12

22.5K 33 2
                                    

BU DE PECEL AYAM
(Bagian 1)

Perkenalkan namaku Tio,25 tahun seorang karyawan swasta di Jakarta. Aku ngekos di jakarta ini.
Yang aku ceritakan adalah kisah pengalamanku berawal beberapa bulan lalu dan kisah itu masih berlanjut hingga saat ini.
Tidak begitu jauh dari tempat kost ku ada sebuah warung tenda pecel lele. Ada satu yang membuatku sering beli makan malam disana. Kalau dilihat dari rasa,biasa saja sama seperti tempat yang lain. Standar lah rasanya.
Fokus aku cuma satu. Sang penjaga warung itu adalah seorang ibu-ibu setengah baya,45 tahunan mungkin. Sampai2 dia sudah hapal aku sering kesana.
"Bu de..satu ya. Biasa dada".
"Sebentar ya mas".
Kebetulan sekali memang ia mempunyai buah dada yang besar,serasi dengan bentuk tubuhnya yang gemuk atau montok. Wajahnya biasa2 saja.
Aku mencari akal supaya bisa ngbrol lebih jauh sekalian pdkt.
"Bu de,ada nomer wa gak. Biar aku gampang kalo mesen. Jadi ntar kalo mau makan. Pesen dulu lewat wa,ntar kan tinggal ambil".
"Oh ada mas,nanti ya. Saya goreng dulu ayamnya".
"Makasih Bu de".
Setelah selesai semua ia memberikan nomer WhatsAppnya.
"Ini ya mas nomernya". Ia menyodorkan ponsel yang tertera nomer WhatsAppnya.
"Ok Bu de makasih ya".
***
Beberapa hari kemudian aku coba menghubunginya lewat WhatsApp.
"Bu de,ayam ya. Dada. Satu bungkus aja".
Agak lama. Mungkin lagi rame. Tiba2 ada balasan.
"Ini siapa ya?".
"Saya Tio yang kemarin itu minta nomer Bu de".
"Oh iya mas. Abis belum ada namanya. Dada ya mas?".
"Iya Bu de".
Tidak berapa lama ia menghubungiku lagi.
"Dadanya udah siap mas".
"Ok saya kesana".
Itulah awal dari perkenalanku. Seiring berjalannya waktu,aku sering menghubunginya diluar jam ia buka warung.
"Halo Bu de".
"Iya mas,ada apa? Mau mesen dada lagi? Belum siap mas. Masih diolah. Kan masih siang".
"Gak koq,cuma mau ngobrol aja. Boleh? Lagi gak sibuk kan?".
"Gak koq mas,kan nyiapin anak buah saya".
Lama aku chatingan dengannya. Ia telah bersuami, suaminya punya Warkop tapi agak jauh dari tempat tinggalnya. Pulang tiga hari sekali.
"Mas koq kalo pesen ayam suka dadanya sih? Gak yailsin,paha atau sayap gitu".
Tiba2 saja ia menanyakan hal itu.
"Ya kan kalo dada dagingnya banyak. Jadi kenyang".
"Oowh... dagingnya banyak digigitnya enak ya mas".
"Ya gitu deh. Kayak dada Bu de itu. Gede". Aku pancing2 dulu mau tau reaksinya.
"Hhhmmmm... emang dada saya gede disamain dengan dada ayam..😊😊😊".
"Iya,tapi bukan disamain lho ya..".
"Jadi apa dong?".
"Digigitnya pasti enak".
"Cuma dada aja?".
"Ya kan aku belum liat".
"Mau liat?".
"Hhhmmmm... 😊😊😊".
"Udah dulu ya mas. Saya mau nyiapin bumbu".
Malam harinya aku hubungi dia lagi.
"Bu de... dada Bu de ya...eh salah...dada ayam satu, biasa".
"Awas salah ketik lho".
***
Biasanya ia tutup warung jam 1. Aku tunggu sampai ia selesai.
"Warung udah tutup Bu de?".
Lama ia tak membalas walau centang dua.
"Iya mas,baru nyampe rumah".
Akhirnya ia membalas.
"Suami Bu de ada?"
"Koq nanyain suami?".
"Iya takut aja kalo dibaca suami Bu de".
"Besok pulangnya".
"Oooowwwhhh...udah mau tidur ya?".
"Capek tapi belum ngantuk".
"Pijitin dong biar lemes badannya".
"Gak ada yang mijitin".
"Ya besok kalo suami Bu de pulang ".
"Padahal capeknya malam ini".
Ia mengirim sebuah foto dirinya rebahan dikasur dengan wajah sebagian tertutup. Dadanya bagian atas yang besar dan putih itu sedikit terlihat.
"Hhhmmmm... keliatan tuh dadanya".
"Mas suka banget ya dada".
"Banget".
Selanjutnya ia kirim foto dirinya tampak dari samping, hingga dadanya yang besar itu kelihatan sekali walau masih mengenakan daster. Aku balas dengan mengirim foto bagian dada hingga kaki,jadi saat aku mengenakan celana boxer, tonjolan penisku yang tegang itu terlihat jelas.
"Iiiihhh apa itu yang nonjol?"
"Kira2 apa ya?"
Lama ia tak membalas.
"Telponan yuk". Ajakku.
Lama juga tak dibalasnya.
"😘😘😘😘". Akhirnya ia membalas.
Segera saja aku telpon langsung. Untuk beberapa saat barulah dijawabnya.
"Kenapa koq telpon ?"
"Gak apa2 pengen aja".
"Pengen apa?".
"Pengen....dada...". Jawabku.
Hening. Namun kudengar nafasnya.
"Mas lagi apa..?".
"Lagi megang...".
"Megang apa...?". Suaranya mulai mendayu.
"Megang dada".
"Mas mau?".
"Boleh?"
"Hhhmmmm...".
Aku tau dia sedang dalam keadaan gairah. Pasti kelamaan ditinggal suaminya walaupun hanya tiga hari.
"Bu Dee...boleh gak megang dada Bu de?".
"Koq megang aja..".
"Gigit juga...".
"Sakiiit dooong kalo digigit".
"Jilat juga yaaa..".
Terdengar desah nafasnya.
"Terus apa lagi masss...?".
"Kenyotin semuanya ya Bu Dee...".
"Hhhmmm...apa lagi mas..?".
"Aku jadi ngebayangin Bu de".
"Ngebayangin gimana?".
Akhirnya malam itu aku phonesex dengannya. Desahan nafasnya membuatkupun ikut terbuai. Suara2 kocokan pada memeknya begitu jelas sekali terdengar. Hingga saat ia klimaks.
"Maaaas tiiiiooo...saya keluuuaaarrrr...".
Desah nafasnya terengah-engah. Kukirim foto kontolku yang sedang dalam keadaan berdiri.
"Iiiihhh...maaasss...maaauu....".
"Mau Bu de apain kontol aku?".
"Saya jilat...saya gigit2 juga ya...".
"Hhhmmmm... aaahhh...".
"Iya maaass...aaah...saya jepit pake dada saya ... aaaaahhhh "
Suaranya mempercepat gairahku. Aku tak tahan lagi. Aku keluarkan semuanya. Celanaku belepotan oleh maniku yang muncrat. Aku foto dan kukirim padanya.
Selang beberapa lama,ia mengirim foto dadanya yang terlindungi oleh bhnya.
"Bikin aku penasaran pengen gigit".
"Iya maaasss...gigit semuanya ya... ssssshhh... aaaahhhh...".
***
Itulah phonsex pertamaku dengannya. Setelah beberapa kali phonesex saat tidak ada suaminya. Ia mulai berani mengajakku untuk bertemu. Tentu saja pertemuan itu pada sebuah hotel.
(Bersambung)

Obsessed with sex 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang