|3|

117 19 1
                                    

Aku diperintahkan untuk mendekat. Mendekatinya, hal yang tidak pernah kuduga itu terjadi secara tiba-tiba.

Pria itu mengelus rambut ku, mengelus-elusnya dengan pelan sedikit merasa wajahku memanas, apakah ini penggambaran dari rasa tersanjungku. Raut wajahnya yang datar seperti biasa.

Tapi sedetik kemudian semula dari rasa tersanjung pun berubah saat pria itu malah menarik rambutku dan mendorong kebelakang hingga terjatuh. Dia tak langsung marah, tak berkata apa-apa selain memposisikan kepalanya tepat diatas bantal yang ditidurinya.

Semula aku yang terjatuh pun kemudian berdiri, pandangan ku menatap keramik lantai tanpa berani berhadapan pria itu secara langsung.

“dasar tidak sopan! Seenaknya saja kau mengambil selimut ku!” Papa memenjamkan mata, dia membentakku tanpa menatap lawan bicaranya. Tangan nya menyentuh permukaan kening dan mengambil sebuah handuk kecil basah namun tak lagi hangat itu, “lalu handuk ini? Kau mendapatkan nya dari mana?”

Dengan keberanianku yang sedikit terkumpul akan lutut grogi mencoba untuk menjawab,“itu handuk kecil, handuk itu saya yang punya” aku terus menunduk, dengan grogi yang menguasai perasaan, keringat bercucuran membasahi pelipis.

Papa membuang handuk itu kesamping dan menatapku dengan tatapan murka nya, aku.. masih tetap menatap lantai tak berani menatap nya. “orangnya didepan bukan dibawah!!” aku tersentak kaget dan melihat Papa yang naik pitam sekarang.

Seakan harga dirinya hancur dan bersentuhan dengan kotoran ketika tahu handuk ini adalah handuk kecil milik ku, “aku tidak sudi mengenakan handuk kecil mu itu!! Barang kotor! Menjijikan! Bawa handuk ini jauh-jauh dari sini!!” tukasnya menunjuk-nunjuk handuk yang telah jatuh diatas lantai, ia kembali memenjamkan matanya dan membalikan tubuhnya kesamping, “cepat bawa handuk itu jauh-jauh!!” dia mengulangi perintahnya.

Tangan ku mengambil handuk itu dan segera membawa barang itu pergi sesuai dengan perintah Papa. Handuk berwarna biru tua merupakan pemberian dari paman Haris disaat ulang tahun ku yang ke sebelas tahun, tak pakai lama kemudian meninggalkan Papa beserta ruang tamu menuju belakang untuk menjemur handuk setengah kering ini.

Tapi itu tidak langsung terlaksana, baru langkah kaki ketiga pria itu kembali berkata. Masih dalam posisinya yang tidak berubah, menambahkan perintah di akhir, “buat kan aku bubur”

“baik tuan” kini aku bisa sepenuhnya untuk pergi dari ruang tamu itu.

Menjemur handuk dan membuatkan nya dia bubur.

Saat dia masih sakit dia tidak terlalu banyak berbicara apalagi menghukum. Pria itu yang kini mungkin saja sedang tertidur pulas dan tak bisa berbuat apa-apa selain tidur diatas sofa dengan selimut yang membalut tubuhnya.

Membawa kotak obat diruangan kerjanya, minta diambilkan laptop, ponsel atau barang-barang lainnya dia memperintahkan ku untuk membawa itu semua hingga mondar-mandir beberapakali.

Aku yang merasa iba melihat Papa yang dalam kondisi sakit itupun berdoa dan berharap agar cepat sembuh, dia tampak tak berdaya sesekali duduk lalu ketika kepalanya berdenyut kembali merebahkan tubuhnya. Dia berulang kali menggeram pusing dan mengeluh.

Kasihan. Disitu aku tidak tega melihat Papa seperti itu.

“semoga cepat sembuh Papa” aku berharap, dengan nada yang teramat lirih agar tidak terdengar olehnya.

Ku pikir-pikir ini kan Hari Minggu kenapa paman belum datang sama sekali kerumah, apa jangan-jangan mungkin Paman masih bekerja atau dalam kesibukan lainnya.

Setelah Papa sembuh. Kini giliran aku yang demam.

Entah karena kelelahan atau mungkin kemarin pulang dalam keadaan hujan. Aku lupa tidak membawa payung dan mencoba untuk berteduh, Alice yang rumahnya jauh jelas sudah di jemput oleh supir pribadinya sedangkan Helena dia yang membawa payung dan pulang dalam kondisi hujan deras.

RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang