|16|

105 19 1
                                    

Reekan kantor Papa semuanya sudah pulang dan tidak memiliki waktu lama untuk berbincang-bincang di rumah sakit mengingat ada tugas mereka yang harus mereka kerjakan. Dari sini aku mengerti kalau Papa benar benar merahasiakan ku dari mereka, tidak pernah menceritakan diriku sama sekali pada mereka karena bersifat rahasia. Ketika Papa tadi berkata 'menemani putri ku' sontak membuat mereka terkejut.

Pertanyaan panjang lebar itu harus bisa ku jawab. Mereka bilang dimana sekolah ku lalu ku jawab aku bersekolah di dekat rumah, tentang hobi ku yang jujur saja aku bingung dan mungkin saja ku jawab memasak walau aku tidak yakin untuk menjawabnya, benarkan memasak itu termasuk Hobi.

“siapa yang mengajari mu memasak?” mereka bertanya itu kepadaku lagi dan ku bilang aku diajari pembantu ku dulu sampai bisa memasak.

Papa juga tidak marah atau tidak takut jika rahasianya terbongkar, dia menimpali sembari tersenyum kalau pembantunya lah yang mengajari ku memasak. Dengan sedikit candaan bahwa tidak mungkin aku belajar dari nya karena dia sendiri juga bukan orang yang pandai memasak.

Aku jadi penasaran, pada saat aku pergi siapa yang membereskan pekerjaan rumah tangga di rumah? Apakah itu Papa atau Papa berusaha mencari pembantu kembali, aku mencoba untuk memberanikan diri bertanya dan diluar dugaan ku ia hanya tersenyum sembari mencium kening ku.

Sekarang Papa memang begitu, mirip seperti Papa nya Helena yang sering mengakhiri kalimat dengan kata 'sayang' dan di beri hadiah sebuah kecupan dari kedua pipi dan di atas kening. Dulu aku pernah melihatnya diam-diam namun sekarang aku yang mengalaminya sendiri. Tapi rasanya aku senang saja karena aku tidak pernah bagaimana rasanya di manja oleh orang tua sendiri.

Mereka menjenguk ku kemari dan membawakan buah-buahan dan berupa vitamin-vitamin yang kalau di lihat sampulnya memang lumayan mahal juga. Kata Papa vitamin ini membantu penyembuhan penyakit Miningitis dan rutin di minum sehabis makan setelah operasi nanti.

Operasi akan segera di mulai, aku yang di gendong oleh Papa dan di pindahkan kearah ranjang/brankar yang di khususkan untuk di dorong. Mengingat kepala ku yang sakit dan ketika di tanya oleh suster pun ku bilang sakit setelah berpindah tempat brankar.

“adik pusing?” tanya suster memastikan.

“iya suster, kepala Risa pusing”

Suster itu memaklumi, “maklum saja dik, nanti sehabis di operasi juga nggak pusing lagi kok. Jadi adik sabar aja ya”

“iya suster”
Kemudian suster itu mendorong Brankar menuju ruang operasi, bersama dengan Papa yang berada di belakang setia menemani ku.

Papa berjalan di belakang berlari kecil menghampiriku dan berjalan di sebelah, tatapan nya yang hangat mencoba untuk menenangkan ku agar aku tidak takut ketika menghadapi operasi nanti.

Semoga saja aku bisa selamat dan operasi berjalan lancar.

Sesampainya di depan pintu Ruang Operasi dan ketika di buka dimana berkumpulah para perawat yang menggenakan baju berwarna biru muda dan masker hingga rambut mereka yang di balut oleh sebuah plastik entah apa namanya itu.

Bagi ku Ruang Operasi ini begitu menyeramkan dan ingin rasanya aku menjerit ketakutan karena melihat benda benda tajam yang diatas kain biru menyesuaikan pakaian mereka.

“jangan takut, nanti kamu tidak merasakan apa-apa nanti, kamu hanya tidur dan terbangun ketika Operasi sudah selesai”

.

Orang yang pertamakali ku lihat adalah Papa yang berada di samping ku, dia tersenyum menatap diri ku akan tatapan penuh harap. Papa tersenyum bahagia dengan air matanya yang tumpah, dia memeluk tubuh ku dengan pelan sembari meluapkan rasa bahagia nya.

RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang