°T A R I K K I A N°

219 25 5
                                    

Siapapun, bantu kian santang sebentar.

Sedari tadi kian santang hanya menundukkan kepalanya, tidak berani untuk sekedar mengangkat kepalanya, menatap wajah wajah yang siap melakukan apapun untuk kian santang.

Terutama membunuhnya.

"Kau-kau sungguh keterlaluan! Apa yang kau lakukan kepada ayahanda rayi! APA! kau sungguh kurang ajar! Tidak menggunakan otak mu untuk berpikir! Kau pikir tindakan mu itu sangat terpuji!? HAH! JAWAB KIAN SANTANG! JAWAB!"

Itu teriakan yundanya yang bahkan tidak pernah membentaknya. Kian santang terkesiap mendengar nada tingginya. Marah yang belum pernah kian santang dengar selama ini.

"B-bukan ak-"

"DAN KAU MASIH MENGELAK RAYI! PADAHAL JELAS JELAS KAU LAH YANG MELAKUKAN HAL KEJI ITU! COBA KAU BAYANGKAN PAGI INI AYAHANDA SUDAH TIDAK ADA! BAYANGKAN RAYI!"

Rara santang kembali murka, dengan nada yang lebih tinggi. Semakin tinggi, dan semakin tersayat hati kian santang mendengar nya.

Rara santang ditarik kedalam pelukan Walangsungsang. Rara santang menangis tersedu. Sesekali berteriak memaki adik manisnya. Kian santang semakin menundukkan kepalanya.

Walangsungsang menatap tajam kian santang.

Air mata itu meluncur bebas, dada kian santang sesak. Bagaimana mungkin dirinya dituduh membunuh ayahandanya?. Sedangkan tadi malam dia jelas menghabiskan waktu istirahat nya untuk duduk disiram air hujan.

Bersama rakanya, Walangsungsang.

"Bukan aku yang menaburkan racun itu. Aku tadi malam berada di taman istana bersama raka wa--"

"Hentikan omong kosong mu kian santang"

Suara dingin namun menusuk itu membuat kian santang terkesiap. Mengangkat sedikit kepalanya dan melihat, Walangsungsang lah yang mengatakan itu.

Kian santang serasa dihujam ratusan pedang. Sakit.

"Raka? Bukankah ra-raka--"

"Kau cukup pintar berbual rayi. Kau pikir dengan tingkah mu yang seperti itu bisa mengelabui ku? Kau sungguh kurang ajar"

Kian santang menangis.

Duduk bersimpuh membenamkan kepala sedalam yang dia bisa. Isi kepalanya berisik. Kian santang butuh penenang.

Tangan yang sedari tadi digunakan untuk meremas jubah tidur berwarna dongker itu perlahan pindah ke kepala. Meremat kuat rambut tebal nya. Nafasnya tertahan. Sesekali terlihat seperti susah bernafas.

Oksigen seperti lenyap seketika. Kian santang tidak bisa menarik nafas dengan baik. Tersendat-sendat.

"B-bukan aku"

"Bukan aku"

"A-ayahanda"

Rara santang melepas pelukannya dengan Walangsungsang. Walau masih terisak isak, rara santang punya rencana. Untuk membalas rasa sakit dan kecewanya.

"Kau pembunuh kian santang"

"PEMBUNUH!"

kian santang kembali mengucap kata kata rancu tidak jelas. Apalagi setelah mendengar rara santang mengucapkan kata pembunuh.

"Pembunuh..."

Kian santang semakin kalut. Mulai mengangkat kepalanya. Menatap semua orang yang ada di depan kamar ayahandanya dengan ketring manik, ibunda Surawisesa.

"Raka..."

"Yunda..."

Kian santang semakin takut saat matanya bertabrakan dengan mata ibundanya, subang larang.

KIAN SANTANG  ||• Padjadjaran Dengan Ceritanya•|| Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang