Bagian - 10

3.3K 289 16
                                    

"Aku bisa makan sendiri!" Joanna merebut piring dari tangan suaminya, dan lekas melahap isinya pelan-pelan. "Mending kamu pergi sana deh. Bikin nafsu makanku ilang entar!"

"Hem, aku duduk di situ aja ya? Nanti kalau kamu butuh apa-apa, biar telingaku bisa dengar." Lelaki itu lekas merebahkan diri di sofa. "Nanti Eva ke sini mau lepas infus kamu, Sayang."

Joanna diam, sibuk dengan piring dan sendok. Suasana hatinya benar-benar kacau. Setiap hari, rasanya terus sial. Adanya kejadian pendarahan, lalu keberadaan Bastian di sekitarnya, membuat Joanna semakin muak. Dan seolah cobaan itu tidak berhenti menerjang, tak berapa lama Joanna selesai meletakkan piring di atas nakas, seseorang yang tak terduga datang dan masuk ke dalam kamarnya.

Suara ibu mertuanya, perempuan yang menjadi aktris dari rusaknya rumah tangga Joanna dan Bastian, lalu satu lagi yang berkedok ingin melepas infus.

"Tapi tetap nggak boleh banyak gerak ya, Jo." Ujar ibunya Bastian, setelah perawat yang mendampingi Anjani pamit undur diri lebih dulu. "Mami ajak Dokter Anjani ke sini supaya bisa sekalian periksa kamu. Nggak gampang loh Dokter Anjani kosongin jadwal buat ngasih perawatan khusus ke pasiennya. Terima kasih ya, Dokter."

Tuhan, drama macam apa yang sedang mereka mainkan?! Joanna pasti sudah terlihat seperti perempuan lemah tak berdaya. Bahkan ia tak lagi bisa menolak saat Bastian membantu menaikkan kaosnya. Lalu Anjani lekas meletakkan alat pendengar detak jantung janin di atas perut Joanna.

Kehancuran semakin menancap kencang. Rasa tidak dihargai, dikhianati oleh orang terdekat, dan mereka dengan sengaja mempermalukan Joanna di dalam rumahnya sendiri. Di mana hati nurani mereka pada Joanna? Anjani, wanita yang sudah merusak rumah tangganya, masih diterima dengan suka cita. Bahkan, seolah tidak terjadi apa-apa, sementara kehidupan Joanna sudah jungkir balik tak karuan.

"Dan, juga Mami mau ngasih tahu kalau minggu depan Mas Braga dan Dokter Anjani mau tunangan. Semoga pas hari H kondisi kamu sudah membaik ya, Jo. Biar bisa datang ke acara. Nggak enak kalau nggak lengkap kumpul semua."

Tidak salah jika berita yang dikabarkan oleh ibu mertuanya ini membuat seisi kamar kaget. Respon Bastian yang langsung mencuri perhatian Joanna karena terlalu cepat kepalanya menoleh pada si aktris. Joanna tidak bisa menyembunyikan raut sinisnya. Dan mungkin sudah saatnya ia bersuara.

"Apa nggak salah, Mi? Kan yang pacaran itu Jani sama Bastian. Kok malah dijodohin sama Mas Braga." Jika wanita paruh baya ini bisa dengan mudah memasukkan wanita perusak rumah tangga orang ke dalam keluarga besarnya, maka Joanna akan dengan senang hati enyah dari sini.

Paras Anjani sudah seperti kepiting rebus. Emosi dan amarah tercetak jelas melalui sorot matanya.

"Yang sudah lalu biarlah berlalu. Bagian yang nggak enak itu nggak usah diinget. Bastian sudah sama kamu, sekarang Dokter Anjani sama Mas Braga. Mami minta keluasan hatimu, Jo, untuk mau memaafkan dan melupakan. Gimana, Dokter Anjani, kondisi menantuku sudah membaik ya?"

"Sudah, Tan."

"Tinggal pemulihan saja berarti, ya."

"Iya, Tan."

"Ada resep, Dok?"

"Nanti lewat Eva saja. Ada vitamin dan obat yang harus terus dikonsumsi."

Lalu ibunya Bastian beralih pada Joanna. "Kalau gitu Mami dan Dokter Jani pamit dulu ya, Jo. Kamu jangan lupa bilang terima kasih sama Dokter Anjani, karena sudah repot-repot mau datang ke sini."

Joanna tersenyum sinis, tapi tak urung menurut perintah ibu mertuanya. "Terima kasih, Dokter Anjani."

Setelah kepergian dua sosok wanita yang membuat penyejuk di kamar ini tidak berfungsi, Joanna kembali melempari lelaki yang duduk di sofa dengan kalimat-kalinat tajam.

"Tadinya aku pikir Mami lebih bisa ngertiin kondisiku karena sesama wanita, setidaknya ikut kesel atau benci sama cewek yang sudah ngebikin rumah tangga anaknya hancur, tapi ternyata dugaanku salah. Mami justru tetap baik-baikin dan sekarang malah mau masukin itu cewek ke bagian keluarganya. Hahahaha, nggak ada yang lebih lucu daripada ini."

"Sayang ...." Bastian mendekatinya.

"Berarti keputusan kita pisah benar-benar yang terbaik, Bas. Aku saja sudah nggak anggap dia saudaraku lagi, kok Mami malah masukin dia ke sini. No way!"

"Itu karena Braga, Sayang."

"Karena kamu juga!" Teriak Joanna kesal. "Kalian sudah rencanain semua ini."

"Demi Tuhan, nggak, Jo!" Bantahnya. "Aku juga kaget tadi. Aku sama sekali nggak tahu rencana Mami. Aku sama sekali nggak pegang HP dari kemarin, Jo, gimana aku bisa ngerti Mami akan datang ke sini?"

"Bohong!" Jerit Joanna. "Bohong, bohong, bohong! Aku nggak percaya lagi sama kamu! Semua yang kamu katakan bohong! Kalian semua memang jahat dan nggak punya hati nurani!"

Bastian memilih diam. Membiarkan istrinya menyelesaikan tangis dan urusan hati yang carut marut.

NYARIS (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang