MD. 2

32 6 0
                                    

"Baiklah, sudah cukup bukti bahwa kepadaku dia tidak setertarik itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Baiklah, sudah cukup bukti bahwa kepadaku dia tidak setertarik itu."

Seketika ekspresiku berubah. Menatap room chat dengan kecewa, balasan yang kutunggu begitu lama, berakhir dengan satu emoticon saja darinya. Pupus sudah satu-satunya alasan agar bisa menolak lamaran yang akan datang.

Apa yang membuatnya berhenti tertarik? Perihal rupa? Kupikir tidak ada pembeda antara gambar dan nyata. Atau perilakuku? Aku mencoba mengingat-ingat pertemuan pertama dengan Arga beberapa hari lalu, mencoba menelusuri hal apa saja yang sekiranya menjadi penyebab berubahnya ia sepulang dari rumahku. Kala itu, Arga mengirim sebuah pesan, memberitahu dia sudah berada di halaman rumah. Membacanya, detak jantung pun berubah irama. Berdenyut lebih cepat. Meskipun dalam posisi diam rasanya aku terengah-engah. Mengatasi kepanikan yang timbul tiba-tiba, aku mengalihkannya dengan berjalan mondar-mandir.

"Bel, kayaknya itu teman kamu, deh. Ada motor parkir di depan pintu."
Aku yang tengah memoles lipstik tipis-tipis, menoleh terkejut. "Hah, depan pintu?"

"Mana-mana?" Fabian-adikku menimpali. Ish, kepo sekali dia!

"Ibu, lihat! Apa Bella sudah cantik? Apa bedaknya terlalu tebal atau bagaimana menurut Ibu?" Aku memperlihatkan wajahku kepadanya. Tapi ibu malah melempar pertanyaan kepada adikku, "Udah cantik belum kakakmu, Yan?"

Fabian mengangkat bahu tidak tahu.

"Ah, Ibu, Fabian mana ngerti yang cantik dan tidak. Kata dia mah semua sama saja." Aku tertawa, begitu pula ibu.

Sejujurnya, ini bukan kali pertama aku dikunjungi lawan jenis, beberapa pria yang mencoba mendekatiku kuperintahkan datang ke rumah, mengenalkannya kepada orang tua sebagai langkah awal sebelum mengenal lebih jauh atau menjalin hubungan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang mampu menggugah perasaan ibu serta ayahku.

"Udah cantik, Bella," kata ibu pelan.

"Eh, udah, sana cepat kamu temuin! Kamu udah kayak mau ketemu presiden aja ngaca mulu!" ucap ibu geregetan, saat putrinya hendak masuk ke kamar lagi untuk bercermin yang ke-sepuluh kalinya. Mungkin lebih.

Aku membuka pintu. Arga sedang duduk di atas motornya menunggu. Ekspresi kesal yang kudapat pertama kali darinya sirna-mungkin karena aku membuka pintu terlalu lama-saat ia melihat kedatangaku. Arga tertegun. Laki-laki itu kemudian memberikan senyuman yang langsung kusambut dengan senyum yang sama. Finally, setelah menjalin komunikasi virtual sekian lama, akhirnya Tuhan mengizinkan kita bertemu dalam dunia nyata.

"Masuk, Ga!"

Tidak ada gubrisan darinya.

"Ga?"

Arga seolah tersadar dan baru menyahut. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan, hingga tidak mendengar panggilanku. "E-eh, iya ... okey," Arga terkesiap, buru-buru turun dari motornya.

Setelah mencagak motornya, dia berjalan mendekatiku. Dadaku berdebar. Semakin memuncak kegugupan ini terasa seiring langkah Arga yang hampir sampai, apalagi setelah aroma musk dari tubuh Arga yang mulai terdeteksi penciuman.

Mendadak Dilamar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang