27

221 43 11
                                    


Jaehan berjalan menuju tempat yang akhir-akhir ini rutin ia sambangi.

Rumah sakit. Tempat di mana Yechan dirawat.

Terhitung sudah hampir dua minggu Yechan di sana, namun belum ada tanda pria itu diperbolehkan pulang.

Rumah yang mereka tinggali terasa semakin sepi. Jika itu dulu, Jaehan mungkin tak akan peduli, tapi berbeda dengan saat ini. Semua yang ia lakukan di dalam rumah itu terasa salah.

Seringkali ia hanya duduk, melamun, dan berujung dengan menangisi hal yang tak ia mengerti. Apakah ia menangis karena merasa bersalah atau ia yang menangis karena mulai menyadari bahwa sebenarnya  ada rasa di dalam hatinya untuk sang tunangan.

Setiap kali teringat akan musibah yang dialami Yechan, akan terbersit pula perasaan gamang karena tahu Yechan seperti itu karena dirinya yang tak tahu malu.

Jaehan sendiri tahu bahwa kecelakaan itu cukup berat, keberuntungan karena Yechan tak terlambat mendapat pertolongan.

Sesuatu yang ia syukuri, tak peduli jika ia kini memiliki hutang budi.



Jaehan berjalan pelan dengan satu keranjang besar berisi beraneka ragam buah-buahan, ia cukup yakin jika Yechan akan menyukai ini.

Tak lupa mengetuk pintu, Jaehan masuk ke ruangan itu dengan wajah ceria meski siapapun pasti bisa melihat sembab di mata indahnya.

"Yechanie ..."

Pintu terbuka, rupanya tak hanya ada Yechan di sana, melainkan satu pria yang ia kenal belum lama.

"Hyuk-ssi, kau juga di sini? Sudah lama?"

Yang Hyuk tersenyum dan mengangguk dengan canggung. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, tapi cerah di wajah Yechan sudah cukup menjelaskan jika itu menyenangkan.

Tiba-tiba Jaehan merasa iri. Ada cemburu di dalam hati, walau ia tetap harus pura-pura tidak memahami bahwa ekspresi Yechan berubah sangat cepat begitu ia memasuki ruangan.

Senyum itu menghilang, sorot mata Yechan pun berubah dingin. Tak jauh berbeda seperti tatapan semua orang pada dirinya saat ini.

Tak hanya ibu mertuanya, tapi ayah dan ibunya pun menunjukkan rasa kecewa yang sama. Jaehan tak bisa apa-apa selain menerima. Ini memang kesalahannya. Minta maaf pun tak lagi berguna. Menangis tak lagi bisa mencuri simpati.

Bahkan cinta yang Yechan miliki, ia yakin itu sudah berubah menjadi benci.

Tak peduli, Jaehan tak bisa membiarkan Yechan pergi meninggalkannya dengan cara seperti ini.

Ia akan berusaha memperbaiki meski harus merasakan sakit berkali-kali. Lagi pula, tak mungkin rasa sakitnya melebihi luka yang selalu ia torehkan di hati Yechan selama ini.

Ini bukan apa-apa, Jaehan percaya dirinya bisa menahan semua ...


**



Hyuk berdehem, menyadarkan Jaehan dari lamunan.

"Yechan-ah, karena Jaehan sudah datang, aku pamit pulang. Jika ada waktu, aku akan kembali lagi besok." ucap Hyuk berusaha menenangkan sang teman baru yang ia tahu sangat kesepian itu.

Tak banyak kata, Yechan hanya memberi anggukan saja. Sampai Hyuk berlalu, barulah Jaehan mendengar lagi suara sang tunangan yang benar-benar dingin menusuk hatinya saat itu.

"Kenapa kau ke sini lagi?"

Yechan tampak tak mengerti, mengapa setelah ia mulai mengikhlaskan, Jaehan justru terus menerus datang menyambangi. Tak seperti mereka memiliki ikatan apapun lagi. Hubungan mereka sudah berakhir dan akan lebih baik jika mereka tak bertemu atau saling melihat seperti ini.

Kondisinya mulai membaik, meski Yechan masih harus bersabar karena belum diizinkan untuk kembali. Yang jelas, ia tak memerlukan Jaehan di sini.

"Yechanie-"

"Jika kau merasa bersalah, kurasa ... itu tak perlu. Aku sudah memaafkanmu, jadi bisakah kau berhenti mengunjungiku? Bisakah kau menjauh dariku?"

Tak ingin menatap Jaehan terlalu lama, Yechan lagi-lagi mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Selalu itu yang ia lakukan setiap kali Jaehan ada di sana. Hari ini masih beruntung karena ia mau membuka mulutnya, biasanya Yechan akan memilih diam sampai Jaehan bosan dan pergi sendiri.

Sementara di sisi Jaehan, tentu saja hatinya sedikit terkoyak atas kalimat yang Yechan lontarkan.

Mana mungkin ia berhenti mengunjungi? Ia bahkan merasa khawatir setiap hari.

Ini semua salahnya, Yechan juga tak perlu memaafkannya. Akan lebih baik jika Yechan marah padanya, memakinya, dan menusuk hatinya dengan semua kalimat kasar yang Jaehan yakin itu jauh lebih baik dari pada Yechan mendiamkannya, bahkan bicara tanpa ada sedikit pun nada kepedulian di sana.

"Yechanie, kita bisa memperbaiki hubungan ini. Kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini."

Tawa Yechan menggema. Jaehan bisa merasakan bahwa itu adalah sebuah ketidak percayaan yang nyata.

Jaehan tahu ia tak tahu malu, tapi ia bersungguh-sungguh saat berkata ingin berubah, berjanji untuk tidak akan pernah lagi berulah.

"Yechanie, jebal ..."

Akan tetapi, meski Jaehan menunggu, Yechan tak mengatakan apapun lagi setelah itu.




**



**

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


a.n : btw, terimakasih buat yang sudah ninggalin vote dan komen ya ❤️

Unwritten Destinies ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang