September, 2020
Sudah 2 bulan lebih 5 hari sejak kepergian Arga dari kehidupanku, tapi kenapa tentang kamu tak kunjung lenyap dari hati juga pikiranku? Kamu sengaja menyiksaku dengan rindu, ya? Aku mengambil buku cokelat yang kusimpan di sela tumpukan pakaianku. Tanganku terulur mengambil bolpoin, lalu menuliskan kata demi kata, merangkainya menjadi kalimat yang mewakili isi kepala.
Pada secarik kertas aku bercerita
Jari jemari memainkan pena sesuai hati
Menumpahkan segala emosi dalam diri
Bukanlah aku, melainkan jiwa yang merindukan separuhnya.
Berkelana mencari tahu
Ada apakah dibalik hilangmu?
— Dari kekasih untuk kekasih.Dengan menempelkan stiker random, aku mengakhiri secuil puisi yang telah terangkai secara tiba-tiba. Membuka lembar baru, kembali menumpahkan isi kepala. Bagi manusia yang tidak pandai bercerita sepertiku, buku dan pena adalah teman terbaik untuk menggantikan manusia. Terkadang bercerita dengan manusia itu repot—kamu harus menjaga hubungan baik dengannya selamanya jika ingin rahasiamu tetap aman.
Kututup buku itu dengan perlahan. Sedikit rasa sesal hinggap kala penaku tergeletak seusai bergerak bebas menurutkan perasaan. Sial, aku kembali menuliskan namanya. Bukankah aku telah berjanji untuk tidak menuliskan namanya lagi?
"Katakan, Mas, apa alasannya?"
Lanjutan kepingan memori itu kembali mengusik isi kepala. Dia yang tidak juga menjawab, mendesakku untuk menagih alasan.
"Mas tidak bisa memberimu alasan, bukankah adanya kita Allah yang memilihkan?"
Aku bergeming, jawaban itu tidak memuaskan dahaga jiwaku. Aku perlu diyakinkan, bahwa hadirku memang dia inginkan. Aku ingin dicintai bukan hanya sekedar dijadikan istri. Aku ingin dinikahi karena dicintai.
“Apa Mas mencintaiku?” lugasku, to the point.
Dia kembali tersenyum. “Kamu sudah mencintai Mas?”
Ah, kenapa dia malah balik bertanya?! Aku berpaling wajah, merasa tersudutkan oleh pertanyaan yang kubuat sendiri. Aku harus jawab apa? Tidak mungkin berterus terang kepadanya aku mencintai orang lain.
“Mas tahu, cinta itu belum ada dalam hatimu. Adik pasti risih, dilamar oleh pria asing, benar begitu?”
Ruang tamu tempat kami bicara ini cukup luas, tapi kenapa rasanya aku kesulitan bernapas? Aku terdiam, takut salah bicara lalu menyinggung perasaannya.
“Tidak apa. Mas mau menunggu. Perihal cinta, memang butuh waktu, 'kan? Santai saja, tidak perlu buru-buru. Mari saling mengenal mulai hari ini.”
Aku terperangah dengan jawabannya. Laki-laki ini bijak dan dewasa. Apakah pantas untuk perempuan kekanakan-kanakkan sepertiku? Lagipula, sampai kapan dia akan menunggu? Aku tidak akan bisa mencintainya sampai kapanpun. Cintaku telah habis untuk Arga. Sepeninggalannya, aku mati rasa.
Aku terkesiap, suara bolpoin jatuh menarikku dari hanyutan lamunan. Seharusnya dari awal aku bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada Arga. Orang-orang bilang tamu itu disuguhi kopi, bukan hati. Aku terburu-buru memberinya kunci untuk dia tinggali. Padahal ia sekedar mampir, bukan singgah.
“Bella….”
Ketukan pintu terdengar dari luar. Ibu memanggilku untuk mengajak makan malam bersama.
“Iya, sebentar, Bu.” Aku meletakkan kembali buku milikku, lalu berjalan dengan langkah kecil menuju ruang makan.
“Coba mana lihat cincinnya!” Fabian tiba-tiba menarik tanganku, menghadapkan jari-jariku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Dilamar
RomanceDesakan menikah dari orang tua, membuat Bella iseng mencuri melati pengantin saat pergi kondangan di pernikahan tetangganya. Siapa yang menyangka, mitos yang beredar dan selalu ia sangkal, kini ia alami sendiri, saat tiba-tiba dirinya dilamar oleh l...