"Sikapmu sama Bastian selama ini kayak gitu, Jo?" Ibunya sedang bersiap-siap untuk pulang. Memasukkan beberapa oleh-oleh yang tersedia di lemari kabinet dapur Joanna.
"Kayak gitu gimana, Bu?" Seketika Joanna menghentikan pergerakan tangannya memasukkan quaker oats ke dalam kantong kresek.
"Kok ibu lihatnya kamu kasar gitu sama suamimu tadi." Ujar ibunya.
"Ya Allah! Ya wajar dong, Bu, kalau sikapku jadi beda sama dia. Masa setelah tahu kelakuan dia, aku tetap kalem-kalem aja. Aku manusia biasa, Bu. Nggak bisa aku kalau disuruh baik-baikin laki-laki yang sudah bikin rumah tanggaku berantakan."
"Iya juga sih." Ibunya mendesah bingung. "Ibu masih nggak percaya sama apa yang sudah dilakukan Bastian. Lihat loh, Jo, dia baik banget sama ibu. Dari dulu dia selalu baik sama ibu dan bapak. Dia minta sopirnya ngantar ibu. Dia juga beliin ibu oleh-oleh sebanyak ini. Terus, ibu juga dikasih amplop. Mau ibu tolak, takutnya nanti ibu dikira ikut-ikutan masalah kalian. Sementara selama ini tiap dia ngasih, ibu selalu nerima dengan senang hati."
Joanna membuka pintu mobil bagian penumpang untuk ibunya. "Sudahlah, Bu. Nggak ada manusia yang sempurna. Kita terlalu berekpektasi tinggi pada Bastian. Kita nggak sadar kalau ternyata dia juga punya kekurangan. Sekalinya bikin salah, itu fatal banget."
Ibunya manggut-manggut. "Yowes, ibu pulang dulu yo. Kamu jaga diri baik-baik di sini. Kabari ibu kalau ada sesuatu."
"Iya, Bu. Hati-hati di jalan." Lalu Joanna beralih pada si sopir yang sudah duduk manis di balik kemudi. "Pak Nurdin, titip ibu ya. Hati-hati, Pak. Jangan ngebut."
"Siap, Bu."
Bastian menghadang langkah Joanna saat hendak memasuki rumah. Dengan lancangnya lelaki itu meraup pinggang Joanna, membuat keduanya saling menempel. Demi Tuhan, Joanna sudah lelah dengan tingkah lalu laki-laki ini yang seenaknya sendiri.
"Lepas, Bas! Kamu ngapain sih?!" Bisik Joanna, lirih namun tegas.
"Nggak mau!" Tolak lelaki itu, semakin berani, mengecupi cuping telinga Joanna.
"Cari muka banget sih kamu sama ibu?!" Joanna berusaha melepaskan diri tapi tidak berhasil.
Bastian menjauhkan diri sejenak. Menatap istrinya. "Kenapa aku harus cari muka? Aku nggak perlu cari muka, dari dulu ibu juga sudah suka sama aku."
"Tahu ah. Terserah." Kesempatan itu Joanna gunakan untuk mendorong Bastian menjauh. "Minggir kamu!"
Tapi bukan Bastian jika menyerah begitu saja. Lelaki itu berhasil menangkapnya kembali saat Joanna berlari masuk ke dalam kamar. Bodoh memang. Kenapa harus kamar yang menjadi tujuannya kabur?!
Ingin berteriak meminta bantuan, tapi takut terdengar oleh si kembar. Sial, Bastian sudah menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Joanna sudah berada di titik buntu.
"Kamu apa-apaan sih, Bas! Buka pintunya nggak?!" Teriak Joanna yang tidak akan pernah didengar oleh siapa pun. Kamarnya memiliki fasilitas kedap suara.
Bastian mendekat, kembali mengurungnya. Joanna terus memberontak. Bergerak brutal. Namun tetap saja kalah dengan tenaga Bastian yang jauh di atasnya. Pergerakan Joanna yang tanpa henti itu membuat perutnya tiba-tiba melilit dan nyeri.
"Aduh, aduh, sakit! Perutku sakit, Bas!" Teriaknya sambil memegangi bagian yang terasa menusuk ulu hati. "Ah, sakit!"
Bastian menjadi panik. "Sayang, duduk dulu!" Dituntunnya Joanna di kasur. Joanna merasakan sesuatu mengalir dari balik roknya. Dan itu sontak membuat keduanya kaget bukan main.
"Ya Allah, darah, Bas! Daraaaah!" Jerit Joanna bersamaan dengan menghilangnya kesadaran.
"Sayang, Sayang, please! Bangun, Sayang!"
Joanna masih bisa merasakan nada panik Bastian yang membopongnya dengan tergesa. Dan setelah itu Joanna sudah tak ingat lagi.
.
.Anjani kaget saat Murti masuk ke dalam ruangannya dan disusul dengan Bastian tengah menggendong Joanna dalam keadaan pingsan. Sempat Anjani terdiam sejenak, sebelum melakukan tugasnya sebagai seorang dokter yang memeriksa pasien.
"Pendarahannya sudah berhenti, Dok." Lapor Eva.
Dikenakan sarung tangan medis sebelum melangkah mendekat. Anjani mulai memasukkan alat ke dalam alat kelamin si pasien untuk mengecek kesehatan janin dalam kandungan. Bersyukur pendarahan yang dialami Joanna tidak berdampak buruk pada si jabang bayi.
"Gimana, Jan?" Tanya laki-laki yang dalam dua minggu ini sudah mengabaikannya.
Anjani berusaha untuk profesional meski sebesar apa pun rasa kesalnya pada lelaki ini. "Nggak ada masalah. Cuma memang harus bedrest total."
Joanna masih belum bangun sampai Anjani selesai memeriksa. Bastian tampak khawatir. Sejak tadi lelaki itu tak beranjak dari samping istrinya. Anjani sedikit panas saat menyaksikan Bastian membelai anak-anak rambut di kening Joanna. Menarik napas panjang, dan membuangnya pelan, Anjani mencoba untuk abai.
Di dalam ruangan ini hanya tinggal mereka bertiga. Eva dan Murti sudah lebih dulu pergi.
"Kamu apain Joanna sampai pendarahan gitu?" Tanya Anjani, tak tahan lagi untuk tahu apa yang terjadi. "Kamu paksa dia untuk berhubungan, ya? Memang berengsek kamu, Bas!"
Lelaki itu tidak merespon. Anjani semakin kesal dibuatnya.
"Sekali lagi kamu ngelakuin itu ke Joanna. Nggak yakin bayi kalian akan bertahan. Kamu ini diajak ngomong kok diam aja sih, Bas! Kebiasaan banget!" Anjani mulai geregetan.
"Jangan bikin dia keganggu, Jan. Dia lagi sakit." Gumam lelaki itu lirih.
"Jadi Joanna sudah tahu? Alasan yang bikin kamu mengabaikan pesan-pesanku? Ck, baru ngerti kalau ternyata kamu sepengecut itu."
Bastian menoleh. "Aku memang berengsek dan pengecut. Puas kamu?"
Anjani menganga. "Apa maksudmu bersikap kayak gini, Bas?! Seharus aku yang marah, karena kamu ngilang nggak ngasih kabar. Kamu anggap apa aku ini, hah?! Mainan?!"
"Aku mau pulang. Lebih baik Joanna bedrest di rumah saja. Tolong resepnya kirim ke WAku." Tanpa memerdulikan kekesalan Anjani, lelaki itu lebih dulu mengangkat tubuh istrinya untuk dibawanya pulang. Anjani menghentakkan kakinya kesal. Diraihnya ponsel dan lekas menuruti titah si lelaki menyebalkan.
"Dokter, nggak apa-apa?" Eva muncul ke ruangannya.
"Masih tanya aja kamu!" Semburnya kesal.
"Demi Allah, tadi saya juga kaget banget, Dok. Si Murti juga sama kagetnya. Dokter Bastian hafal kalau jam praktek Dokter Jani sudah kelar, terus tahu Dokter masih di ruangannya, makanya langsung meluncur ke sini. Kata Murti mobilnya aja di parkir dekat poli. Nggak turun di IGD."
"Emang kampret banget Bastian." Gerutu Anjani.
"Itu tadi kenapa ya, Dok, kok bisa pendarahan?" Eva penasaran. Belum juga Anjani merespon, perawatnya ini sudah lebih dulu berasumsi. "Ah, pasti barusan ... hehehehe nggak jadi."
"Tapi kelihatan banget Dokter Bastian khawatir sama istrinya. Dia teriak kenceng banget, nyuruh aku cepat-cepat bukain pintu." Imbuh Murti. "Kalau masih trimester pertama, mending emang nggak dipakai berhubungan dulu. Sperma bisa memicu reaksi kontraksi. Kasus seperti ini nggak semua ibu hamil rasain sih. Cuma, alangkah baiknya jaga-jaga. Buat perempuan yang susah hamil, kan nyesek kalau tiba-tiba keguguran."
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Romantizm"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."