Bagian - 21

3K 191 10
                                    

"Nangis aja, Jo. Jangan ditahan." Ujar Lusi, seorang psikiater kenalan Joanna sekaligus teman satu kampus. "Cerita sambil nangis nggak masalah. Aku akan tetap dengerin kok. Di dalam ruangan ini cuma ada kita berdua. Kamu nggak usah khawatir. Nggak bakalan ada yang nguping."

"Aku tuh nggak mau kelihatan lemah di hadapan orang, Lus. Itu prinsipku." Joanna masih mempertahankan bulir air matanya yang hampir tumpah.

Lusi mengangguk paham. "Oke, prinsip. Aku bisa mengerti."

"Tapi belakangan ini aku sudah melanggar prinsip itu. Setiap kali Bastian datang berkunjung, aku pasti nangis. Aku benci menjadi lemah. Aku nggak suka sama diriku yang sekarang."

"Yaps, bisa dipahami."

"Bastian itu nggak menyerah, Lus. Seminggu sekali dia pasti datang ke Malang bersama anak-anak. Padahal aku nggak mau ketemu mereka. Aku nggak bisa lagi berurusan sama mereka, Lus. Aku nggak mau. Aku pengin sendiri." Joanna tidak lagi bisa membendung air matanya. "Aku sadar kok, aku jahat pada anakku. Si kembar nggak salah apa-apa. Mereka hanyalah korban atas kelakukan orang tuanya."

Lusi mengusap-usap punggung Joanna. "Tarik napas dulu, Jo. Relax. Tarik, hembuskan. Kita punya waktu panjang untuk membahas ini." Bisik sang psikiater lembut.

Joanna mengikuti instruksi tersebut, menarik napas panjang, dan membuangnya pelan, sebelum lanjut bicara. "Yang jelas, untuk saat ini, keputusanku masih sama, Lus. Aku pengin pisah. Aku akan serahkan hak asuh anak pada Bastian. Keinginan terbesarku saat ini, aku pengin kuliah spesialis. Aku pengin fokus berkarir. Aku pengin sibuk mengurus diriku sendiri, tanpa ada yang ganggu."

"Keren!" Lusi tersenyum tulus. "Kamu pasti bisa mewujudkannya. Kita semua tahu kamu pinter. IPK selalu cumlaude. Sebagai teman, aku pasti dukung kamu, Jo."

"Tapi di sini ...." Joanna menepuk-nepuk tengah dadanya. "Ada perasaan bersalah yang susah dikendalikan, Lus. Seperti ada sosok yang muncul dari dua arah dan mereka berantem. Aku sudah menjadi ibu. Aku punya dua orang anak yang masih kecil-kecil dan sangat butuh kasih sayangku. Seharusnya aku fokus sama anak-anak, bukan malah asik sama diri sendiri. Tapi, sisi lainku, mewajarkan semua keputusanku. Aku bingung, mana di antara dua ini yang bisa aku ikuti pendapatnya?"

"Persis seperti aku, kalau mood lagi nggak baik." Sahut Lusi. "Masih sangat wajar, Jo. Mungkin habis ini kita akan berbincang-bincang lebih dalam lagi, ya. Bagian mana yang harus diperbaiki, dan yang dibiarkan sampai kondisi kamu sudah lebih enakan. Kalau lagi di kondisi down, nggak ada yang bisa dilakukan selain sabar dan nunggu sampai suasana hati kembali baik. Seperti itulah alur hidup manusia. Akan ada sedih setelah senang, begitu sebaliknya, akan ada senang setelah sedih."

"Aku menganggap ini nggak wajar, Lus. Karena sebelumnya aku nggak pernah mengalami ini." Sambar Joanna, sambil meraih tisu di meja untuk mengusap air matanya yang membasahi pipi.

"Hem, boleh tahu nggak, selama hidup, hal terberat apa yang pernah kamu rasain? Sampai kamu rasanya benar-benar buntu."

Joanna menggeleng yakin. Selama ini hidupnya aman terkendali. Tidak ada yang membuatnya hancur seperti yang ia tengah rasakan sekarang. "Perselingkuhan Bastian satu-satunya masalah yang membuatku bingung mengambil sikap. Aku ingin pisah, tapi di antara kami ada anak. Dan saat aku sudah setuju dengan opsi tersebut, Bastian kekeuh nggak mau lepasin aku."

"Ku rasa tujuannya ngancem memang buat bikin kamu tetap bertahan, Jo."

"Bener, dan aku sudah nggak bisa. Sudah cukup, sebaiknya hidup masing-masing saja. Kelakuan dia selingkuh sama sepupuku sendiri itu nyakitin banget, Lus."

"Ya, aku bisa rasain betapa sakitnya dikhianati orang yang kita sayang. Lebih sakit dari apa pun." Respon Lusi.

"Masalah ini berat banget buatku."

"Berat, dan wajar kalau kamu jadi sering nangis saat menghadapinya. Nangis itu hal yang lumrah, yang akan setiap manusia lakukan di kondisi down. Menurutku, nggak salah kok kamu nangis di hadapan Bastian. Siapa tahu, dengan begitu, dia akan mau ngabulin permintaan pisah? Atau, masih ada yang mengganjal di hatimu?"

Joanna tercekat. "Aku ... aku ...."

