"Kenapa, Anjani?! Kenapa kamu tega sakitin anak Tante? Oke, mungkin kemarin Tante terkesan maksa kamu. Tapi Tante sama sekali nggak dengar penolakanmu. Kalau dari awal kamu memang sudah nggak bersedia. Tante nggak akan maksa." Tante Aaliyah baru saja masuk ruangan Anjani dan marah-marah. Baru kali ini Anjani menyaksikan wanita yang dikenal lemah lembut akan mengerikan saat emosi. "Ayo dong, jangan diam saja. Tante menjodohkanmu dengan Braga karena Tante menyukaimu dari dulu. Tante sudah jujur-jujuran loh ini. Seharusnya, perbuatanmu yang sudah ganggu rumah tangga Bastian, bisa untuk menuntutmu, tapi apa Tante melakukannya? Itu karena Tante sayang sama kamu, dan sudah anggap anak sendiri."
"Tante Aaliyah silakan duduk dulu, Tan. Kita omongin baik-baik sambil duduk?" Tawar Anjani tenang.
"Ekspresi kamu memang nggak ngerasa bersalah sama sekali, ya. Ya Tuhan, aku sudah benar-benar salah mengenalmu selama ini, Anjani."
"Tapi dari awal aku sudah bilang kalau bukan Braga yang aku mau, Tan. Tante Aaliyah yang kekeuh bikin acara lamaran, tanpa repot-repot meminta pendapatku terlebih dahulu."
Tatapan wanita paruh baya itu membara. "Kamu bisa ngomong kalau memang nggak setuju. Kamu punya mulut dan kamu bukan orang bodoh. Kalau kamu memang punya unek-unek, kenapa nggak diungkapin dari awal? Sekarang semua sudah terjadi, dan kamu malah bilang ke Braga pengin mundur?"
"Maafkan aku, Tan. Aku ...."
"Baiklah, mumpung belum terlanjur. Lebih baik pertunangan ini batal. Sebelum kamu semakin dalam nyakitin Braga. Dan kamu pikir setelahnya kamu bisa bareng Bastian? Nggak. Aku nggak akan biarin anakku punya pendamping seperti kamu." Lalu, setelah mengatakannya, Tante Aaliyah berbalik dan pergi meninggalkanan ruangan.
Anjani sedikit bernapas lega. Hubungannya dengan Braga harus berakhir karena hati dan perasaannya belum juga tertaut pada lelaki itu. Sesuatu yang dipaksa hanya akan berdampak tidak baik ke depannya. Sehingga realistis itu penting.
"Bu Aaliyah datang nemuin dokter kan? Ada apa sih, Dok? Kok dari eskpresinya kelihatan lagi marah." Bukan Eva jika tidak kepo dengan urusan orang. "Jangan bilang, calon mertua belum resmi sudah menggunakan kekuasaannya. Hem, jadi curiga."
"Nggak jadi, Ev. Pertunangan kemarin batal. Silakan kalau mau dijadiin bahan gosip."
"Hah? Batal? Kenapa, Dok?" Tuntut Eva terkejut.
"Karena bukan Braga yang aku mau, Ev." Sahut Anjani terus terang.
"Astaga, Dokter, apa kurangnya Pak Braga? Dia calon wakil presiden loh. Jauh lebih keren ketimbang Dokter Bastian. Duh, maaf-maaf saja ya, Dok. Terkadang saya tuh mempertanyakan tingkat kecerdasan dokter Anjani loh. Benar-benar pinter, atau cuma cover luarnya aja tuh?"
Anjani memutar bola mata. "Sembrono kamu!"
"Habisnya saya heran. Kenapa laki-laki sekeren Pak Braga ditolak sih? Malah maunya sama laki-laki yang sudah punya istri. Yang hanya manfaatin tubuh Dokter Jani buat menyalurkan kebutuhan biologisnya yang nggak didapat dari istrinya. Jelas-jelas Dokter Bastian selama ini sudah manfaatin Dokter Jani. Kok Dokter Jani nggak sadar-sadar sih. Aku benar-benar heran deh."
"Nggak usah heran, begitulah manusia, nggak ada yang sempurna. Aku punya kekurangan yang bikin semua orang kesel sama aku. Terserah, aku nggak mau ambil pusing. Selama aku nggak ngerugiin mereka, aku akan tetap jadi diriku sendiri."
"Eh, Ibu Aaliyah lagi kenapa sih? Kok aku ikutan dijutekin." Tiba-tiba saja Murti masuk ke ruangannya dan langsung melapor tentang yang baru saja dialami.
"Hah?! Serius?! Kok bisa?!" Seru Eva.
"Aku disuruh awasin Dokter Jani supaya nggak aneh-aneh lagi. Kaget dong aku. Nggak ada yang bisa aku lakukan selain ngangguk. Bu Aaliyah bisa marah juga, ya. Padahal selama ini kelihatan lemah lembut." Murti bercerita dengan menggebu-gebu.
"Astaga, astagaaaa. To the point gitu, ya. Sangar!"
"Orang yang kelihatan sabar, kalau pas emosi, ledakannya dahsyat banget sih." Murti menyebelahi Eva. "Cari makan yuk?!" Jam praktik sudah selesai, dan seperti biasanya, sebelum pulang ke rumah masing-masing, dua perawatnya ini beserta Anjani akan bersama-sama cari makan di luar.
"Yuk!" Sambar Anjani. "Lagi laper nih."
"Pasti laperlah. Habis dilabrak." Sambung Eva yang lantas beranjak dari sofa, dan menyambar tote bagnya.
Anjani melakukan hal yang sama. Memasukkan iPadnya ke dalam tas, lalu mereka beriringan keluar dari ruangan.
"Setirin gih, Ev!" Diserahkan kunci kendaraannya pada Eva.
Saat ketiganya sudah sampai di restoran langganan. Mereka lantas memesan menu, dan tak lama menyantapnya.
"Bakalan semewah apa itu pernikahan Dokter Anjani dan Pak Braga nanti. Lamarannya aja banyak orang penting yang datang."
"Eh, Murti, belum tahu aja kamu!" Dengan mulut terisi penuh, Eva menimpali. "Tujuan kedatangan Bu Aaliyah tadi, melempar bom ke Dokter Jani. Kaget kamu, kalau tahu endingnya."
"Kenapa emangnya?" Tanya Murti tak mengerti.
"Dokter Jani dan Pak Braga batal nikah." Beritahu Eva.
Anjani tidak keberatan. Jika perlu, ingin rasanya ia menyiarkan keputusannya ini pada semua orang yang datang di acara lamaran bulan lalu. Anjani dan Braga batal nikah. Bukannya bersedih karena sudah gagal menjadi bagian keluarga besar Ditiro Subagyo, Anjani justru bersyukur.
"Kenapa sih, Dok? Why? Apa kurangnya Pak Braga? Dokter Jani masih ngarepin Dokter Bastian?" Desak Murti beruntun.
"Ya emang cuma dia yang aku mau, gimana dong?" Balas Anjani santai. Sudah lama tidak merasakan nikmatnya makan. Mungkin karena kejadian beberapa menit yang lalu, membuat selera makannya langsung berubah. Anjani merasa sudah terbebas dari beban menjaga hati orang yang tidak dia harapkan.
"Ya ampun, Dok, pantes aja Bu Aaliyah ngamuk." Beo Murti dengan ekspresi tak habis pikir.
"Ya gimana nggak ngamuk. Sudah dibikinin acara semewah itu. Ngundang banyak orang. Bukan tentang materi, malunya itu loh." Sahut Eva.
"Pernikahan itu keputusan besar, Gaes. Ngejalaninnya nggak cuma sehari dua hari. Bahkan mereka bercita-cita sekali seumur hidup. Itu artinya, kita harus benar-benar yakin. Terus, kalau hatiku aja nggak srek sama calonku, gimana aku bisa yakin? Baru mulai sudah nggak jelas. Gimana kita bisa melanjutkan hidup bersama selama puluhan tahun?" Ujar Anjani panjang lebar, sambil mencomot daging sapi lada hitam.
"Tapi kalau terlalu banyak pertimbangan juga nggak bagus, Dok. Malah nggak dapet-dapet nanti. Nggak jadi nikah." Sambar Murti.
"Kalau masih ragu begitu, artinya kamu nggak yakin sama ketetapan Tuhan. Kalau belum dapat jodoh ya karena Tuhan belum kasih aja. Tugas manusia terus berusaha."
"Dokter Jani kan maunya sama Dokter Bastian. Gimana tuh? Usaha apa yang harus kita tempuh untuk menggaet suami orang? Apa nggak bikin Tuhan bingung tuh. Antara mau ngabulin doa-doa hambanya, tapi kok suami orang banget yang dimau. Sementara istri orang itu juga berdoa sama Tuhan, agar suaminya jangan sampai tergoda perempuan lain. Berasa makan buah simalakama nggak sih?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romance"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."