|14|

108 19 1
                                    

Lihat. Siapa orang yang berada di depan ruang rawat ketika Paman membuka kan pintu untuk seseorang, reflek salah satu tangan ku langsung menarik selimut untuk menutupi badan ku secara keseluruhan tanpa terkecuali.

Orang yang datang itu adalah Papa. Papa datang ke kamar rawat yang tak lain adalah ingin bertemu dengan ku dan siapa lagi kan?

Saat-saat ini aku memang merindukan Papa, tapi aku tidak tahu kalau Papa akan benar-benar ke sini. Apa benar dia akan mendatangani dan menyetujui untuk aku melakukan operasi. 

Aku takut, aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi tidak mungkin juga kan kalau dia datang hanya untuk mengucapkan kalimat penghinaan dan kepuasan akan aku yang menderita seperti ini.

Sama sekali aku tidak mengerti.

“Risa, ayo turunkan selimut mu” perintah paman untuk menyuruhku menurunkan selimut yang menutupi seluruh tubuh.

Tentu aku masih tetap enggan untuk mematuhi perintah paman, aku masih merasa takut jika bertemu dengan nya. Aku takut sekali, ingatan yang membuat ku trauma kembali muncul hingga membuat ku menangis pelan mengingatnya disaat-saat seperti ini.

Paman masih membujukku dengan sabar, terdengar nafasnya yang tarik turun.“ada paman disini, jika orang ini macam-macam akan paman bunuh dia”

Ini sebagai bentuk ancaman kepada Papa atau membuat ku menurunkan selimut agar aku tidak takut lagi. Dengan tangan bergetar dan pelan-pelan menurunkan selimut yang menutupi seluruh tubuh ku dan mata ku yang terpenjam terpaksa untuk terbuka dan melihat siapa orang yang berada di hadapan ku ini.

Orang itu berada di sebelah kanan Paman. Sosok pria jangkung, pria yang lebih tinggi dari paman. Wajahnya yang tampan dan menggunakan pakaian kantor nya yang rapih, dia memandangiku bisa di bilang sendu tanpa di buat-buat. Matanya tampak berkaca-kaca dan langsung menyeka nya.

“Papa tahu kalau Risa takut jika Risa bertemu dengan Papa”

Memang iya aku takut tapi di sisi lain aku merindukan Papa, “Tuan Hideki...” panggil ku dengan pelan, “ada urusan apa dengan Risa”

Papa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan erat, “jangan panggil dengan sebutan Tuan, Risa adalah anak Papa, anak kandung Papa. Panggil saja Papa”

“Heh” paman tersenyum sinis ketika memandangi Papa yang merasa amat bersalah, “bukan nya kau ingin dipanggil Tuan. Dia kan bukan anak mu, begitu kan?”

Perkataan Paman yang tampak menampar Papa. Paman menyinggungi perasaan Papa, aku tahu Papa selama ini pasti merasa sangat bersalah. Papa tersenyum miris dan ia hanya diam dan tidak berani membantah.

Melihat Papa begitu semakin ada kesempatan untuk Paman mengeluarkan kalimat tajamnya. “dasar brengsek”

Menurutku paman begitu keterlaluan, mungkin Papa bisa saja merasa bersalah sesuai dengan raut wajahnya saat ini. Paman juga sebetulnya masih sangat tidak percaya, terbukti dengan perkataan nya yang menyindir sebagai ketidak sukaan nya pada Papa. Entah paman bermaksud untuk membuat Papa tersunggung atau menyesal tapi yang jelas paman masih menunjukan aura bermusuhan.

Ia menjelaskan pada Papa kalau aku ini terkena penyakit Meningitis, seketika kedua bola matanya melebar dan langsung menghampiri ku meminta maaf sembari menangis. Dia menggenggam tangan ku dan beberapakali menciumi area wajah, kening,  pipi kiri dan kanan terus terusan.

Berikutnya ketika paman mengatakan kalau Risa hanya sebagian kecil untuk bisa selamat—bukan bermaksud untuk menakut-nakuti— tapi memang sesuai dengan faktanya begitu.

Mendengar perkataan Paman yang seolah menakut-nakutinya dengan hitungan detik Papa kemudian pingsan. Kepalanya terbentur keras ubin rumah sakit.

.

RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang