dimana?"

Arga memandangku sekilas. "Bapak Wardana, Bu. Saya kerja di Perusahaan OMJ di Jakarta Utara."

"Sebagai apa?"

Aku mencolek lengan Ibu. Sebuah kode memintanya berhenti mengulik-ulik Arga yang sudah menunjukkan ekspresi tidak nyaman.

"Staf biasa, kok, Bu."

"Emm, begitu. Ya sudah, Ibu tinggal ke dalam dulu, ya? Lanjutin ngobrolnya sama Bella. Dimakan jajannya. Bella sudah membelikannya khusus buat tamu spesial katanya."

"Ibu!"

Ibu terkekeh, segera masuk ke dalam.

"Tamu spesial?" Arga memandangku dengan tatapan meledek. Aku memalingkan wajah, malu tiada terkira.

"Kamu kenapa jawab SMA, sih? SMP tau! Aku bilang ke ibu kita teman SMP bukan SMA! Ketahuan bohongnya, kan?"

"Serius, Bel?" tanyanya terkejut.

Aku diam, menatap gusar padanya. Terbayangkan serentetan peristiwa yang mungkin akan terjadi setelah perginya Arga dari rumahku. Jika saja ibu menyadari ini maka dapat dipastikan, nama Arga akan terblacklist dari kandidat calon menantu. Ibu yang parno dengan berita pemerkosaan juga pembunuhan akibat kencan setelah berkenalan di sosmed membuatnya selalu mewanti-wantiku sebagai anak perempuan satu-satunya yang belum menikah ini untuk senantiasa menjaga diri, agar jangan pernah berkenalan dengan orang asing di sosmed, apalagi sampai bertemu diam-diam.

"Maaf, Mbil, kan nggak ada briefing soal ini. Aku juga nggak nyangka kalau ibu kamu ikut menyapa. Jujur aja, ya, selama aku main ke rumah cewek, nggak pernah orang tuanya turut serta. Jadi, ya ... aku asal jawab aja. Aku gugup. Ini first time aku tau ... terus gimana? Nanti kamu dimarahin ibu?" Arga terlihat khawatir, tampak dari air mukanya yang berubah serius.

"Mbil?" tanyaku merasa bingung dengan panggilan yang ia sebutkan untukku.

Arga malah terkekeh, "Hehe, kamu kan suka timbilan," sahutnya.

For your information, Mbil atau Timbil adalah istilah Jawa untuk menyebut sebuah penyakit mata bernama bintitan. Yah, aku mengidap penyakit ini sejak duduk di bangku putih abu-abu. Meski sudah melakukan operasi kecil sebagai langkah penyembuhan, tapi tetap saja tidak bepengaruh banyak. Dokter yang menangani mngatakan bahwa bintitan yang aku alami adalah 'bakat' atau bawaan sehingga kini aku pun hanya bisa pasrah, menahan rasa malu saat bintitan datang. Kemudian bersabar dengan anggapan orang-orang yang meledek dengan mengatakan, "Habis ngintip, ya?"

"Juplek, balik, yuk?!"

Kami berdua menoleh. Indra kembali dan mengajak Arga pulang. Ada guratan tidak biasa di wajahnya. Mungkin, ini ada kaitannya dengan panggilan telepon tadi, tapi sayangnya sahabat Arga itu enggan mengatakan apa penyebabnya.

Juplek? Dahiku berkerut. Panggilan macam apa itu?! Arga dan teman-temannya suka sekali mengganti-ganti nama orang lain.
Arga melihat jam tangannya, "Mbil, aku pulang sekarang, ya?"

"Iya, Ga. Sekarang banget, nih? Baru aja tiba."

"Sudah malam juga, Mbil, nggak enak sama ibu sama bapak. Yah?"

Aku pun mengangguk meski terpaksa. Arga kemudian berdiri, tangannya meraih gelas di atas meja, meneguk kembali sisa es sirup yang baru dihabiskan setengah.

"Kamu berdua mau foto nggak?" celetuk Indra. Aku dan Arga saling berpandangan.

"Boleh, Mbil?" tanya Arga meminta ijin.

"B-boleh." Aku mengangguk. Terkesiap dengan pertanyaan Arga yang tiba-tiba.

Indra sudah siap dengan kamera ponsel mengarah kepada kami yang kini sudah duduk satu sofa tapi masih berjangka kira-kira dua jengkal. Arga inisiatif memangkas jarak, duduk di sebelahku. Aku kepayahan menelan saliva. Mencoba mengatur detak jantung yang kini makin cepat degupannya.

"Sudah," kata Indra, lalu menunjukkan hasil jepretannya kepada Arga. Meskipun penasaran ingin melihat hasilnya juga, namun tengsin lebih mendominasi. Huft, akhirnya bisa bernapas lega.

"Mbil, selfie!" Arga mengarahkan ponselnya ke depan, lebih merapatkan tubuhnya dari sebelumnya. Harum parfum Arga lagi-lagi menguar terendus indra penciuman hingga jantungku kembali bereaksi. Dia sadar atau tidak, sih, kalau aku deg-degan? pikirku seraya menatap wajah yang tidak menunjukkan ekspresi yang berarti—terlihat biasa-biasa saja.

"Aku tunggu di luar, ya?" ucap Indra, kemudian berlalu pergi, seolah memberikan ruang privat untuk aku dan Arga mengobrol berdua sebelum berpamitan.

"Makasih, ya?" ucap Arga.

Aku mengangguk. "Iya," kataku.

"Oh iya, Mbil, aku sopan nggak, ya, pakai celana pendek begini? Aku nggak enak sama orangtua kamu."
Hoodie hitam resleting samping dipadukan dengan celana chinos cream sependek lutut, itulah outfit Arga pada kunjungan pertama ke rumahku saat itu.

"Memangnya kenapa?" sahutku, merasa aneh.

"Aku nggak tahu kalau kamu ternyata bakal disambut orang tua kamu juga. Aku nggak enak, nggak sopan banget, ya, aku bertamu pakai ginian?"

Aku menahan tawa mendengar Arga yang tiba-tiba mempertanyakan penampilannya. "Udah, nggak papa. Nanti kalau kamu ke sini lagi pakai celana panjang aja, kalau perlu pakai koko biar tambah ganteng," balasku asal. Sementara Arga terlihat senyum-senyum mendengarnya.

"Oke, Mbil. Siap!"
Aku mengantar Arga dan Indra sampai di depan gerbang, mengucapkan hati-hati untuk perjalanan pulangnya. Malam sudah larut, jalan menuju rumahnya terbilang buruk, rusak dan banyak lubang. Lengkap sudah penderitaan berkendara malam dengan penerangan jalan yang minim.

"Daaah, Uhty!" Arga melambaikan tangan. Dia konyol sekali.

"Daaah, Akhi!" Aku tersenyum, membalas lambaiannya.

Arga mengirim sebuah foto, saat kubuka itu adalah foto kita. Dari beberapa foto yang dikirim, foto yang ditangkap oleh kamera Indra lebih bagus daripada yang lainnya. Menampilkan hasil candid Arga yang sedang mengangkat kamera untuk selfie dan aku yang sedang memandang ke arah kamera Arga.

Bibir ini tersenyum memandanginya, terkesan natural dan manis. Aku pun lekas menguploadnya sebagai story whatsapp dengan ucapan "Terima kasih" sebagai caption. Tentu saja hal ini ku privasi dari Arga. Aku tidak ingin pria menyebalkan itu besar kepala jika tahu fotonya aku posting.

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang