10

273 41 4
                                    


"Haruskah aku memintanya datang?"

Tapi, jika meminta Yechan kembali, itu artinya ia kalah, ia menyerah, dan pasti Yechan akan jauh lebih keras mengekangnya setelah ini.

Jaehan melempar ponselnya, dengan putus asa mengacak-acak rambut hitamnya.

"Sial! Apa yang harus aku lakukan?"

Karena ia yakin orang tuanya akan segera mengetahui.

Cepat atau lambat, ia tak akan bisa menyembunyikan apapun lagi.

"Tapi ..."

Jaehan berdiri, memungut lagi ponselnya yang beruntung tak pecah ataupun rusak akibat ia lempar sembarangan.

Dengan sedikit ragu, meski cukup tahu bahwa ketakutannya pada sang ayah melebihi keraguannya saat itu, Jaehan mencari nomor Yechan dan menelponnya.

Suara berat menyapa, membuat Jaehan sedikit tergagap karenanya.

Ada apa?" tanya Yechan. "Kau sudah merenungkan dan memutuskan?"

Jaehan mengangguk. "Uhm. Aku ... ingin bertemu."

Tak ada respon lagi setelah itu. Teleponnya dimatikan dan Jaehan hanya bisa berharap bahwa Yechan akan datang. Sesuai janjinya, bahwa pria itu lah yang akan menghampirinya.

Jaehan pun turun dan saat melihat jam dinding, barulah ia menyadari bahwa sebenarnya ini sudah larut sekali.

Tiba-tiba, ada rasa tak enak dalam hati. Seharusnya besok pagi saja, akan tetapi ia menyadari bahwa waktu sangat berharga di sini.

Bukan tanpa alasan mengapa ia begitu takut ayahnya mengetahui. Berkali-kali ia melakukan kesalahan dan sang ayah selalu memaafkan, ibunya juga cenderung memanjakan. Namun, sejak kehadiran Yechan, begitu banyak terjadi perubahan.

Entah apa yang pria itu katakan, yang jelas pasti berupa ancaman akan pembatalan perjodohan.

Jaehan bahkan sempat berdecih. Seolah tak ada orang lain saja, pikirnya.

Yechan sangat keras dan tegas pada pendirian. Jaehan berpikir mungkin itulah yang mencuri hati ayahnya saat ini.

Sekarang, ia hanya perlu menurut, akan lebih baik jika ia bisa mengambil simpati atau bahkan hati dan kasih sayang tunangannya ini. Siapa tahu jika begitu, kebebasan akan diberikan padanya lagi.

Tak ada salahnya mencoba, Jaehan juga merasa tak keberatan kembali berdekatan dengan Yechan.

Menahan diri untuk sementara, akan jauh lebih baik daripada kehilangan segalanya.

Dan benar saja, seperti yang ia duga, Yechan datang, dan langsung memanggil namanya.

"Kim Jaehan!"

"Kim Jaehan!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

Yechan menyimak, setidaknya berusaha mendengarkan apa yang tengah dikatakan oleh calon ayah mertuanya di depan sana.

Namun, jujur saja dalam rapat kali ini, Yechan tak bisa berkonsentrasi sama sekali. Pikirannya kembali pada perkataan atau bisa dibilang sebagai permintaan Jaehan dini hari tadi.

"Kau ingin aku berubah? Jika begitu, bisakah kau  juga memperlakukanku sebagai tunanganmu? Bisakah kau melakukan itu?"

Yechan mendesah. Jika ia pikirkan, memang selama ini mereka lebih seperti orang asing daripada pasangan yang sudah bertunangan.

Alasannya?

Tentu karena Yechan tahu bahwa dalam waktu-waktu yang sudah berlalu, hati Jaehan tak pernah jatuh padanya. Yechan hanya tak ingin menambah kebencian Jaehan.

Kini, Jaehan meminta mereka bersikap layaknya pasangan. Apakah itu sungguhan? Atau ... ini hanya sebuah jebakan agar ia memberikan kebebasan?

Jahat memang saat ia berpikir demikian, namun dari sifat, sikap, dan tingkah laku Jaehan selama ini, tak mungkin bisa berubah hanya dalam waktu semalam saja.

Yechan merasa ia tetap harus menaruh curiga, walau ada bahagia juga yang terselip di sana.






"Yechanie, ada apa?"

Yechan tersentak saat pundaknya ditepuk pelan. Mengerjap, ia sedikit kebingungan saat ruangan rapat sudah sepi.

Kenapa ia tidak menyadari?

Menatap ke arah calon ayah mertuanya, Yechan meminta maaf karena kehilangan fokus hari ini.

"Tidak apa-apa, tapi tidak biasanya kau seperti ini. Ada apa, Yechanie? Apa Jaehan berulah lagi?"

Yechan ingin mengatakan iya, namun yang bisa ia berikan hanya gelengan dan kalimat klasik bahwa ia baik-baik saja.

"Jangan sungkan untuk mengatakannya. Aku tahu peringai anakku, Yechanie. Jangankan dirimu, aku dan ibunya yang merawat sejak ia masih bayi pun tak pernah didengarkan. Dia menurut hanya karena takut semua fasilitasnya aku cabut."

Yechan mengangguk. Tak ada penyangkalan, karena ia pun sama merasa kesulitan. Walau tetap, tak ada sedikit pun rasa keberatan.



"Ayah, jika aku meminta pernikahan kami dipercepat, apa menurutmu itu adalah tindakan yang tepat?"





"Ayah, jika aku meminta pernikahan kami dipercepat, apa menurutmu itu adalah tindakan yang tepat?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Makasih lagi buat sipalinglollipop yang udah bagi2 foto gemesnya jaehan xixixiixxix💙

Unwritten Destinies ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang