°S E S A L°

341 37 4
                                    

Subang larang terkejut.

Kini, dirinya berdiri di ruang eksekusi. Tak bisa beranjak kemana mana. Sepertinya subang larang memang dipaksa untuk melihat kebenaran ini.

"KAU MENYUSAHKAN SAJA! CEPAT KAU BERDIRI!"

Itu algojo.

Yang tengah menyeret seseorang,  berjalan menembus tubuh subang larang.

Subang larang terkejut. Kenapa tubuhnya bisa dilewati seperti ini?

Apa ini mimpi?

Atau dia sudah mati?

Lebih terkejut lagi ketika seseorang yang menggunakan jubah putih tipis, khas  para tahanan kelas tinggi kerajaan, dibuka penutup matanya.

"putraku?"

"Ada apa dengan dirinya?"

Subang larang hendak mendekat, namun kakinya tidak bisa digerakkan. Hanya berdiri kaku disana. Tidak jauh dari tempat kian santang duduk bersimpuh dengan nafas terengah engah.

Mata coklat terang itu redup, tak ada harapan, pasrah akan takdir yang hendak menjemputnya.

Ruang eksekusi itu dikelilingi pagar besi yang tinggi. Terletak diatas perbukitan yang jauh dari istana, jauh dari pemukiman rakyat padjadjaran. Ruangan itu tidak ada atapnya. Jadi langit mendung yang menghiasi langit padjadjaran sekarang terlihat jelas.

"Mengapa putraku ada disana? Apa yang telah diperbuatnya? Apa karna meracuni kanda Prabu itu?" Heran subang larang.

"Jika memang iya demikian, baguslah dirinya dihukum. Semoga dosa dosanya bersih karna hukuman ini".

Subang larang belum tahu jika ini cara agar dirinya tahu masa lalu yang kelam itu.

Tak lama setelah itu, tampak ketring manik datang ke ruang eksekusi itu, bersama siliwangi dan Surawisesa. Menggunakan baju berwarna hitam. Wajah ketring manik pucat. Tak ada gairah hidup disana.

Tatapan Surawisesa kosong. Menatap datar kian santang yang duduk bersimpuh dengan kedua tangannya yang di rantai keatas. Kepalanya menunduk kebawah. Menghadap lantai tanah yang lembab.

Air muka siliwangi tak bersahabat. Merah padam menahan marah.

"Pembunuh kau kian santang"

Siliwangi berjalan mendekat kearah putra bungsu subang larang itu. Mengangkat dagunya. Membuat tatapan anak dan ayah itu bertemu.

Kian santang butuh perlindungan.

Bibirnya bergetar dan Mulai membiru. Badannya menggigil. Mulutnya berusaha mengeluarkan suara. Namun tak bisa. Suaranya habis.

Habis karna berteriak setelah disiksa.

Badan kian santang serasa remuk, Ngilu dan perih disaat bersamaan. Banyak sekali luka bekas cambukan di badannya. Bekas tusukan apalagi. Namun kian santang masih bisa menahan segalanya.

"Kenapa? Kau ingin meminta maaf lagi? Mengatakan bahwa bukan kau yang membunuh putraku raden Surosowan?"

Mendengar kata Surosowan adiknya, kepala kian santang yang semula sunyi seketika berisik.

"ARGHHH!"

kian santang hendak menjambak kuat rambutnya. Namun akhirnya sadar bahwa tangannya telah di rantai ke pegangan besi yang ada di atas kian santang.

Siliwangi tersenyum miring melihat anaknya berteriak ketakutan seperti itu.

"B-bukan aku..."

"B-bukan aku... Yang membu--"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KIAN SANTANG  ||• Padjadjaran Dengan Ceritanya•|| Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang