"Kalau makan mbokya pelan-pelan. Kok nggak ada anggun-anggune blas!" Ibunya datang ke rumah dengan membawa asinan, yang sudah dipesan dari dari satu minggu yang lalu. Efek hamil dan sedang mengidam membuat Joanna seperti orang kerasukan saat menyantapnya.
Berhubung ibunya sudah repot-repot membawanya dari Malang, akhirnya Joanna mencoba untuk nurut. "Baru ini makan rasanya enak banget, Bu. Makanya jadi kayak rakus gitu." Sejak hamil, Joanna kehilangan nafsu makan, dampak dari mual di trimester pertama yang terus menerus. Joanna sampai takut bayi di dalam perutnya kekurangan nutrisi karena setiap yang masuk ke perutnya, akan langsung dikeluarkan saat itu juga.
"Tapi nggak usah heboh gitu! Keselak engko!" Lanjut ibunya. (Keselak engko! = Nanti kesedak loh!)
Joanna mengangguk. Mengurangi ritme gerakannya saat menyendok dan memasukkan kiamboy ke mulut. "Seger banget." Gumamnya. "Pokoknya harus dari tangan Tante Jenna. Sudah aku cobain di resto yang ngejual macam-macam asinan, tapi nggak ada yang seenak ini, Bu."
"Halah, biasa. Mungkin kamu aja yang lagi ngidam, makanya seneng makan yang asem-asem." Respon ibunya, yang memang dari awal tidak terlalu suka manisan.
"Ini nggak cuma asem, Bu. Rasanya benar-benar pas. Asam, asin, dan manis. Aku suka yang begini. Asamnya nggak mendominasi gitu."
Ibunya turun dari stool dan melangkah menuju ruang bermain cucunya. Menggunakan matanya Joanna mengikuti wanita paruh baya itu sampai menghilang dari balik pintu dapur. Joanna menghela napas pendek. Orang tuanya sudah mengetahui gonjang-ganjing rumah tangga anaknya. Saat Joanna memberitahu lewat panggilan video call, ibunya lebih banyak menangis, sedangkan ayahnya memberi sedikit nasihat.
Selama ini Bastian selalu baik dan sopan pada orang tua Joanna. Mereka tidak bisa langsung memaki atau menghakimi menantunya hanya karena sudah menyakiti putrinya dan membuat rumah tangganya menjadi berantakan. Ayahnya berpesan agar Joanna lebih bijak dalam menghadapi cobaan ini, karena menyangkut anak-anaknya yang masih kecil. Tapi, selebihnya, mereka akan mendukung setiap seputusan Joanna.
Setelah menuntaskan urusan menyantap asinan, Joanna berpindah ke sofa ruang keluarga, kembali menekuri laptop. Dua tahun setengah berhenti kerja, membuat Joanna harus belajar lagi perihal profesinya sebagai dokter umum. Dulu, selain menjadi dokter jaga unit gawat darurat, Joanna juga menjadi mentor mahasiswa kedokteran yang akan melakukan ujian akhir yang dilakukan secara online. Membuat modul beserta power point yang diposting dan bisa diunduh secara berbayar.
Cukup sudah ia meratapi carut-marut pernikahannya dengan Bastian. Joanna harus mulai bangkit demi anak-anaknya. Jika ia mengambil jalan untuk berpisah dari Bastian, Joanna juga harus siap dengan segala risiko yang ada, termasuk perihal finansial.
"Kya nggak mau diganggu. Katanya lagi sibuk sembuhin pasien." Ujar ibunya, duduk di sofa lain. "Terus Kissa juga ikut-ikutan adeknya, nggak mau dideketin karena bayinya bobok. Suara nenek takut bikin bayinya terbangun."
Joanna terkikik kecil. "Emang gitu sekarang. Kalau sudah asik main nggak bisa dideketin. Aku aja sering diusir."
"Itu kamu lagi bikin materi?" Tanyanya merujuk pada laptop di pangkuan Joanna.
"Iya, Bu. Minggu lalu aku daftar, terus langsung di ACC. Besok mulai ngajarnya. Aku minta jam malam pas anak-anak sudah tidur, biar waktunya sama mereka siang hari nggak kesita karena kerjaan." Jawab Joanna menjelaskan.
"Pulang aja ke Malang, balik ke rumah. Hidup lagi sama ibu bapak. Bapakmu juga ngasih sarannya kamu buka praktek bareng ibu." Ibunya seorang bidan dan memiliki tempat praktek di dekat rumahnya. Sedangkan bapaknya adalah pensiunan tni. "Nanti tinggal dikasih aja plakat nama kamu di samping nama ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romance"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."