Keesokan harinya, Joanna harus mendapati Braga berada di ruang tamu kediaman orang tuanya. Sepagi ini, Joanna bahkan baru turun dari kamarnya. Lelaki ini pasti sudah sampai di Malang dari kemarin. Joanna tidak pernah punya masalah dengan Braga, sehingga ia langsung menghampiri lelaki itu dan mengobrol seperti biasanya.
"Aku ada kunjungan di Batu dari kemarin. Hari ini sudah harus balik ke Surabaya sih, tapi aku rencanain banget mampir ke sini dulu sebelum pulang. Pengin ketemu ponakanku." Ujar Braga saat Joanna melontarkan pertanyaan tentang keberadaannya di Malang.
"Masih dimandiin susternya." Sahut Joanna. "Mas, sopir sama ajudannya nggak diajak masuk aja? Disuruh minum sama makan jajan gitu."
"Nggak, biar di luar aja. Dia lagi kerja, Jo. Nggak boleh diajak nongkrong."
Joanna manggut-manggut. Yang ia hadapi sekarang adalah calon wakil presiden masa depan. Sudah pasti akan ada orang yang selalu standby untuk melindungi.
"Sebenarnya ada yang mau aku sampaikan padamu, Jo." Lanjut lelaki itu, menatapnya serius.
"Apa tuh, Mas?" Joanna mengerutkan kening. Sedikit was-was. Jika sesuai dugaannya, kemunculan Braga di sini pasti karena Bastian atau Mami Aaliyah. Mereka terlihat jarang bersama, tapi dalam urusan kekompakan keluarga, keturunan Ditiro Subagyo pemenangnya.
"To the point aja, ya. Takutnya pas lagi serius, kembar udah kelar mandi. Jadi tanggung entar. Pertunanganku sama Jani batal, Jo. Kami nggak jadi nikah. Aku harap kondisi ini bisa kamu jadikan pertimbangan. Aku bukan mau ngebelain Bastian. Tapi aku yakin, hubungan mereka nggak seserius itu. Waktu itu mereka hanya belum selesai saja, sampai nggak bisa ngendaliin perasaan masing-masing." Meskipun konon katanya hubungan keduanya tidak akur, tapi baik Braga maupun Bastian selalu saling melindungi. Sampai kapan pun yang namanya ikatan darah akan selalu kental. "Keputusan Mami yang terkesan impulsif kemarin, yang tiba-tiba ngejodohin aku sama Jani, pasti bikin kamu kecewa. Aku nggak terlalu yakin alasan Mami melakukannya karena memang khawatir, aku nggak nikah-nikah atau ada sebab yang lain, aku sempat kaget, sebelum ngeiyain acara tunangan."
"Anjani yang sudah batalin, Mas?" Mengingat acara masih berlangsung, tapi Anjani sudah merengek pada Bastian untuk mundur.
"Kami sepakat mengakhirinya, Jo. Aku melihatnya nggak nyaman dengan status kami, dan selama ini aku juga nggak yakin hubungan kami bisa langgeng. Ada aja yang mengganjal di hatiku. Jujur, aku masih punya perasaan ke Jani, tapi nggak sebesar dulu. Aku sudah coba ikhlasin. Kami memang nggak jodoh."
"Bastian yang jadi alasannya, Mas." Sambut Joanna. "Dia ngomong sama aku, minta hubungannya dengan Bastian direstuin. Aku jawab, aku pilih mundur. Jani malah ngelarang. Aku benar-benar nggak habis pikir sama jalan pikirannya."
"Apa?!" Braga tampak terkejut. "Jani bilang begitu?"
"Nggak bisa dipercaya kan, Mas? Tapi itu yang terjadi."
"Dia sama sekali nggak ngebahas Bastian selama masih bersamaku. Aku pikir karena dia sudah sadar dan nggak mengharapkan suami orang lagi." Braga menyesap pelan teh yang disuguhkan ibunya di atas meja. "Aku juga mau ngasih tahu ini, Jo. Aku ngomong begini bukan karena ingin ngebela Mami. Sejak kembar pindah ke Malang, tiap malam Mami selalu ngigau, manggil-manggil cucunya. Sebelumnya Mami nggak pernah kayak gini. Seberat apa pun masalah di hidupnya, nggak ada yang bikin Mami terpuruk, kecuali ditinggal cucunya. Ini jujur, Mami ngerasa bersalah banget sama kamu."
Joanna percaya. Terakhir kali ibu mertuanya datang dengan tangis berderai. Ekpresi sedihnya tidak main-main, dan juga terlihat sangat tulus.
"Kemarin Mami mau ikut, pas tahu aku mau ke Malang. Tapi aku larang. Aku tahu kamu butuh waktu. Sebulan dua bulan pasti nggak cukup. Semua ngasih maklum kok, Jo. Kamu kehilangan anakmu, siapa pun itu pasti bakalan ngalamin sedih yang panjang. Kamu masih rutin ke Psikolog?"
"Ke Psikiater, Mas." Koreksi Joanna. "Kondisi aku sudah membaik banget kok, Mas. Aku sudah bisa tidur nyenyak. Aku sudah bisa ngerasain bersalah ninggalin kembar di Surabaya, dan nggak urus dia padahal aku ibunya. Kembar jadi nggak mau jauh-jauh dariku, karena takut ditinggal lagi."
Braga tersenyum. "Syukurlah. Meskipun kita jarang berinteraksi, tapi pulangnya kamu ke Malang, bikin aku cukup kepikiran, Jo."
Joanna terkekeh kecil. "Mas Braga yang nggak pernah chat duluan jadi tiba-tiba menuhin notif aku."
"Om Bragaaaa!" Seru si kembar bersamaan, sambil berhampur ke arah pamannya.
Braga tampak luwes saat menghadapi dua keponakannya yang cerewet. Dua kantong besar berisi mainan baru yang dibawanya membuat Kissa dan Kya bertambah bahagia. Joanna mengamati interaksi si kembar dan pamannya yang sedang asik bercengkrama di play ground ala-ala yang dibuat kakeknya semenjak kembar pindah ke sini.
"Ya Allah, mereka nggak tahu loh kalau Om-nya calon wakil presiden, kok naik-naik kayak gitu." Gumam ibunya sambil meringis tak setuju dengan yang dilakukan Kissa menaiki punggung pamannya.
"Aduh, Bu, namanya juga anak kecil. Biarin aja deh. Sama pamannya sendiri nggak pedulilah mau wakil presiden kek, mau presiden sekali pun kek." Sambar Joanna enteng.
"Yo nggak sopan toh, Jo!" Gerutu ibunya. "Samperin sana! Kasih tahu, nggak boleh gitu, nggak sopan. Kissa sama Kya gampang dinesihatin kok."
"Namanya juga anak kecil, belum mbeneh, mana ngerti sama sopan santun. Mas Braga sendiri juga nggak keberatan, malah seneng kalau Kissa nempelin terus. Kayaknya emang Mas Braga tuh sudah pengin banget punya anak. Kasian deh, nggak nikah-nikah."
"Tadi bilang apa aja? Ibu denger sedikit kalian ngomongin Jani."
"Ngasih tahu aja sih, kalau dia sudah nggak sama Jani. Kok aku jadi kasian. Mas Braga tresno banget sama Jani, Bu. Dua bersaudara tresno sama satu cewek yang sama. Emang beruntung banget si Jani."
"Ck, nggak!" Ibunya mengibas tak setuju. "Jauh lebih beruntung kamu. Masih punya ibu dan bapak yang nerima kamu dikondisi apa pun. Beruntung kamu, karena kamu punya si kembar yang pinter dan sehat."
Joanna menatap ibunya saksama. Dipandangi wajah senja yang sudah membawanya lahir ke dunia, dan memberinya kasih sayang penuh. "Bastian ... apa kita benar-benar akan berpisah, Bu?"
Ibunya menggenggam jemari Joanna dan diremasnya lembut. "Kalau Ibu dan Bapak sih nyerahin semua keputusan di kamu. Tapi, kalau boleh ngasih saran. Coba pikirkan lagi baik-baik. Ada banyak cara Allah ngasih ujian ke hambanya. Permasalahan rumah tangga kalian jelas disebut ujian. Berat bagimu, tapi Allah sudah janji nggak akan ngasih cobaan di luar batas kemampuan kita. Kesalahan Bastian memang nggak gampang buat dimaafin. Tapi, kamu melihat usahanya memperbaiki hubungan kalian. Kamu mungkin bisa mempertimbangkan lagi keputusanmu."
"Aku nggak pernah ngeraguin kebaikan dan dedikasi Bastian sebagai seorang ayah dan kepala keluarga, Bu. Dia sempurna. Tapi, yang aku nggak akan pernah bisa tolerir, ternyata, dia juga melakukannya pada wanita lain, Bu. Cinta itu egois, Bu. Sekali dia ketahuan berkhianat, nggak akan ada lagi tempat untuknya di hatiku. Sia-sia aku mencintai laki-laki yang tega ngebagi hatinya ke wanita lain."
"Ibu nggak bisa ngebantah kamu tentang ini. Kamu yang menjalaninya. Kamu yang ngerasain sakitnya. Pokoknya apa pun keputusan kalian, ibu akan selalu support. Ibu sudah anggap Bastian seperti anak ibu sendiri. Kalau disuruh kesel sama dia rasanya susah, karena selama ini dia selalu baik sama ibu dan bapak."
"Aku mau lanjutin bikin materi dulu." Joanna beranjak dari tempat duduknya, melangkah ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romance"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."