Bagian - 12

3K 223 16
                                    

"Aku nggak lama." Ujar Bastian saat Anjani membukakan pintu dan masuklah lelaki itu ke dalam apartemennya. Meski lelaki itu terus berkata tidak akan tinggal lama, tapi kedatangannya sudah cukup membuat Anjani senang. "Kita ngomong sekarang."

"Aku ambilin jus sama camilan dulu. Buat pelengkap kita ngobrol." Anjani sudah hampir berbalik menuju dapur, tapi ditahan oleh lelaki itu.

"Nggak usah, aku nggak lama." Ulangnya.

"Oke, biar nggak lama-lama, kamu mau aku buka baju sekarang nih? Tetap saja paling bentar butuh dua jam untuk melakukannya, Beb. Kamu nggak terbiasa sebentar." Anjani sengaja berputar-putar.

"Duduk, Jan, kita ngomong sekarang." Khas seorang Bastian saat mode serius, mengabaikan Anjani dan menitahnya agar menurut.

"Jadi mau ngobrol dulu nih? Nggak main dulu? Aturan pillow talk itu dilakukan setelah kita ...."

"Astaga, Jani, nggak lucu." Potong Bastian mulai terlihat kesal. "Duduk, sekarang!" Tunjuknya pada sofa kosong di depan lelaki itu.

Anjani belum ingin menurut. Tatapan keduanya bertemu. "Mau ngomong apa sih?! Kamu mau ngomong kalau kamu mau putus dan ingin fokus sama Joanna gitu? Hebat, setelah semua yang sudah kita lakukan, sekarang kamu mau mengakhirinya gitu aja? Kamu mau buang aku gitu?"

Bastian menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Hening sesaat. "Aku minta maaf. Aku memang salah. Nggak seharusnya aku masukin kamu kembali ke hidupku, ketika aku sudah punya istri. Aku salah, sudah kasih kamu harapan yang sampai kapan pun nggak bisa aku wujudin ...."

"Nggak ada yang nggak bisa kamu lakukan, Bas!" Potong Anjani cepat. "Aku sudah pernah bilang kan, kalau untuk kita bisa selalu bareng, aku bahkan mau jadi yang kedua. Aku sudah sering ngomong ini ke kamu."

"Itu nggak akan terjadi, Jan." Sahut lelaki itu langsung.

"Kenapa nggak? Kamu kesusahan buat ngeyakinin Joanna? Butuh bantuan aku buat ngomong sama dia?" Desak Anjani kesal.

"Jan ...." Untuk yang ketiga kalinya Bastian menarik ulur napasnya. Dari raut wajahnya, kentara lelah, seakan tengah memikul beban hidup yang berat. "Jani, please, duduk. Supaya kita bisa ngomong baik-baik. Belakangan ini aku sudah banyak ngabisin tenagaku untuk berdebat. Rasanya sekarang aku capek banget."

Anjani menurut, duduk di sofa lain. Keduanya menjadi saling berhadap-hadapan dengan meja sebagai penghalang. "Kenapa nggak kamu lepasin aja sih perempuan yang sudah bikin kamu kayak gini, Bas? Joanna itu cewek paling mandiri yang pernah aku kenal. Dia nggak butuh laki-laki seperti kamu."

Bastian menggeleng. "Aku sudah pernah ngalamin ini tiga tahun yang lalu, dan aku berhasil mengatasinya. Sudah cukup aku bertingkah seenaknya sendiri."

"To the point saja deh. Kamu mau putus? Oke, kita putus. Puas?!" Dada Anjani merasakan sesak yang luar biasa, tapi coba ia tahan. Tidak ia biarkan siapa pun bisa menatapnya lemah. Tidak juga pada lelaki di hadapannya ini.

"Kamu beneran mau sama Braga?" Beo lelaki itu setelah jeda beberapa saat. "Jangan pernah melakukannya karena pelampiasan, Jan. Kamu sendiri yang akan rugi nantinya."

"Jadi sekarang kamu sok peduli, hem? Setelah dua minggu menghilang dan tiba-tiba muncul ngajak putus. Terserah aku! Aku nggak punya kewajiban dengerin atau nurutin kata-katamu lagi. Sebaiknya kamu pergi dari sini." Anjani berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu. Bastian mengekor di belakangnya. "Nggak usah datang lagi ke sini. Semua barang-barangmu sudah dibawa Tante Aaliyah. Tagih sono ke Mamimu! Dasar anak Mami!"

Anjani lebih dulu memalingkan wajah saat tatapan keduanya bertemu. Takut pertahanan dirinya runtuh dan berubah pikiran.

"Jaga dirimu baik-baik." Ujar Bastian sembari melangkah pergi.

Tak urung tubuh Anjani merosot ke lantai. Seketika tangisnya pecah.

