"Gimana ceritanya sih, Jo, ya ampuuuun! Aku jantungan pas dikasih tahu Ratih kamu dibopong sama Bastian ke ruangannya Anjani karena pendarahan." Malamnya harinya Agnes datang menjenguk. Kondisi Joanna yang tidak boleh banyak gerak dan harus berdiam diri di atas kasur setelah kejadian tadi siang. "Kamu sama Bastian ... hem, aku pikir sudah nggak tinggal serumah. Soalnya terakhir kali kamu ngasih tahu, dia pindah di apartemen kan? Tapi untung tadi dia ada di sini pas kejadian kamu pendarahan. Nggak kebayang gimana jadinya kalau nggak ada dia."
Kronologis peristiwa yang menimpa Joanna tadi sore tidak patut untuk dibagikan pada siapa pun. Cukup dirinya dan si pembuat ulah saja yang paham akan hal ini. Tapi Joanna kesal, sebab dari sekian banyak dokter kandungan di rumah sakit, Bastian lebih memilih Anjani untuk memeriksa Joanna.
"Sekarang apa yang kamu rasain?" Tanya Agnes lebih lanjut.
"Nggak ngerasain apa-apa sih." Jawab Joanna. "Mungkin karena efek obat. Tapi pas keluar darah tadi perut bawah ini beneran sakit banget." Sambil membelai perutnya yang masih rata.
"Aku paham banget yang kamu rasain. Kan aku pernah juga di posisimu. Nggak bisa dipertahanin malah, karena emang darah yang keluar banyak banget. Aku sampai nggak perlu dikuret. Pas di-USG sudah bersih gitu." Agnes menceritakan pengalamannya saat kehilangan anak pertamanya. "Rasanya perut bawah sini, sakit banget. Hampir mirip sama kontraksi."
Joanna mengangguk setuju. "Benar! Muncul sakitnya tiba-tiba gitu."
"Kalau aku dulu kan karena kecapekan. Pas lagi hectic sama kerjaan, terus tiba-tiba ketubanku pecah. Usia kandunganku sudah tujuh bulan. Aku mikirnya bakal caesar dan anakku prematur." Bisa dibilang hari itu adalah kehancuran Agnes dan Sigit, suaminya. Tapi, tidak lama Agnes kembali dipercayai amanah yang usianya sekarang beberapa bulan di bawah kembar.
"Sigit kapan pulang?" Tanya Joanna. Profesi suami Agnes adalah seorang pelaut. "Kerjanya belum berubah kan? Sebulan kerja, sebulan nganggur."
"Bukan nganggur, Buk." Dengus Agnes.
"Disebut apa orang yang nggak kerja kalau bukan pengangguran?!" Sambar Joanna tak ingin kalah.
"Terserah kamu deh. Sebahagiamu." Putus Agnes, malas berdebat.
"Yang katamu tiap pulang sudah mirip singa kelaparan. Deuh, keluarga bahagia banget, ya." Celetuk Joanna terus menggoda.
"Mending kamu cerita deh kenapa kemarin bisa pendarahan? Jujur, otak cerdasku sudah mikir yang nggak-nggak nih. Secara, suamimu, agak badjingan. Yang katamu sudah pindah ke apartemen, tapi ternyata, masih aja di sini." Agnes menyipitkan matanya selidik.
"Ck! Wajar dong kalau dia ke sini. Ini kan juga masih rumahnya. Terus, dia kan juga butuh ketemu anak-anaknya." Joanna berusaha menghindari tatapan Agnes. "Nggak usah ngelihatin aku kayak gitu! Aku cuma berusaha berdamai. Kalau nanti kami sudah pisah, kami harus jadi co-parenting yang solid kan? Nah, aku mau terbiasa dan belajar dari sekarang."
Ekspresi Agnes masih terlihat tidak yakin. "Gitu?"
Joanna membalas tatapannya tajam. "Menurutmu?"
"Ibu dan Bapak nggak tahu?" Agnes yang sejak tadi berdiri di samping ranjang Joanna, mundur dan duduk di sofa.
"Siang ibu baru dari sini, Nes. Mungkin pas kejadian ibu belum nyampe rumah." Tutur Joanna. "Jangan sampai tahu lah! Kasian nanti khawatir, bolak-balik Malang-Surabaya, capek."
"Iya siiiih, bener." Sahut Agnes. "Kata Ratih, dua minggu ini Bastian nggak praktek sama sekali. Pasiennya pada nyariin. Ratih sampai bingung mau ngasih alasan. Gitu, ya, yang punya rumah sakit, bebas."
Tidak mencerminkan seorang Bastian yang cinta akan profesinya. Selama ini Bastian hampir tidak pernah mengambil cuti. Satu-satunya alasan yang membuat lelaki itu harus mengambil cuti, tiga tahun yang lalu, saat baru menikah dan harus berbulan madu ke luar negeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romantizm"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."