"Anak-anak lagi main sama susternya di taman belakang, Sayang. Nanti kami langsung pulang kok. Kata ibu tadi, kamu belum bisa ketemu mereka. Nggak apa-apa. Take your time, Sayang."
Setelah beberapa jam mengunci diri, Joanna baru membuka pintu kamarnya lagi setelah suara Bastian memanggil-manggil namanya. Joanna harus memberitahu lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya untuk mau bekerja sama dalam proses perpisahan mereka. Joanna hanya ingin segera bebas, dan tidak dipersulit lagi.
"Bas, tolonglah, dari pada kamu buang-buang waktu Surabaya-Malang, mending gunain waktu itu untuk urus perceraian kita. Suruh pengacaramu sana!"
"Nggak, Sayang. Kita nggak akan pernah pisah. Percaya padaku, rumah tangga kita akan baik-baik saja. Aku bersumpah akan jadi suami yang baik dan nggak akan ngulangi lagi kesalahan yang kemarin. Janji, Sayang. Izinin aku buat buktiin. Please."
Joanna menggeleng lelah. "Sudah nggak ada harapan buat kita, Bas. Kamu lihat kondisiku. Aku yang sehat dan nggak ada masalah sama kejiwaanku aja, kamu tinggal selingkuh. Apalagi sekarang? Aku nggak percaya lagi sama kamu. Aku sudah nggak bisa sama kamu. Mengertilah!"
Hening. Keduanya sama-sama terdiam. Tatapan keduanya bertemu. Joanna melihat Bastian berkaca-kaca.
"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau ngasih aku kesempatan, Sayang? Aku akan lakukan apa pun itu, asal kita bisa selalu bareng-bareng terus. Demi Tuhan, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku cinta sama kamu, Jo. Gimana caraku bisa tunjukin agar kamu percaya?" Bastian tertunduk dan terisak.
Mungkin Joanna sudah benar-benar mati rasa, mendengar rintihan sosok yang bersimpuh di kakinya tak lagi membuatnya terenyuh. "Kamu harus bisa, Bas. Kelakuanmu itu bikin aku juga kesakitan. Kalau sekarang kamu ngerasa nggak berdaya, aku pun sama. Aku sedih nggak habis-habis. Anjani bukan orang lain, dia sepupuku. Kalian tega mengkhianatiku, berkali-kali. Sekali pun aku bisa memaafkan kalian, bukan berarti aku bisa lupain perbuatannya. Andaikan aku bisa minta ke Tuhan, aku pengin amnesia saja. Biar nggak terus ingat-ingat yang bikin sakit."
Bastian masih di posisi yang sama, sambil terisak.
"Selama aku belum bisa ketemu kembar, dan balik ke Surabaya, kamu pasti akan kerepotan sendiri mengurus anak. Aku minta kamu sadar risiko ini. Tapi aku mau berterima kasih, kata ibu, kamu atur jadwal praktik dan operasi pagi supaya kamu bisa lebih banyak di rumah. Semoga kamu terus seperti ini."
"Kamu mau pindah ke Malang, supaya bisa dekat sama ibu dan bapak, nggak masalah, Sayang. Nanti aku akan ikut kamu hidup di sini. Aku selalu suka udara Malang. Aku pasti akan cepat beradaptasi."
Joanna menggeleng. "Setelah kita pisah, mending kamu nikahin Anjani. Kasian, dari kecil dia sudah nggak punya orang tua. Dia pernah ngomong sama aku, kalau cuma kamu satu-satunya sandaran dia."
"Aku cuma milikmu, Sayang. Kita nggak akan kenapa-napa."
"Terserah apa katamu, Bas. Keputusanku bulat, nggak akan berubah. Sekali pun kamu dan Anjani nggak bisa bareng, kalian akan tetap bersinggungan kan? Mami sudah masukin perempuan perusak rumah tangga anaknya ke keluarga besarmu. Di sini aku nggak melihat Mami berada di pihakku. Sama sekali. Jelas-jelas aku yang tersakiti. Menantu tetaplah menantu, nggak akan berubah menjadi anak."
"Sayang, mungkin kamu belum tahu tentang ini, soal aku yang nggak pernah akur sama Braga. Itu karena Mama selalu lebih mentingin aku ketimbang anaknya yang lain. Bertahun-tahun Braga mendiamkanku. Sampai akhirnya kemarin, aku minta Mama fokus ke Braga." Bastian mengambil jemari istrinya dan menggenggamnya erat. "Kalau Surabaya bikin kamu sakit. Kita bisa pindah ke Malang. Kamu nggak akan mudah maafin aku, tapi aku janji akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Kamu nggak akan pernah bisa lupain kelakuanku, aku akan buktikan kalau aku nggak akan berbuat bodoh lagi. Ini janjiku padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romance"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."