Sudah satu bulan lamanya Joanna pulang ke rumah orang tuanya di Malang. Keguguran membuat mentalnya seperti digembleng. Kondisi Joanna jauh lebih buruk ketimbang sebelumnya. Bastian yang awalnya kekeuh menahan istrinya untuk tidak meninggalkan kediaman mereka, harus pasrah saat psikiater memberi vonis bahwa keadaanya istrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Makan ya, Nak. Biar cepat sembuh." Ibunya mendekati ranjang. Membawa sepiring nasi yang sudah dilengkapi lauk-pauk. "Biar nggak lemes begini."
"Aku males makan, Bu. Tiap makan pasti pengin muntah. Mending nggak usah makan aja. Nanti aku ngemil biskuit, malah aman di perutku." Joanna masih sibuk dengan iPadnya. Membaca materi-materi yang didapat saat kuliah dokter umum beberapa tahun yang lalu. Joanna bertekad untuk kembali berkarir. Sehingga ia harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang.
"Ya tetap harus makan, Jo. Ibu suapin, ya. Buka mulutmu!" Titah ibunya.
Mau tidak mau Joanna menerima uluran sendok dan nasi itu. "Masakan ibu selalu enak, tapi perutku yang lagi nggak baik."
"Ya nggak apa-apa, sedikit-sedikit aja dulu." Ibunya memasak sop daging sapi, dengan lauk perkedel jagung. "Kamu tinggal ngomong mau ibu masakin apa buat besok. Nanti sore ibu ke pasar beli bahannya."
"Apa aja sih, Bu." Sahut Joanna. "Tapi ya gitu, aku nggak bisa selahap biasanya. Tuh kan, perutku perih lagi. Padahal baru juga sesuap." Joanna menepuk-nepuk pelan bagian perutnya yang terasa nyeri.
"Kalau gitu berhenti dulu aja. Kamu mau minum madu hangat? Ibu buatin dulu, ya."
Joanna mengangguk. "Makasih ya, Bu. Maaf, anakmu ini ngerepotin terus. Habisnya ini nanggung." Ditunjukkan layar iPad yang menyala.
Ada yang salah dalam diri Joanna. Berpisah dari putrinya selama satu bulan, Joanna sama sekali tidak merasa sedih. Padahal dulu, satu jam pun tidak melihat si kembar, sudah membuatnya kelimpungan. Joanna merasa si kembar menjadi menyebab keguguran. Entah, dari mana asal pemikiran itu muncul, yang pasti sekarang Joanna sangat memercayai bahwa biang masalah di hidupnya karena adanya si kembar.
Karena sibuk mengurus putri kembarnya, membuat Bastian berpaling ke perempuan lain. Karena ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk si kembar, Joanna justru harus kehilangan anaknya yang lain. Si kembar memisahkan Joanna dari orang-orang yang dicintainya. Seharusnya si kembar tidak perlu ada di dunia ini.
"Mumpung hangat, diminum dulu!" Ibunya mengulurkan segelas madu hangat yang langsung disambut Joanna, diteguk pelan-pelan.
"Aku ngemil biskuit aja ya, Bu. Nanti deh kalau aku udah mood makan nasi, pasti masakan ibu bakalan aku habisin kok." Ujar Joanna sembari menyerahkan gelas kosong pada ibunya. "Aku banyakin minum aja. Biar lambungku nggak kosong-kosong amat."
Ibunya mengangguk setuju. Dari gesturnya, Joanna menangkap ibunya yang seperti ingin memberitahukan sesuatu padanya.
"Ada yang mau ibu omongin sama aku?" Tanyanya.
"Hem, itu ... Bastian baru aja telepon." Sudah diduga, pasti hanya menyangkut Bastian, ibunya akan kesulitan bersuara. "Sekarang lagi di perjalanan mau ke sini. Kali ini dia nggak datang sendiri, tapi dia ngajak kembar. Kemarin Ibu yang suruh. Ibu kangen banget sama cucu ibu. Nanti kalau kamu nggak mau ketemu kembar, nggak apa-apa. Biar nanti mainnya di bawah terus."
Suasana hati Joanna langsung buruk. "Bastian emang seenaknya sendiri! Sudah dibilangin nggak usah bawa anak-anak ke sini. Nanti pasti bakalan rusuh banget ini rumah. Aku males, Bu, dengar ocehan mereka. Sekarang tuh mereka makin cerewet. Aku risi!" Teriak Joanna kalap.
Ibunya menampilkan paras sedih. "Apa kamu nggak kangen sama mereka? Sudah sebulan loh kembar nggak ketemu Mommynya. Katanya tiap hari nanyain kamu terus. Kissa sampai panas karena badannya karena kangen Mommynya, sekarang sudah sembuh, pengin ketemu kamu. Ayolah, Nak, mereka kangen Mommynya. Setidaknya kasihlah mereka sedikit pelukan, habis itu terserah kamu mau minta pengasuhnya lagi yang urus."
"Aku nggak mau ketemu mereka!" Joanna beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu kamar. "Kok nggak ada yang ngerti sama apa yang aku rasain sih?! Nggak ada yang paham sakitnya jadi aku! Sebaiknya ibu keluar dari kamarku. Aku kunci pintu dari dalam." Joanna merasa tindakannya barusan adalah hal yang wajar. Membuat ibunya nyaris mengeluarkan air mata, bukanlah hal yang perlu disesali.
Setelah mengunci diri di dalam kamar, bukannya membuat Joanna merasa nyaman, justru perasaannya semakin kalut.
ARGHHH!!!
Joanna meraih benda apa pun yang ada di dekatkan, dan dilemparnya ke sembarang arah. Sambil berteriak-teriak marah. Mendekati meja riasnya, menyingkirkan benda-benda di atasnya dengan lengan dan gerakan tubuh kasar. Joanna benci diri sendiri, benci orang di sekitarnya, benci semua yang ia lihat, benci hidup di dunia yang kejam ini.
Luruh ke lantai, Joanna menangis histeris. Mengeluarkan air mata yang tak terhitung jumlahnya. Joanna merasa sudah tidak sanggup lagi berdiri tegak. Ia berusaha untuk menjadi waras, tapi kenyataan susah dilakukan. Suara ibunya dari balik pintu kamar terdengar. Memanggil-manggil namanya. Meminta Joanna untuk tenang dan tidak perlu khawatir. Ibunya terus meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Agnes : Buk, gimana kabarmu? Kangen banget tahu nggak sih. Kenapa chat sama teleponku nggak pernah direspon? Besok aku rencana mau ke Malang ada urusan kerjaan. Pulangnya aku mampir ke rumah boleh, ya. Tolong kirim shared loc.
Joanna menekan tombol blokir untuk nomor yang baru saja mengiriminya pesan. Selain Bastian, Anjani, si kembar, ibu mertuanya, Agnes juga ikut masuk ke dalam lingkaran manusia yang ia benci karena sudah membuat hidupnya hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
NYARIS (TAMAT)
Любовные романы"Kau memang tak menyuruhku bunuh diri, tapi kau menunjukkan caranya."