MD.1

55 6 0
                                    

Juni, 2020

"Bella, gimana? Kamu terima lamaran Fadhil, kan?"

Dia ibuku, Fatma namanya. Lamunanku seketika buyar. Ibu menatapku dengan sorot berbinar-binar. Berbeda denganku yang temaram lalu redup, hanya menyisakan wajah suram yang tidak lagi kuasa melengkungkan senyum di bibir. Aku tak buru-buru menjawabnya, menghela napas sejenak, berusaha membungkus segala resah juga kebimbangan.

"Bella?" Ibu menggoyangkan bahuku, mimik riang itu telah berubah menjadi raut kekhawatiran. Aku masih bergeming. Kedua mataku tertuju penuh pada wajah yang menatapku serius. Ibu, aku tidak ingin dilamar selain dia. Sayangnya, kalimat itu hanya mampu kuucapkan dalam hatiku.

"Ibu ...."

"Ada apa?" sahutnya segera.

"Bagaimana menurut Ibu?"

"Terserah padamu, Bella. Nantinya yang akan menjalani pernikahan itu kamu. Menurut Ibu, Fadhil pemuda yang baik. Dia juga memenuhi kriteria yang ayah kamu inginkan, 'kan?"

Aku terdiam, mencoba kembali mengingat momen dahulu saat ayahku pertama kali mengucapkannya.

"Bel, pokoknya, Ayah tidak akan setuju kamu sama laki-laki perokok!" tegas ayah, kira-kira dua tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku SMK.

"Kenapa, Ayah? Kalau dia mau berubah, Yah? Mau berhenti merokok. Bagaimana?"

Aku ingin tahu alasan apa dibalik keteguhannya yang begitu membenci rokok. Bahkan, menolak dengan tegas laki-laki perokok memasuki garis keturunannya. Ayahku memang bukan perokok dan dia mensyaratkan itu untuk laki-laki yang mendekati putrinya. Sayangnya, rasa penasaranku mendapat teguran dari ibu yang salah paham. Mengira bahwa aku sedang menentang ayah.

"Bella, ayahmu sedang bicara, diam dan lakukan saja perintahnya dengan baik!"

"B-baik, Bu. Maaf, Ayah," sahutku tergagap.

"Tidak apa-apa. Bella sedang dekat dengan laki-laki perokok, ya?"

Aku menggeleng cepat. "Tidak," sahutku berbohong.

"Syukurlah, laki-laki yang mengatakan akan berhenti merokok ketika mencintai seorang gadis itu omong kosong. Setelah hatinya dilukai, dia akan kembali pada kebiasaannya. Susah-susah gampang membuat perokok berhenti ngrokok, dia akan benar-benar berhenti saat dirinya sendiri yang menginginkan. Bukan sebab orang lain yang meminta."

Ayah menambahkan, "Merokok itu sejatinya tindakan secara sadar memasukkan racun sedikit demi sedikit ke dalam tubuh. Di bungkus rokok bahkan sudah terpampang jelas apa bahayanya. Dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah ayat 195 dijelaskan larangan menjatuhkan diri sendiri kepada kebinasaan. Karena merokok dapat menjerumuskan dalam kebinasaan, yaitu merusak seluruh sistem tubuh, maka jelas merokok adalah haram, walaupun, memang ada beberapa ulama yang memperbolehkannya. Namun, terlepas dari halal dan haram, dibandingkan dengan manfaatnya, bukankah rokok lebih banyak mudharatnya? Sesuatu yang lebih banyak mudharat, baik untuk sendiri atau orang lain yang ikut menghirup asap yang dikeluarkan, bukankah lebih baik ditinggalkan?"

Aku mengangguk mengerti.

"Ayah tidak minta syarat muluk-muluk sama Bella, tidak minta menantu yang tampan, bergelar, mapan, ahli agama atau apalah seperti kebanyakan orang tua lain. Ayah cuma minta tiga hal dari pasanganmu nanti. Pertama, eman. Kedua, tidak merokok. Ketiga, dia punya unggah-ungguh yang baik. Kalau muslim sudah pasti, ya," Ayah kembali mengimbuhkan, yang kali ini kudengarkan saja tanpa menyanggah.

"Bella ingat, kok, Bu."

Aku mengangguk paham. Benar, pria asing itu memenuhi ketiga persyaratan ayah. Namun, bukankah mas Fadhil adalah orang baru? Mengapa orang tuaku langsung menyetujuinya? Mungkinkah hanya perihal kiteria yang menjadi alasannya? atau Fadhil memang jodoh yang dipilihkan Tuhan, sehingga jalannya begitu dipermudah untuk mendapatkanku? Entahlah.

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang