Ini dimana?
Bau obat yang tercium, mencoba untuk mencerna apa yang terjadi. Kini, aku terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tangan kiri yang terinfus.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada awalnya, ingatan ku seolah buntu. Menatap bingung sekeliling ruang rawat. Hendak bangkit dari ranjang mana itu membuat kepalaku berdenyut sakit.
Sakit sekali, rasa pusing serasa kepala di putar-putar dan kembali berbaring dengan kepala yang diatas bantal. Aku bukanlah tipe orang yang suka tiduran dan tidak melakukan apa-apa, ini membuatku sangat bosan.
Pintu ruang rawat terbuka dan menampilkan paman Haris yang membuka pintu masuk kedalam ruangan, melihat ku berbaring diatas ranjang dan tidak tahu kenapa tiba-tiba saja ia berlari dan tampak menerjang tubuh ku.
Ekpresinya menangis dengan bahagia, paman memeluk ku dengan erat disertai akan tumpah tangisan nya. Sungguh, apa yang terjadi. Yang ku ingat hanyalah berjalan pulang lalu entah bagaimana kelanjutan nya hingga berada di rumah sakit, aku tidak mengerti. Tolong kasih petunjuk agar aku bisa mengerti.
“paman, sebetulnya apa yang terjadi?” aku tidak mengerti sama sekali dan aku bermaksud untuk bertanya pada paman.
Paman menyeka air matanya yang keluar ia tersenyum menatap ku, “waktu kamu pulang sekolah kamu di temukan dalam keadaan pingsan” paman menceritakan apa yang terjadi hingga membuat ku terkejut.
Pingsan? Memangnya aku pingsan dimana? Bukannya aku langsung pulang kerumah? Kalau aku memang pingsan bukankah bisa dibawa pulang kerumah kenapa harus di bawa ke rumah sakit.
Sampai di rawat begini tentu aku tahu kalau aku punya penyakit, pingsan begitu saja tidak akan langsung di rawat kan paling hanya di sadarkan terlebih dahulu.
Kata paman aku tidak boleh menggerakan kepala ku, tidak boleh duduk dan harus tiduran seperti ini sampai entah kapan. Dia menjelaskan semuanya tentang penyakit ku kalau aku ini terkena penyakit Miningitis, beberapa bagian tubuh yang terdapat luka-luka sepenuhnya sudah sudah di tangani oleh dokter.
Paman Haris bilang semua ini disebabkan oleh Papa, siksaan Papa yang begitu amat sadis nya hingga membuat ku sampai seperti ini. Dia menangis lagi dengan pelan, katanya aku barusan bangun dari koma selama 5 hari. Ini pertamakalinya aku bangun berada di rumah sakit.
Penyakit Miningitis ini bisa berisiko pada kematian. Seperti yang sudah-sudah pasien disini, rata rata mereka tidak terselamatkan membuat ku ketakutan dan menangis. Aku takut yang namanya mati, aku belum mempersiapkan apapun untuk kematian ku nanti.
Ia menyeka air mata ku, Paman Haris meminta ku untuk berdoa pada Tuhan agar diberi keselamatan dan umur yang panjang. Aku juga akan menjalani operasi katanya dan sebelum operasi ini berjalan akan meminta persetujuan dari pihak keluarga.
Aku takut di operasi, sepenuhnya bergantung pada operasi. Kata paman kalau tidak di operasi malah menjadi parah, bengkak dan harus secepatnya di operasi.
“tidak mau~”
Paman berusaha untuk membujuku entah bagaimana caranya, “kamu harus segera di operasi. Apa kamu mau menahan sakit terus terusan?”
“Di operasi itu sakit paman, kalau Risa tidak ada gimana?”
“Jangan bicara seperti itu Risa”
“hiks.. hikss.. Risa takut paman”
“Di operasi itu kamu hanya tidur dan tidak merasakan apa-apa, kamu akan terbangun sesudah operasi”
“bagaimana kalau Risa tidak selamat? Risa ingin bertemu dengan Papa”
KAMU SEDANG MEMBACA
Risa
AléatoireSebuah harapan kecil yang dimiliki oleh gadis itu. Sembari menitikkan air mata, kedua netranya memandang langit mendung. Duduk di bangku taman sendirian tanpa ditemani oleh seorang teman pun, sendirian tidak ada siapa-siapa terkecuali dirinya. Terl...