MD.7

24 7 0
                                    

“Enggak … aku sekedar penasaran aja siapa orangnya. Terus kenapa mendadak sekali begitu. Jangan ge-er, deh!” ujarnya, diakhiri suara tawa.

Lalu dengan kalimat itu, Tuhan mematahkan doa-doaku.

“Baiklah.” Dengan susah payah aku berusaha tersenyum. Menahan diri untuk tidak menangis di hadapannya. Jangan sampai dia tahu. Biarlah perasaan ini menjadi rahasia abadi antara aku dan Tuhan.

“Diminum dulu jusnya!”
Pandanganku beralih pada segelas es teh yang masih penuh di hadapan Arga. Mencoba memulihkan suasana yang mendadak canggung ini. Dia menengguknya dengan buru-buru, menghabiskan isinya separuh dalam sekali teguk.

“Hati-hati minumnya, Ga …!”
Dia tersenyum seraya menatapku. Ia letakkan gelas yang berada dalam genggamannya. Aku tersenyum menyambut. Akhirnya, wajah yang selama ini semu, bisa kutatap dalam wujud nyata. Jika bukan aku, kepada siapa cintamu bermuara? Apakah masih dia orangnya? Perempuan yang menghuni hatimu empat tahun lamanya?

Aku pernah membaca sebuah artikel, menyatakan bahwa seorang pria ternyata memiliki kecenderungan lebih susah melupakan hubungan cinta masa lalunya ketimbang perempuan. Pria cenderung tidak bisa melupakan hubungan masa lalunya dengan baik, terutama mantan yang memberi kenangan paling mendalam. Kalau tidak salah, dalam artikel tersebut disebutkan bahwa pernyataan ini adalah hasil dari sebuah penelitian yang diterbitkan dalam SAGE Journals Personality at Midlife : Stability, Intrinsic Maturation, and Response to Life Events. Jadi, apakah itu benar?

Hingga tibalah saat Arga akan pulang, ia memintaku untuk memanggil ayah dan ibu. Ingin pamitan katanya. Aku keluar bersama ayah dan ibu yang tengah menggendong si kecil Alfa.

“Alfa ....” Dia mencubit gemas pipi balita itu. Yang dicubit memandang dengan takut-takut. Maklum, tidak pernah melihat wajah Arga sebelumnya.

“Dalem, Om Arga…,” ucap ibu menyahut, mewakili Alfa yang diam saja karena bertemu dengan orang asing baginya.

“Bu, saya pamit, ya?” ucap Arga. Dia meraih tangan ibu untuk salim. Setelah itu tangan ayah. Kenapa melihat momen indah ini, hatiku justru berdenyut nyeri? Ah, iya … akan segera berakhir, ya?

“Mas Arga, mau langsung berangkat?” tanya ibu.

“Iya, Bu.”

“Hati-hati, ya? Ibu dan ayah doakan semoga selamat sampai tujuan.”

“Aamiin. Terimakasih, Ibu … Ayah ….”

Arga merogoh saku. “Ini sedikit buat Alfa,” ucapnya seraya menyodorkan selembaran biru kepada keponakanku.

“Eh nggak usah, Nak. Repot-repot, sih! Nggak usah!" tolak ibuku cepat.

“Tidak apa-apa, Bu. Mari!” Arga menganggukkan kepala hormat, berpamitan.

Seperti biasa, ayah dan ibu mengantar sampai depan pintu lalu membiarkanku yang menemani Arga sampai pintu gerbang.

“Cium tidak?” celetuknya menunjuk pipi.

“Ih!” Spontan aku memukul lengannya. Juga menoleh ke belakang takut ada yang menguping.

Arga tak menggubris, dia memakai sandalnya lalu mengulurkan tangan. Aku tersenyum, menyambut ulurannya. Kami saling menjabat cukup lama. “Aku pulang, ya?” katanya. Aku mengangguk. Arga melepaskan jabatan tangannya. Kemudian berjalan menuju tempat motornya parkir. Aku masih mengikutinya, dan akan menemaninya sampai ia keluar dari gerbang.

“Hati-hati!” kataku, seraya melambaikan tangan mengantarkan kepergiannya. Aku tersenyum, lalu melangkah ingin segera masuk ke dalam rumah.

“Ciye ... ehem-ehem, ciye - ciye ....”
Aku menoleh, kak Syahla sudah berdiri di daun pintu dengan tangan yang bersedekap di dada. Apakah dia mendengar percakapanku dengan Arga tadi? Ah, malu sekali rasanya.
Aku menunduk tersipu. “Apaan sih, Kak!”

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang