Aku ingin menjadi seperti anak yang lainnya.
Merasa kan kasih sayang dari orang tua namun tidak bisa didapatkan oleh ku. Selama ku hidup aku tidak pernah merasakan yang namanya kasih sayang dari orang tua.
Mengapa?
Yang pertama, aku tidak tahu siapa ibuku. Pria itu tidak pernah mengatakan apa-apa tentang ibu, entah mereka itu sudah bercerai atau ibu yang sudah meninggal.
Paman juga tidak mengatakan apa-apa ketika ku bertanya tentang Ibu, dia hanya tersenyum berupaya mengalihkan pertanyaan tadi ke topik pembicaraan lain.
Keberadaan Ibu yang begitu sangat dirahasiakan, meski hubungan ayah dan paman berjalan tak baik tapi sepertinya mereka sepakat untuk merahasiakan Ibu, ketika aku bertanya pria muda dengan kacamatanya itu berusaha untuk mengalihkan.
Itu membuatku curiga, kenapa? Aku sama sekali tidak tahu, seperti apakah sosok ibu tersebut? Sosoknya yang lembut dan penuh kasih sayang, wanita berparas rupawan mampu menaklukan hati ayah yang dingin. Ibu yang merupakan wanita sempurna hingga membuatku terbayang-bayang seperti apakah sosok Ibu itu.
Pikiran bodoh selalu saja terlintas dibenakku, sempat terpikirkan bahwa aku ini terlahir dari rahim seorang ayah.
Ck, betapa bodohnya aku waktu itu. Pikiran ku saat itu masih berusia tujuh tahun pada saat pelajaran IPA. Bu guru yang bertanya dan memberi sebuah pelajaran berarti tentang kasih sayang seorang ibu.
Ibu yang mengandung selama sembilan bulan. Aku sempat ditanya disuruh menjawab hingga mengundang tawa seisi kelas.
“aku ini lahir dari rahim seorang ayah”
Teman-teman bahkan Ibu guru pun tertawa. Melihat mereka tertawa aku hanya menggaruk-garuk bagian belakang kepala yang tidak gatal.
“salah ya” ujarku dengan polos memasang cengir kuda.
Jika diingat-ingat, itu membuatku sangat malu.
Pria itu, dia adalah ayah ku. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar ayah kandungku atau bukan, dia tidak pernah memperlakukan ku sebagaimana harusnya selayaknya seorang anak. Pria yang ku sebut Papa itu memperlakukan ku sebagai seorang pembantu ah tidak mungkin lebih buruk dari pembantu lebih cocok disebut sebagai Budak.
Apakah aku membencinya? Entahlah, aku tidak bisa. Dia ayah kandung ku, mana mungkin bisa aku membencinya. Baik atau buruknya ayah ku itu dia merupakan ayah kandung ku.
Aku tidak mengerti kenapa dia begitu sangat membenciku, tanpa alasan yang jelas mengapa sebegitu bencinya hingga dia tega menyiksa anak kandungnya sendiri. Sempat terpikir jika aku memang bukan anak kandungnya tapi itu tidaklah benar.
Setelah ku perhatikan, dia dan aku memang mirip. Diriku merupakan replika versi mini dan perempuan, refrensi dari pria itu. Mulai dari warna rambut, kulit, serta mata semuanya menurun darinya. Bagaimana bisa jika aku menolak fakta bahwa sesungguhnya aku merupakan anak kandung dari pria itu.
Bagaimana pun juga, aku tetap menyayanginya. Rasa sakit yang diterima ini kalah besar dengan rasa sayang ku pada nya. Jika dia terus membenciku maka semakin berusaha aku berdoa dan mengubah Papa menjadi selayaknya seorang ayah yang seharusnya.
Entah bagaimana caranya, bagaimana caranya membuat sudut pandang pria itu berubah. Menganggap ku sebagai anak kandungnya bukan sebagai budak dan bahan pelampiasan.
Ia sering mengatai ku dengan kalimat yang kasar dan tidak seharusnya diucapkan, kerapkali membenturkan kepala ke tembok, memukul bahkan mencambuk. Entah sebagai pelampiasan atau memberi hukuman sebagai kesalahan yang ku perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risa
RandomSebuah harapan kecil yang dimiliki oleh gadis itu. Sembari menitikkan air mata, kedua netranya memandang langit mendung. Duduk di bangku taman sendirian tanpa ditemani oleh seorang teman pun, sendirian tidak ada siapa-siapa terkecuali dirinya. Terl...