05

327 43 11
                                    

Anehnya, meski Jaehan berkata akan membuktikan, rasa malasnya tetap mengalahkan semua.

Seolah lupa, hari-hari ia lalui dengan biasa. Tidak berguna -jika Yechan boleh mengatakannya. Mungkin sengaja juga karena pemuda itu bahkan tak mau repot-repot mengingatkannya.

Setelah Yechan yang mengamuk dengan membuang bantal dan selimut Jaehan beberapa waktu lalu, Jaehan sementara tak membawa siapapun ke rumahnya.

Tak ada pelacur, tak ada pesta, setiap hari ia hanya bebaring dengan malas di kamarnya.

Yang tentu kedamaiannya itu hanya berlangsung sesaat saja, karena hari itu ia benar-benar tidak sanggup lagi untuk menahan dirinya.

Sedari sore, ia sudah mondar-mandir dengan gelisah dan tidak tenang. Melihat jam, ia mendapati masih cukup lama sampai Yechan pulang.

Pemuda itu memang sudah diminta membantu di perusahaan keluarganya. Sempat menjadi perdebatan juga di antara keduanya, walau lagi-lagi mulut pedas Yechan membuat Jaehan terdiam.

"Aku tidak akan repot bekerja di sela waktu belajarku jika saja kau sebagai putra satu-satunya itu berguna bagi mereka."

Jaehan mendesah, bagaimana ia bisa bersama seseorang yang hanya memarahinya saja setiap harinya?

Jaehan bahkan tak pernah melihat Yechan tertarik secara seksual dengannya. Akan tetapi, pria itu selalu dan selalu menyuruhnya untuk berhenti. Jika Yechan memang memintanya untuk berhenti, lantas mengapa bukan pria itu saja yang melayani?

Jaehan membakar lagi gulungan tembakau yang ia punya, berharap bisa lupa, atau bahkan tidur setelahnya. Namun, batang demi batang ia habiskan, tetap saja tak bisa menggantikan hasrat yang sudah berada di ujung kepalanya.

Dengan tergesa, Jaehan menelpon salah satu teman, berharap bisa menyediakan. Yechan sudah memberi ancaman, jadi meski tak sudi untuk mengakui, Jaehan harus begegas sebelum pria itu kembali.


Lima belas menit ia menunggu, hingga datang juga satu pria yang pernah juga ia sewa sebelumnya.

"Cepat bersihkan dirimu, jangan membuatku lama menunggu!"

**

🔞

Niatnya, Jaehan hanya akan sebentar saja memakainya. Menggunakan mulut akan sempurna karena sedikit waktu yang dimilikinya.

Namun, Jaehan masih merasa belum terpuaskan juga.

Beruntung, ia sudah meminta pelacur ini untuk membersihkan diri tadi. Jadi, dengan cukup keras Jaehan mendorong pria itu hingga jatuh ke atas sofa kamar tidurnya.

Tawa kecil menggoda terdengar di telinganya, dengan seringai nakal, Jaehan langsung mengangkat satu kali pria itu ke atas bahunya. Hanya saja, belum juga kemaluannya masuk ke dalam lubang senggama pelacur di bawahnya, Jaehan merasakan tarikan keras pada bahunya.

"Akh!"

Dengan keras, Jaehan dibanting ke atas ranjang. Bahkan meski itu empuk, ia tetap dibuat terkejut.

Sementara berusaha memahami apa yang baru saja terjadi, Jaehan membolakan mata seketika itu juga saat melihat Yechan yang menghajar pria sewaannya.

"Shin Yechan-"

Yechan menoleh, tatapan mata yang belum pernah Jaehan lihat cukup untuk membuatnya terdiam. Suaranya langsung teredam. Entah dari teriakan ataupun dari umpatan dan pukulan yang Yechan layangkan.

"Pergi! Enyah dari sini! Jika orang ini memanggilmu lagi-" Yechan menunjuk Jaehan yang masih tenggelam dalam keterkejutan, "-abaikan saja, atau kau yang akan aku bunuh saat itu juga."

Jelas jika Yechan sudah mengatakannya, itu bukan sekedar ancaman kosong belaka.

Pria itu mengangguk ketakutan. Tanpa perlu Yechan perintah dua kali, pelacur itu segera pergi setelah kembali berpakaian, dan mengumpulkan uang-uang berserakan yang tadi sempat Yechan lemparkan.

Dengusan Yechan terdengar bersamaan dengan gumaman, "Sekali sampah, akan tetap menjadi sampah."

Selesai dengan itu, barulah atensi Yechan kembali pada Jaehan. Masih duduk di atas tempat tidur, tanpa sehelai pun benang yang menutupi tubuhnya.

Kali ini, tak ada tatapan mata nyalang ataupun sikap membangkang seperti yang biasa ia lakukan.

Yechan mendekat, menarik simpul dasinya hingga penampilannya yang tadi rapi, kini semakin berantakan.

Jika tidak diselimuti kemarahan, mungkin siapapun akan dengan senang hati memujinya tampan.

Sementara Jaehan hanya terdiam. Menunggu apa yang akan tunangannya itu lakukan.

"Kim Jaehan, apa ucapanku sebelumnya hanyalah lelucon bagimu?"

Jaehan biasanya akan dengan lantang menjawab, hanya saja saat itu kemampuan bicaranya seolah menguap.

"Aku tahu masa depanmu sudah digariskan dan ditulis dengan sempurna. Tapi, tidakkah kau tahu bahwa ada takdir yang perlu kau tulis sendiri agar hidupmu bahagia?"

Jaehan menggigit bibirnya.

"Jika bukan karena orang tuaku, aku sudah menyerah sejak dulu. Tiga tahun kita bersama-"

Yechan tertawa, tawa yang tak menyenangkan bahkan untuk Jaehan dengarkan. Itu ... sedikit menyakitkan.

"Sebenarnya apa yang sudah kulakukan? Aku menyerah, aku tak ingin lagi menyia-nyiakan masa mudaku untuk tuan muda seperti dirimu."

Ia pikir Yechan mendekat adalah untuk memukulnya, namun setelah mengatakan hal itu, Jaehan justru mendapati Yechan melepaskan cincin tunangan mereka, meletakkan di atas meja, dan tanpa mengatakan apapun lagi, pria itu langsung pergi meninggalkannya.

Cukup lama Jaehan mencoba mencerna, namun tak ada apapun yang terlintas dalam benaknya selain ia yang harus mengejar Yechan saat itu juga.

Tidak benar-benar mengerti apa alasannya, Jaehan hanya berpikir untuk menahan Shin Yechan.

Itu saja.

Melompat dari tempat tidurnya, Jaehan mengambil pakaian, dan dengan cepat berlari menuruni tangga.

Ia berharap Yechan belum melajukan mobilnya, atau ia benar-benar akan mati jika ayahnya sampai tahu soal ini.

"Tunggu! Shin Yechan!"


"Tunggu! Shin Yechan!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Unwritten Destinies ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang