"Bisa jelasin ini!" Bastian muncul dan meletakkan selembar kertas di hadapannya. "Kamu sengaja banget kan nggak ngasih tahu aku? Sembunyiin semua ini dariku. Sudah aku bilang, kita nggak akan pernah cerai, Jo! Masih aja kamu ngeyel, ya!"
Joanna meliriknya sekilas, sudah menduga Bastian akan segera mengetahui perihal kehamilannya. Tidak heran, sebab manusia yang menjadi tempat Joanna memeriksakan janin yang dikandung adalah si tersangka utama. Anjani pasti sudah berkoar-koar tentang kondisinya. Menyuntikkan asumsi-asumsi tidak mendasar dan membuat sosok di hadapannya ini langsung melemparinya kalimat tuduhan.
"Jo, aku lagi ngomong sama kamu!" Merasa diabaikan, Bastian mengambil paksa iPad dari tangan Joanna.
"Kamu apa-apaan sih, Bas?! Nggak paham banget deh, orang masih fokus baca juga!" Bentak Joanna kesal. Ditatapi murka laki-laki yang sudah membuat hidupnya jungkir balik. "Sini, balikin!"
Pandangan Bastian melembut. "Sayang, gimana bisa kamu nggak ngomong sama aku kalau sebentar lagi kembar akan punya adek? Ini berita bahagia, Sayang. Aku malah tahunya dari orang lain."
Joanna mengibas. "Ck! Berita bahagia katamu! Laki-laki tukang selingkuh seperti kamu itu nggak pantes ngomong kayak gitu! Manusia yang nggak menghargai komitmen! Yang gampang berkhianat! Pergi sana kamu! Aku muak lihat mukamu!"
"Kita nggak akan pernah cerai, Jo." Ujar Bastian penuh penekanan, setelah jeda hening beberapa saat.
"Sini iPadku!" Joanna maju dan merebut kasar benda elektronik miliknya. Mengabaikan setiap kalimat yang dilontarkan bapak dari anak-anaknya ini.
"Kamu nggak punya bukti. Yang kamu lakukan cuma akan sia-sia. Kalau pun kamu berkeras, kamu sendiri yang akan rugi. Aku nggak akan biarin kembar hidup sama kamu. Sekarang kamu nggak punya penghasilan tetap untuk menghidupi mereka." Barulah menarik atensi Joanna sepenuhnya.
"Apa maksudmu? Kamu mau misahin mereka dari aku? Ibunya yang sudah susah payah mengandung dan melahirkan mereka?" Joanna menatap galak.
"Aku nggak akan melakukannya, kalau kamu nggak keras kepala, Jo." Lanjut lelaki itu tak kalah sengit.
Seluruh tubuh Joanna terasa bergetar oleh amarah. Bibirnya bergetar menahan tangis, tangannya mengepal kuat, hatinya sakit dan hancur. Sosok suaminya yang selama ini ia jadikan tumpuan hidup, ia patuhi jiwa dan raga, berubah layaknya monster yang kejam.
"Sekali lagi aku ngomong, kita nggak akan pernah cerai." Bastian menyorot tajam dan serius. "Kamu nggak akan pernah menang. Kamu nggak akan mendapatkan apa pun."
Joanna termangu. Tatapannya mengabur. Terlalu sakit dan tak lagi memiliki kekuatan untuk melawan.
Ini terlalu menyakitkan. Joanna merasakan sesak yang teramat. Menghimpit hingga ke kedalaman jiwanya.
"Sayang! Yang, kamu nggak apa-apa?!" Laki-laki jahat itu buru-buru menyongsongnya. "Mana yang sakit? Sini, Sayang, biar aku periksa."
"Jangan sentuh aku!" Joanna menolak bantuan. Kedua tangannya bergerak brutal, berusaha menjauhkan diri dari jangkauan suaminya. "Pergi kamu! Pergi! Aku benci sama kamu!" Dengan air mata yang sudah membasahi pipi dan hati babak belur, Joanna luruh ke lantai. Demi Tuhan, luka yang ditorehkan manusia adam satu ini tidak main-main dahsyatnya. Joanna mungkin wanita lemah. Banyak perempuan di luar sana mengalami hal serupa, dijatuhi cobaan rumah tangga, tapi masih terlihat kuat.
"Sayang! Ya Allah! Jangan begini, Jo!" Bastian ikut bersimpuh di hadapannya. Berusaha merengkuhnya. Tak peduli sekeras apa pun istrinya menolak. "Joanna, aku minta maaf." Lelaki itu akhirnya berhasil mendekapnya. "Sayang, aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku salah. Aku ngaku salah. Aku memang bodoh. Aku memang berengsek." Jeda sejenak. Didekap Joanna erat hingga napas keduanya seolah menyatu. "Tolong, jangan begini, Sayang. Aku sedih lihat kamu kayak gini, Jo. Please, jangan kayak gini...."
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romance"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."