.
.

"Dok, saya bikinin oatmeal. Di makan dulu gih?" Eva muncul dengan membawa mangkuk kecil di atas nampan. Terpaksa Anjani menghubungi Eva untuk datang ke apartemen, untuk memberinya perawatan. Sudah dua hari ini kondisi Anjani drop karena asam lambung naik. Ujung dari stres berkepanjangan. "Meskipun sudah diinfus tetap harus ada makanan yang masuk, Dok. Biar cepat pulihnya."

"Lidahku masih pahit banget dipakai makan." Keluh Anjani lemas. "Aku mual sama makanan kayak gini. Kamu kan tahu sendiri aku nggak suka bubur. Mending kamu ambilin aku biskuit regal di lemari dapur."

"Oke, siap. Bentar saya ambilin." Eva dengan cekatan melesat ke tempat menaruh camilan kering.

"Tuh kan, perih lagi perutku kalau kemasukan sesuatu. Masih nggak bisa, Ev." Anjani meringis, merasakan sakit yang menusuk tengah perutnya.

"Nggak apa-apa, Dok. Makan satu aja cukup." Eva mengambil kursi lipat, untuk dipakai duduk di samping ranjang. "Mau saya kasih freshcare perutnya? Biar agak enakan gitu."

"Nggak, Ev. Aku nggak suka baunya." Tolak Anjani.

"Padahal seger banget baunya. Bikin tenang gitu."

Semua orang bilang begitu tapi Anjani tetap tidak suka. Sudah dari sananya ia tidak suka wangi-wangian panas.

"Kalau bisa tidur, Dokter pakai tidur aja deh. Asam lambung harus istirahat total. Pikiran tenang, nggak boleh stres. Kalau dipakai tidur kan sejenak alam bawah sadarnya ikutan istirahat tuh, pasti bakal cepat sembuh entar."

Bahkan saat Anjani harus tertidur, pikirannya masih terus mengembara. Patah hati memang membuat segala akal menjadi lumpuh. Itu yang Anjani tengah rasakan.

"Dokter Anjani itu nggak pantes banget sakit." Eva kembali membuka suaranya saat Anjani tidak kunjung terlelap.

"Ya aku kan cuma manusia biasa, Ev. Bisa tumbang juga." Sahut Anjani lemas. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan sayu.

"Soalnya pasien Dokter banyak banget. Hampir semua nanyain kondisi dokter. Pada perhatian gitu. Bahkan ada yang tanya alamat Dokter, pengin jenguk katanya. Buru-buru aku tahan, aku minta doanya aja cukup. Bisa-bisa Dokter nggak jadi istirahat nanti kalau mereka pada datang ke sini. Diajakin ngobrol muluk, gimana bisa istirahat? Yang paling parah, takutnya malah ada yang konsultasi colongan."

"Ya iya!" Anjani terkekeh lirih, membayangkan pasiennya yang kebanyakan ibu-ibu kampung. "Emak-emak ya maklum lah, Ev."

"Hem, Dok. Duh, mau tanya kok sungkan, tapi aku kepo." Eva mulai berbelit-belit.

"Apa, Ev? Berhubung kamu sudah telaten urus aku, kamu tanya apa aja deh, aku jawab."

"Dokter Bastian, Dok, apa nggak ke sini? Kan Yayang-Bebeb lagi atit."

"Aku sudah putus sama dia, Ev. Ketahuan istrinya."

Kesiap tajam terdengar dari mulut Eva.

Anjani membuang napas lelah. "Sudah seharus begitu, dia balik ke istrinya. Istrinya kan yang lebih berhak dapat perhatiannya ketimbang aku."

"Astaga! Jadi itu yang bikin Dokter Jani sampai sakit begini? Dokter Jani terlalu stres mikirin ini?"

"Stres yang salah nggak sih?" Lagi-lagi Anjani hanya menertawakan kebodohannya sendiri. "Mulai sekarang kamu bebas dari dosa yang sudah aku buat, Ev. Aku tahu kok, selama ini kamu ngelakuinnya terpaksa. Kamu tahu kalau yang aku lakukan sama Bastian itu salah. Tapi kamu dan Murti nggak bisa berbuat apa-apa. Maaf ya, Ev, aku sudah bikin kalian sulit."

Eva buru-buru menggelang. "Nggak, Dok. Selama ini Dokter Jani sudah baik banget sama saya. Perekonomian keluarga saya terbantu berkat Dokter Jani. Tapi, saya senang mendengar kabar Dokter Jani akhirnya lepas dari Dokter Bastian. Saya yakin kelak Dokter Jani akan dapat jodoh yang jauh lebih baik dari Dokter Bas. Itu harapan saya dan Murti selama ini, Dok."

NYARIS (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang