08

310 46 1
                                    


"Hyung, tanggung jawab itu ... bukankah seharusnya berada di pundakmu?"

 bukankah seharusnya berada di pundakmu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Benar. Ayahnya lebih dulu menawari Hangyeom, namun pria itu menolak.

Sebagai anak pertama, seharusnya ia yang lebih berhak, mungkin juga  ... lebih bertanggungjawab dibandingkan adiknya. Akan tetapi, ia memang tidak menyukai laki-laki. Bahkan meski suka, ia tak mau memiliki pasangan dari hasil perjodohan. Tak peduli sekaya apapun Kim Jaehan, Hangyeom ingin memilih sendiri pasangannya.

Walaupun tak bisa ia pungkiri bahwa selama ini ada rasa bersalah juga di hati. Karena ia menolak, semua tanggung jawab dibebankan pada Yechan.

Pernah Hangyeom bertanya, "Kau tak ingin menyerah saja?"

Tahu bahwa Tuan Muda Kim itu sedikit sulit diatur. Namun, Yechan hanya terkekeh tanpa memberikan jawaban yang memuaskan.

Mungkin sebenarnya juga adiknya itu sama sekali tak keberatan. Hanya saja, setiap kali ditanya tentang perasaan, Yechan lebih banyak mengabaikan.

Perasaannya mungkin adalah sesuatu yang ingin Yechan simpan sendirian.

**

Malam hari setelah makan malam bersama Hangyeom, Yechan berada di ruang tamu dengan laptop yang sudah menyala. Kacamata juga bertengger di pangkal hidungnya.

Hangyeom masuk ke dalam kamar dan Yechan tak mau tahu juga. Ia lebih suka ditinggal sendirian begini daripada kakaknya itu banyak bertanya tentang hubungannya.

Yechan mendesah pelan, bahkan  meski tak berada di rumah Jaehan, pekerjaan dan tugasnya tetap sama -tetap harus ia syukuri karena setidaknya berkurang satu bebannya saat ini.

Sayangnya, itu tak berlangsung lama, karena meski sedikit ringan bahunya, gelisah juga lama-lama ia rasa.

Menatap jam dinding, Yechan mulai bertanya-tanya, apa Jaehan sudah makan?

Apa Jaehan justru merasa senang alih-alih kehilangan?

Tentu saja.

Bagi Jaehan, dirinya hanya penghambat kesenangan. Lantas, apa yang sebenarnya ia harapkan?

Mungkin memang seharusnya sejak lama ia menyerah. Tak peduli jika ia akan disalahkan, yang Yechan inginkan untuk Jaehan hanyalah kebahagiaan.

Ini ... adalah sebuah ketulusan.

Namun, bagi Jaehan, tak ada nama Yechan dalam bahagia yang pria itu inginkan.

Cukup lama Yechan tenggelam dalam kekhawatiran, sampai ia merasakan getaran yang berasal dari ponselnya.

Harap-harap cemas, dan saat melihat siapa yang menghubunginya, Yechan tak mampu menyembunyikan senyuman di wajahnya.

Ya, itu Kim Jaehan.

Jaehan dengan suara lembut terdengar ragu memanggilnya saat itu.

"Ada apa?" tanyanya. "Kau sudah merenungkan dan memutuskan?"

"Uhm. Aku ... ingin bertemu."

**

Yechan sudah mengatakan bahwa ia yang akan datang jika Jaehan sudah tahu apa yang dirinya inginkan.

Ini sudah larut, namun karena Jaehan menghubunginya, tak ada alasan bagi Yechan untuk tetap diam.

Mematikan dan menutup teleponnya, Yechan berdiri meraih jaket. Lupa bahwa kacamata masih setia dipakainya.

Cara mengemudinya sedikit tergesa, namun masih terkendali seperti biasa.

Sepuluh menit, dan Yechan sudah tiba lagi di rumah yang sudah lama ia tempati. Bersama tunangannya, laki-laki yang bahkan belum pernah disentuhnya.

"Kim Jaehan!"










"Kim Jaehan!"

Jaehan yang sedang duduk berkumpul di pinggir lapangan basket sekolah, menoleh atas panggilan itu.

Shin Yechan, pemuda itu sudah berdiri dengan tatapan yang tak Jaehan sukai.

"Sebentar, Teman-teman. Yang satu ini sedikit rewel jika aku abaikan."

Meninggalkan teman-temannya yang sudah heboh sendiri di belakang, Jaehan mengabaikan suara-suara mengejek itu untuk menghampiri pemuda yang baru saja ditunangkan dengannya.

"Ada apa? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling menyapa saat di sekolah?"

Yechan masih melihat ke arah teman-teman Jaehan. Tak lupa dengan kening berkerut yang sebenarnya cukup imut.

Hanya saja, justru Jaehan yang tampak cemberut.

"Jangan menatap mereka seperti itu."

"Aku tidak menyukai mereka."

"Hah?!"

Tentunya Jaehan tak memahami ke mana arah pembicaraan Yechan yang sebenarnya. Tiba-tiba datang dan berkata tak menyukai teman-temanya, yang bahkan Jaehan sendiri yakin jika Yechan tak mengenal mereka semua.

"Jangan bergaul lagi dengan mereka. Bukankah mereka yang suka mengajakmu ke club malam, padahal usia kalian saja belum legal?"

Jaehan memasukkan kedua tangan ke dalam saku, memandang Yechan dengan tatapan  meremehkan, "Dan ... apa urusanmu dengan apa yang kami lakukan? Di luar rumah, kau bukan siapa-siapa untuk bisa mengaturku?"

"Begitu?"

Anggukan mantap Jaehan berikan. Tak peduli tunangan, tak peduli juga jika mereka sudah tinggal bersama ... bagi Jaehan, Yechan tetap bukan siapa-siapa untuk bisa melarangnya melakukan apa saja.

"Baiklah."

Setelah mengatakan itu, Yechan pergi dari tempat di mana Jaehan masih berdiri mematung, bingung.

Berdecak, Jaehan menggerutu pelan, "Dia itu kenapa, sih?"

Yang tentu saja, penyesalan datang saat malam.

Jaehan mendapati pintu rumahnya terkunci, tak bisa dibuka sama sekali. Tak peduli sudah berapa kali ia berteriak dan menendang pintu, tak ada satu pun pelayanan yang membukakan.

Bahkan Yechan.

Jaehan jadi teringat kata-kata sendiri bahwa di luar rumah, Yechan bukanlah siapa-siapa. Akan tetapi, semua berbeda jika sudah di sini.

Berlari ke arah halaman, Jaehan mendongak, yang sudah pasti ada Yechan yang berdiri menatapnya. Tak ada penjelasan, tak ada belas kasihan.

"Buka pintunya, Brengsek!"

Hanya saja, apa yang ia harapkan dari seorang Shin Yechan?

Dengan tergesa, Jaehan merogoh saku, mengambil ponsel untuk menelpon sang ibu.

Ia bisa lihat Yechan yang masih tak bergeming menatapnya. Berdiri dengan wajah angkuhnya.

Tak peduli jika akan membuat Yechan semakin marah, Jaehan mengangkat tangan, memberi jari tengah pada sang tunangan tanpa keraguan.

Sampai suara ibunya terdengar, barulah Jaehan menundukkan kepala. Tanpa tahu, bahwa pemuda yang berdiri di balkon saat itu tengah menyunggingkan senyum karena tingkahnya yang dinilai sangat lucu.

"Imutnya ..."

Unwritten Destinies ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang