Apakah dia tidak jijik? Bukankah jelas-jelasan dia pernah berkata 'tidak akan masuk ke tempat menjijikan seperti ini'.
Entah aku tidak tahu, pria itu mungkin terpaksa melakukan nya untuk masuk kedalam ruang bawah tanah hanya menyeret dan menyuruhku untuk bekerja.
Tidak peduli aku sedang sakit maupun tidak, dia tetap akan menyuruhku untuk bekerja, dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan sebaliknya ia tidak peduli dengan diriku yang sudah dianggap sebagai orang lain.
“Cepat kerjakan! Tidak ada alasan kau sakit atau alasan yang tidak berguna itu! Dasar pembual!” Papa mendorong ku hingga wajahku hampir menyentuh meja dapur.“Cepat kerjakan! Itu ada piring kotor menumpuk! Cepat cuci, Pemalas!” Setelah berkata begitu ia pergi meninggalkan dapur dan hanya menyisakan diriku seorang disini.
.
“Dasar anak bodoh! Tidak berguna! Selalu saja salah, ini salah! Itu salah! Apa yang benar hah?! Tidak pernah melakukan hal yang benar selalu saja salah! Anak Idiot! Aku tahu otak mu itu kecil tapi setidaknya tolong dipakai!”
Aku hanya diam dan mencoba menahan tangis ketika Papa membentak ku, ya ini memang sepenuhnya kesalahan ku jadi semuanya sudah jelas, membela diri pun juga tidak berguna. Memang aku yang salah semuanya, jadi ketika Papa memarahi ku begitu tentu sangat pantas ku dapatkan walau hati ini tidak kuat.
Memang, aku selalu menangis kalau dibentak bahkan dibentak sedikitpun. Sebagai orang yang sering dibentak yaitu aku tentu begitu sangat terpukul sekali apalagi disertai dengan rangkaian kata kasar seperti bodoh, idiot. Memang tidak salah, aku sadar aku memang bodoh.
Kemampuan akademis ku mungkin baik atau setidaknya biasa tapi aku bodoh jika di kehidupan nyata, mungkin istilahnya tidak tanggap, otak lemot, lelet dan lain-lain. Pria itu mengatakan nya dengan jelas waktu itu hingga aku tidak yakin. Aku tidak yakin jika dimasa depan nanti anak sebodoh diriku ini bisa bekerja. Satu hari bekerja langsung dipecat, begitu katanya.
Memang tidak salah, aku yang memang terlalu bodoh. Mungkin sebagian orang akan sedikit berpihak pada Papa menyentak, memarahi untuk mengingatkan agar aku akan menjadi anak yang tanggap. Tak salah juga, aku selalu memikirkan dan mencerna baik setiap kalimat-kalimatnya yang menyakitkan.
Hanya saja satu. Aku tidak mau dinasehati, jika ada orang yang mendengar perkataan ku lalu mungkin berujung menasehati. Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau dinasehati, aku lebih suka memahami dan menyadarinya sendiri.
Oh iya, aku tidak mau dibilang sebagai anak yang tidak berguna. Meski aku ini bodoh tapi tentunya tetap aku berguna, aku tetap berguna bagi nya.
Kalau hanya bermalas-malasan mungkin pantas jika mengatai anak yang tidak berguna. Tapi coba berpikir, sekali lagi pikir siapa yang memasak, siapa yang mengangkat jemuran, siapa yang mencuci baju dan piring, berbelanja ke warung atau bahkan ke toko sayur, merawatnya ketika dia sedang sakit, siapa kalau bukan aku? Jadi aku tidak terima jika dibilang anak yang tidak berguna.
Dibandingkan dengan jasa baik ku yang memang besar dia hanya memilih untuk mengingat setiap detail kesalahan ku. Selalu saja begitu tidak pernah terpikirkan dengan mengingat betapa besarnya jasa ku pada nya.
Begitulah Papa. Jangan heran.
Akhh.. ya Tuhan. Semakin berdenyut dan merasa sakit sekali, aku... aku tidak tahan..
Aku tidak mau pingsan sekarang.
.
Alice dan Helena memandangi ku khawatir ketika kami berada di jam istirahat.
“Nggak apa-apa kok” aku berusaha buat menenangkan mereka, “sumpah gak papa kok” lanjutku, tapi mereka semakin memandangiku seperti itu.
“Tapi kamu tadi hampir mau jatuh!” Alice menatapku akan sorot matanya risau, “kamu ke UKS aja”
KAMU SEDANG MEMBACA
Risa
RandomSebuah harapan kecil yang dimiliki oleh gadis itu. Sembari menitikkan air mata, kedua netranya memandang langit mendung. Duduk di bangku taman sendirian tanpa ditemani oleh seorang teman pun, sendirian tidak ada siapa-siapa terkecuali dirinya. Terl...