"Tenang ... tenang, Jo. Take your time. Nangis akan bikin kamu ngerasa lebih baik. Nggak perlu ditahan."

"Tiga tahun bagiku nggak sebentar, Lus. Dan Bastian bukan laki-laki yang sulit dicintai. Selama ini dia baik banget. Dia perhatian sama aku, dia selalu inisiatif, dia juga sayang banget sama anak-anaknya. Hubungan kami sangat harmonis. Aku bahkan nggak pernah kepikiran bakal kayak gini akhirnya. Karena, aku dan Bastian nyaris nggak pernah berantem. Kami selalu adem ayem, Lus. Kalau aku lagi PMS, pasti aku banyak diem tuh di rumah, nggak seceria biasanya, Bastian selalu bisa cairin suasana. Bagiku, Bastian suaminya yang sempurna, Lus."

Lusi manggut-manggut. "Meskipun nggak kenal dekat, tapi aku percaya itu. Beberapa kali ketemu, melihat cara dia ngetreat kamu, dan anak-anaknya, kelihatan kalau dia sangat sayang kalian."

"Tapi kalau dia benar-benar sayang, dia nggak akan selingkuh, Lus."

"Ya, tentu. Aku nggak membenarkan tindakan dia. Perselingkuhan itu perbuatan yang sangat fatal. Terlebih, dia melakukannya dengan sadar dan lama."

"Dia seharusnya mikir, dengan berbuat di luar jalur, akan banyak risiko yang ditanggung."

"Sangat ironis, Jo. Tapi sebagai manusia, kita dituntut untuk mengerti, kalau di dunia ini nggak ada makhluk yang luput dari kesalahan, entah besar atau kecil. Pasti setelah kejadian ini, masih ada orang di sekitarmu yang berada di pihak Bastian dan menganggapnya khilaf? Betul nggak?"

Joanna mengangguk. "Ibu mertuaku. Ya, meskipun minggu lalu dia datang ke rumah dan minta maaf."

"Sudah nggak kaget kalau seorang ibu akan selalu ngebela anaknya. Yang selama ini dikenal lurus dan bijaksana saja, akan berubah sikapnya kalau sudah menyangkut anak. Mati-matian akan dibelain. Meskipun sudah jelas yang dilakukan anaknya itu nggak benar."

"Awalnya aku kaget dengan sikap ibu mertuaku. Dia malah ngejodohin perempuan yang sudah ngerusak rumah tangga anaknya dengan anaknya yang lain. Anjani dijodohin sama Kakaknya Bastian. Ada nggak yang lebih nyakitin daripada ini?!"

"Ohya?!" Lusi terlihat kaget.

"Aku mungkin bisa memaafkan kesalahan Bastian dan memulai kembali hidup kami. Tapi nggak, saat ibu mertuaku berencana memasukkan perempuan yang sudah ngerusak rumah tanggaku ke keluarga besarnya. Aku nggak sanggup bersinggungan terus menerus. Akhirnya aku memutuskan pisah."

Lusi menatap terenyuh. Menarik napas panjang dan membuangnya pelan. "Complicated! Hem, btw, minggu lalu ibu mertua datang ke rumah? Kamu bilang dia minta maaf?"

Joanna mengangguk. "Tapi, sudah terlanjur sakit, Lus. Aku nggak yakin bisa maafin."

"Apa katanya?" Tanya Lusi lebih lanjut.

"Minta maaf, karena sudah bikin aku pergi dari rumah. Karena sudah bikin aku sakit. Itu sih." Jawab Joanna.

"Apa dia berencana ingin membatalkan perjodohan anaknya dengan perempuan itu? Sebagai bentuk sikap penyesalannya."

"Nggak sih, dia nggak ada ngomongin itu. Dia malah nyuruh aku dan Bastian menetap di Malang, kalau memang bisa jadi obat buatku. Saat aku mutusin pulang ke Malang, aku memang sudah bulat akan melanjutkan hidup di Malang bersama orang tuaku, Lus. Tapi bukan dengan Bastian, dan anak-anak. Mungkin ini cuma ancaman biar aku nggak terus-terusan minta pisah, tapi Bastian pernah bilang akan ambil hak asuh anak kalau aku ngotot minta cerai. Makanya, aku ambil opsi menyerah, asalkan dia mau lepasin aku." Ulangnya.

Untuk yang kesekian kali, Lusi manggut-manggut. "Yang kamu lakukan itu benar. Karena Bastian sudah bersikap nggak bijaksana dengan mengancam seorang ibu dari anak-anaknya. Risiko harus dia tanggung."

"Satu lagi alasan yang bikin aku jadi seperti ini." Lanjut Joanna. "Aku keguguran, Lus. Aku ngerasa bersalah banget karena di kehamilanku yang kemarin, aku sibuk sendiri sama urusanku. Aku setengah hati menyambutnya. Nggak seperti pas hamil kembar kehadirannya ditunggu-tunggu semua orang. Dirayakan dengan penuh kebahagiaan. Aku merasa jadi ibu yang buruk setelah keguguran."

"I feel you. Sedih banget dengarnya."

Joanna merasa beban di pundaknya terasa lebih ringan setelah menumpahkan unek-uneknya pada Lusi. Tidak salah lagi, saat menghadapi masalah mental, kita diharuskan datang pada orang yang tepat. Agar segera mendapat penanganan lebih lanjut.

NYARIS (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang