|7| Ponakan Tersayang

128 19 2
                                    

Risa itu sudah saya anggap sebagai anak sendiri.

Saya sudah lama berniat untuk membawa gadis itu kabur bersama dan hidup terlepas dari siksaan bertahun-tahun dari ayahnya, tapi tidak bisa.

Pria brengsek itu selalu saja berusaha untuk mempertahankan putrinya, dia tidak memperlakukan putrinya sebagaimana harusnya. Saya tidak mengerti kenapa pria itu ingin sekali mempertahankan anaknya yang selama ini ia siksa.

Apa mungkin dia takut jika saya melaporkan ke polisi tentang kekerasan terhadap anak dibawah umur, anaknya sendiri. Mungkin itu penyebabnya dan mencoba untuk mempertahankan putrinya. Kalau begitu, dia memang pria yang licik dan egois. Takut ia di laporkan kepihak berwajib sampai rela menahan putrinya.

Harusnya pria itu menyesal, menyesal karena telah menyiksa putrinya dan berjanji akan menjadi ayah yang sebagaimana harusnya menjaga putrinya, tapi tidak. Saya kira dia akan menyesal tapi ternyata dia melakukan hal yang sama berulang kali.

Anak tak bersalah yang menjadi bahan pelampiasan, di siksa hanya karena ia melakukan kesalahan kecil membuat saya tidak habis pikir dengan kakak saya sendiri.

Apa barusan? Saya menganggap pria brengsek itu sebagai kakak saya sendiri? Tidak, saya tidak sudi menganggapnya lagi. Sejak saya masih kecil pun saya tidak akan pernah menganggap pria itu sebagai seorang kakak. Tidak, meski wajah kami sama tapi sikap kami berbeda.

Sejak masih kecil, saya selalu mendapatkan siksaan fisik dari kedua orang tua saya termasuk pria itu. Saya yang terlahir berbeda dari anak orang lain hanya saya terlahir menjadi anak yang tidak berguna, menyusahkan, membuat malu nama keluarga. Saya dibanding-bandingkan dan menganggap bahwa kakak jauh lebih baik dari pada dirinya.

Kakak dan kakak. Selalu saja saya dibanding-bandingkan mana jelas-jelasan saya dan dia itu berbeda. Saat itu saya masih menganggap wajar, meski pria itu tampak acuh tapi kebodohan saya waktu itu adalah menganggap pria itu sebagai pria yang baik.

Bodoh! Bodoh! Saya kira dia adalah pria yang sedikit peduli pada saya, dia tidak pernah terlibat melakukan kekerasan fisik seperti yang ayah dan ibu lakukan kepadaku, kami sebagai kakak beradik tidak pernah berinteraksi satu sama lain. Tapi ternyata sama saja, dia sama-sama tak beda jauh dengan ibu dan ayah.

Berkat makan malam itu, ketika saya berusaha untuk berbincang-bincang dengan nya dan kesempatan makan malam ini saya bisa mengobrol dengan nya. Kakak yang super sibuk mengikuti les setiap hari tak jarang dia selalu mendapatkan rangking di kelasnya. Pandai berbicara di depan semua orang tanpa ada perasaan kikuk, bahkan ia terlihat sempurna saat adanya pertemuan tamu perusahaan Papa.

Kami berdua, bagaikan langit dan bumi. Buah jatuh tak jauh dari pohon nya, sikap sombong nan angkuh itu sebagai ciri khas dari keluarga kami. Kak Hideki, dengan sombongnya ia berkata bahwa saya tidak pantas, anak yang tidak bisa diharapkan mengulangi perkataan Ibu dan ayah membuat saya mengutuk dan membenci mereka semua.

Tidak peduli jika saya anak durhaka. Mereka bahkan tidak memperlakukan saya dengan baik, suatu hari saya berjanji jika saya akan pergi dan berpisah dari mereka. Saya tidak akan lupa setiap perlakuan buruk dari keluarga saya di masalalu, saya akan terus mengingatnya. Keluarga buruk, benar-benar buruk.

Ketika lulus SMA saya memutuskan untuk pergi dari rumah, mereka dengan senang hati mempersilahkan saya untuk pergi meninggalkan rumah sebesar itu, melepas kemewahan yang mengikat saya, bersedia untuk merasakan betapa susahnya hidup. Menjalani hidup pas-pas dibanding sebelumnya merasakan hidup glamor, saya kira itu tidak masalah.

Kemewahan itu mungkin terdengar sombong ketika saya bicara seperti ini, bagi saya kemewahan itu tidak ada gunanya. Barang-barang yang saya inginkan tapi saya... saya tidak pernah merasakan kasih sayang dari keluarga saya sendiri, seakan hidup saya hampa. Tidak senang, membuat saya... saya memutuskan untuk pergi.

RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang