Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kunjungannya di klinik Lusi sore hari ini. Tidak sengaja, Joanna bertemu dengan teman sekolah menengah atas, yang ternyata juga bernasib sama dengannya. Bukan bermaksud ingin mengadu nasib, tapi dengan berbagi cerita seperti ini, Joanna menjadi lebih terbuka pikirannya. Bahwa bukan hanya dirinya saja yang mengalami ujian berat. Ada banyak perempuan di luar sana yang kondisinya jauh lebih menyedihkan.
Joanna mungkin hanya diuji oleh kemelut rumah tangga, sementara ada yang harus berjuang mati-matian dalam kemiskian dan masih juga diuji oleh tingkah laku suaminya yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Si perempuan masih saja bertahan hingga detik ini, dan hebatnya tetap berdiri tegak menjadi garda terdepan untuk anak-anaknya. Masalah yang dihadapi Joanna menjadi sangat kecil bila dibandingkan dengan perempuan yang duduk di sampingnya ini.
"Aku datang ke sini tiap habis pulang kerja sih, Jo. Pokoknya kerjaan kelar, aku ke sini." Ujar perempuan yang biasa dipanggil Gilda. "Katanya, kamu teman dokter Lusi ya?"
Joanna mengangguk dua kali. "Satu kampus. Satu kos juga. Cukup dekat sih dulu."
"Pantesan kok kelihatan akrab banget."
"Kamu dulu itu kuliah di ...." Joanna tak ingat.
"Aku nggak lulus, Jo. Sudah keburu hamil duluan. Orangnya yang jadi suamiku sekarang. Hehehehe."
"Astaga, gitu?!" Baru tahu Gilda tidak sempat meneruskan pendidikan karena masalah tersebut. Cukup miris, laki-laki yang menjadi alasannya tidak bisa lanjut kuliah justru tega melakukan kekerasan dalam rumah tangga. "Kamu kuat banget, Gil. Salut. Kalau di posisimu, sudah bunuh diri kali, ya, aku?!"
"Cukup saja percaya kalau Tuhan ngasih cobaan nggak akan melebihi kemampuan hamba, Jo. Dan setiap cobaan pasti seiring dengan penyelesaiannya. Makanya, untuk menjaga kewarasan, aku rutin berkunjung ke dokter Lusi. Seorang ibu muda seperti kita, sekali pun dia ditakdirkan minim masalah, sesekali tetap saja butuh dinasihatin kan? Pasti akan pernah ngalamin di posisi down, dan tertekan. Meskipun tingkatannya nggak seberat orang depresi."
Joanna mengangguk setuju. "Aku sebelum di posisi sekarang, hidupku lurus-lurus aja. Punya orang tua lengkap dan keluarga harmonis. Kasih sayang mereka diberikan penuh padaku. Pendidikanku lancar, lulus tepat waktu, dan langsung bisa bekerja di rumah sakit umum saat itu. Lalu ketika menikah, suamiku cukup baik, aku punya dua anak kembar yang lucu-lucu dan sehat. Mungkin Tuhan memang terlalu memanjakanku, Gil, sampai akhirnya aku lupa diri akan hakikat hidup di dunia ini. Aku lupa, jika selama masih bisa bernapas, manusia akan selalu diuji."
"Itu namanya proses hidup, Jo. Dan itu wajar kok. Mungkin kalau aku ada di posisimu, nggak bakalan kuat juga aku. Karena aku sudah digembleng hidup susah dari sejak kecil, aku jadi lebih tangguh sih. Sudah terbiasa cari duit buat hidup. Bantuin ibuku urus adik-adikku yang masih kecil-kecil. Terbiasa juga dengar pertengkaran orang tua yang nggak habis-habis di depan mata. Jadi, kalau sekarang aku alami juga dengan suamiku, aku nggak kaget, kehidupan rumah tangga memang begitu adanya."
"Kamu memutuskan bertahan?" Tanya Joanna lirih.
"Suamiku memang sering KDRT, tapi dia melakukannya karena ada sebab." Jawab Gilda yakin. "Sebenarnya dia baik, dia setia, tapi memang kurang dalam hal pekerjaan. Sehingga dia sering merasa dikalahkan sama istrinya. Padahal aku sudah bilang kalau tujuanku kerja itu buat ngebantu dia. Kami punya dua anak, kalau cuma mengandalkan gaji dia nggak akan cukup. Sedangkan kami juga ada cicilan rumah, cicilan kendaraan. Sudah seharusnya kami bekerja sama."
"Dia merasa tersaingi." Respon Joanna. "Kamu pernah ajak dia ke sini?"
Gilda menggeleng. "Rencananya nanti kalau aku sudah dinyatakan sembuh, baru deh suamiku. Perlu nyiapin mental untuk ngobrolin ini sama dia. Takutnya dia mikir yang nggak-nggak dan berujung mukulin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romance"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."