April, 2021
Hujan masih setia mengguyur kota Nanas, membuat basah tanah kelahiran. Sejauh mata memandang hanya ada genangan air dimana-mana. Jalanan rusak dan berlubang. Lambat sekali penanganan pemerintah. Haruskah menelan banyak korban baru tindakan? Mereka seolah lupa dengan janji-janji manis yang dilontarkannya semasa kampanye hingga terpilih duduk di kursi para petinggi pemerintahan.
Dengan jas hujan yang melekat di badan kulajukan pelan motorku menembus dinginnya pagi. Sesekali gemetar tangan memegang stang merasakan udara dingin yang menusuk. Derasnya hujan membuat basah baju kerjaku meskipun tertutupi jas hujan. Setibanya di sana, aku lekas ke kamar mandi, bermaksud mengganti pakaian. Untung saja ibu menyuruhku membawa baju ganti, ternyata benar, airnya tembus sampai ke dalam pakaian.
Aku membuka laptop, meneruskan pekerjaan kemarin yang sempat tertunda. Yaitu, membuat desain kartu spp untuk murid-murid bimbingan belajarku. Ponselku berbunyi berulang-ulang, aku melirik notifikasi, terdapat pesan balasan dari para wali/orangtua murid bimbingan yang mengirim data. Kemarin pagi memang aku memberitahukan di grup orang tua agar mengirim ulang data anak mereka guna pembaharuan jadwal.
“Pagi, Bu Bella,” sapa Rani—salah satu tentor bimbingan belajar Ceria Berilmu yang didirikan baru setahun yang lalu.
Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum kepadanya. “Daerah selatan hujan lebat atau tidak, Mba?” tanyaku basa-basi.
Rani menjawab, “Gerimis, Bu. Makanya dari rumah saya Cuma pakai jaket. Eh, pas masuk kota malah hujan deras. Untung bawa mantel.”
Beralih dari laptop, aku membuka buku jadwal manual, mendata satu per satu murid bimbel dengan membaca pesan mulai dari bawah.Aku menggeser layar terlalu bersemangat, hingga bergulir terlalu jauh pada chat paling bawah. Sayangnya, justru berhenti pada kontak yang selama ini aku hindari mati-matian. Kontak dengan nama Pain—kontak Arga yang telah ku ubah namanya.
Meskipun tidak ingin, aku tetap masuk ke room chat dengan Arga. Membaca ulang satu per satu pesan kenangan. Tanpa sadar, air mataku kembali mengalir, pipiku kembali basah. Aku segera keluar dari room chat dan menekan tombol power sehingga layarnya mati. Kuseka air mata yang masih mengalir.
“Sudah, sudah cukup!” Aku menghardik diri sendiri, memikirkan bagaimana caranya terlepas dari bayang-bayang Afa yang bisa saja membuatku gila jika terus-menerus mengenangnya seperti ini. Aku meraih ponselku kembali, melakukan browsing bagaimana caranya move on?
Hapus Kontak
Mataku membulat, hapus? Serius? Aku bergeleng-geleng, tidak bisa! Aku nggak bisa menghapus kontaknya, walaupun kontak Afa seperti akun mati, tapi aku yakin, dia masih ada di sana. Aku ingin terus menyimpannya sepanjang hidupku.
Hapus Chat
"Nggak mau! Aku nggak mau satu-satunya kenangan dari Afa dihapus. Kalau aku kangen dia, bagaimana? Tapi kan, bukannya ini tujuanku? Ah, gimana, sih, aku ini!" Aku berucap frustasi.
Satu tahun berlalu nyatanya tak mampu menghilangkan baying-bayang wajahnya dari pikiran. Justru semakin dicoba melupakan, dia semakin keterlaluan dengan mendatangiku di alam mimpi. Rasanya, luka yang dia torehkan tak cukup ampuh membuatku berhenti mencintainya.
***
“Bella, ambilkan shampoo di lemari!”
Wow, bagaimana ibu tahu ada aku di sini? Padahal, aku tak bersuara, hanya melangkah pelan hendak mengambil minum.“Baik, Bu.”
Aku bergegas mengambil sampo dan memberikannya kepada ibu melalui celah pintu yang dibuka sedikit. Pandanganku mengedar, mencari sosok Fabian yang tumben sekali tidak kelihatan. Dimana dia?
Sebelum kembali ke kamar, aku menyempatkan mampir di kamar Fabian. Pintunya terkunci dari dalam. Jemari ini mengetuk pelan. Menempelkan telinga pada daun pintu. Samar terdengar cekikikan dari dalam sana, berikut sahutan yang membuat lega. Meskipun jarang akur, tapi jauh di lubuk hati, sebagaimana semestinya seorang kakak, tentu saja aku mengkhawatirkannya.Ibu keluar dari kamar mandi, melintas di hadapan kami, ia membalut rambutnya dengan handuk. Aku tersenyum jahil. “Sepertinya, Bella sama Bian mau punya adek, nih,” kataku menggoda lalu terbahak. Jelas, terpampang wajah malu-malu di sana. Ibu pun tidak mengelaknya, apakah dugaanku benar?
“Ngarang kamu, Bel! Usia seperti Ibu sekarang lebih cocok punya cucu. Gih, buruan kawin terus kasih Ibu cucu deh,” kata Ibu.
“Serius ka-win, Bu?” ucapku sembari mengedipkan mata pada Bian yang terbengong di pintu kamarnya—yang tiba-tiba pintunya sudah terbuka dan kami sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
Bian menahan tawa, ibu berlagak biasa saja, sepertinya ibu tidak tahu bahwa makna kawin dan menikah itu berbeda.
“Ibu nggak paham, Kak.” Kini Bian tertawa keras, suara beratnya terdengar memenuhi ruangan.
“Emang bedanya kawin dengan menikah apa, Bian?” tanyaku sengaja—baru sadar jika Bian telah mengetahui hal-hal begituan di usianya yang masih di bawah umur.Fabian terlihat salah tingkah, sementara ibu memandang kami secara bergantian dengan tatapan kebingungan.
“Eh, nggak tau, Kak, Bian masih mengerjakan PR, Bian masuk kamar lagi, ya?” jawab Bian gugup. Masuk ke kamarnya dengan terburu-buru.
Ibu mengangkat alisnya menatapku—meminta penjelasan. Aku mengangkat bahu. “Kamu ini, Bel!” ujar ibu.Saat kakiku hendak melangkah kembali ke kamar, ibu mencekal tanganku. Aku menatapnya heran, “Kenapa, Bu?” tanyaku mengurungkan langkah.
Ibu menarik tangan ini menjauhi kamar Bian. Ia mendudukkan diriku di kursi dekat kamar mandi. Ibu juga menarik satu kursi lagi dan duduk persis di hadapanku.
“Kamu masih mencintai Arga?!"
Aku terperangah. Ibu melontarkan kalimat yang membuatku kesulitan bicara. Meskipun gugup, aku berusaha setenang mungkin.
“Enggak, Bu. Kenapa, sih, tiba-tiba tanya beginian?"
"Jawab saja dengan jujur!"
"Enggak, Bu. Kan sudah lama kita berakhir? Lagian, Bella sudah bertunangan dengan Fadhil. Buat apa Ibu menanyakan soal ini? Arga hanyalah bagian dari masa lalu,” sahutku.
“Bella, jujur sama Ibu, Ibu baca buku kamu di lemari waktu mau pinjam kerudung. Semuanya tentang Arga.”
"Ibu lancang! Itu 'kan privasi!" sentakku—tidak sengaja. "Maaf, Bu," ucapku selanjutnya, merendahkan suara.
Aku tertunduk, malu bercampur sedih, menyesal tidak menyimpan buku itu di tempat yang lebih aman. Mengapa ibu tiba-tiba menanyakan hal seperti ini? Apakah ibu berniat mengembalikan lamaran dan memintaku kembali pada Arga?
“Kenapa tidak berterus terang sama Ibu? Jadi, alasan mata kamu bengkak hampir setiap hari itu Arga? Bukan karena merindukan Fadhil? Terus kenapa kamu terima pertunangan ini, Bel?!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Dilamar
RomanceDesakan menikah dari orang tua, membuat Bella iseng mencuri melati pengantin saat pergi kondangan di pernikahan tetangganya. Siapa yang menyangka, mitos yang beredar dan selalu ia sangkal, kini ia alami sendiri, saat tiba-tiba dirinya dilamar oleh l...