17

256 39 3
                                    

"Tak biasanya kakakmu datang, apa kau mengadukanku padanya?" tanya Jaehan saat melihat tunangannya itu sudah kembali masuk ke dalam rumah.

"Kalian sangat akrab, mengapa tidak bertanya sendiri saja?"

Jawaban ketus itu tentu membuat Jaehan mengerutkan kening.

"Dia itu kenapa, sih?"

Akan tetapi, ia sedang malas bertanya, apalagi jika harus menyusul sang tunangan yang entah mengapa senang sekali mengurung diri di ruangan pribadinya.

Karena lelah dan mengantuk juga, Jaehan pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Niat ingin mandi, lalu tidur mengingat ia harus bangun lebih awal karena besok ada kuliah pagi.

Bukan karena rajin, tapi ia tidak mau mendengar ocehan Yechan saat ia susah dibangunkan. Terlebih tak ada sedikitpun toleransi waktu yang pria itu berikan.

Memikirkannya saja sudah membuat Jaehan kelelahan.

Mengharapkan kelonggaran, namun ia tahu jika itu juga hanya akan menjadi sebuah angan. Karena tidak tahu mengapa, kini ia merasa takut jika membuat pria itu meluapkan kemarahan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di dalam ruangan yang sebenarnya lebih sering ia gunakan untuk menenangkan diri, Yechan menatap ke luar jendela sembari memikirkan Jaehan.

Tentu, dalam pikirannya selama ini hanya ada pria itu. Pria yang tak pernah peka akan rasa yang sebenarnya tak jarang ia tunjukkan. Dari perhatian, keposesifan, bahkan perlindungan. Kenyataannya, Jaehan tak pernah melihat itu semua.

Kini, tak cukup dengan masalah perasaan dan juga restu untuk segera meresmikan hubungan, Yechan juga harus dikhawatirkan oleh keresahan atas kedatangan kakaknya.

Prasangkanya buruk dan Yechan tak bisa menghindari itu. Rasa percaya tertutup oleh curiga. Dari semua waktu, mengapa tidak dari dulu jika memang tak ada sesuatu?

Memijit kening, Yechan merasa sedikit pusing. Mungkin karena lelah, fisik juga pikiran, Yechan yang menyandarkan kepalanya, kini perlahan terpejam.

Dalam tidurnya yang sulit merasakan apa itu lelap, masih ada setitik harap.

Satu hal yang ia minta, Jaehan membuka hati untuk dirinya.







Yechan tertawa sumbang, "Saat itu, hanya satu hal itu yang kuinginkan dari dirinya, Hyuk."




**




"Aku menunggu lanjutan ceritamu, Jaehan Hyung."

Jaehan tersenyum, "Ayo kita bertemu besok. Tanpa mereka berdua tentunya, agar aku bisa lebih leluasa untuk bercerita." bisik Jaehan sembari melihat Yechan yang sudah duduk di balik kemudi. Masih mengobrol dengan Hyuk, sementara ia berpamitan  dengan Sebin.

Raut kecewa nampak di wajah cantik teman barunya. Namun, Jaehan menenangkan dengan janji yang pasti akan ia tepati esok hari.

Cerita antara dirinya dan Yechan masih panjang, tapi ini sudah larut malam, dan ia harus pulang.

Tadinya ingin menginap, namun Yechan melarang.

Jaehan paham. Tahu bahwa Sebin dan Hyuk masih terhitung sebagai pengantin baru. Rasanya takut mengganggu.

Berpamitan sekali lagi, Jaehan pun masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan sebelum benar-benar pergi.

Perlahan tapi pasti, mobil mewah milik Yechan mulai meninggalkan area apartemen yang Sebin dan Hyuk tempati.

Pasangan pengantin baru itu kembali ke unit mereka sendiri, sementara di dalam mobil, Jaehan meletakkan kepala di bahu Yechan. Meski tengah mengemudi, pria itu tak keberatan sama sekali.

Melewati keheningan yang cukup panjang, Jaehan mulai membuka suara. Lirih, namun cukup terdengar di telinga kekasihnya.

"Kau marah?"  suara Jaehan benar-benar terdengar seperti sebuah bisikan.

Tanpa Jaehan jelaskan, Yechan tahu kemana arahnya.

"Tidak. Cerita itu sudah lama berlalu, aku tahu betapa sulitnya bagi kita untuk memendam semuanya sendirian. Hyuk juga sudah tahu garis besarnya. Aku justru senang karena akhirnya kau memiliki teman untuk berbagi cerita."

Mendengar itu, Jaehan mendongak. Tanpa diminta, tanpa Yechan harus mengharap seperti di masa lalunya, ia pun mendekatkan wajah dan memberi satu kecupan di pipi Yechan.

"Terima kasih."

Yechan tersenyum, satu tangannya yang tak lagi sibuk pun terulur. Usakan lembut di kepala membuat mata Jaehan terpejam. Ada rasa nyaman, namun juga mampu membuatnya merasakan lagi besarnya penyesalan.

Demi apapun, jika Yechan memintanya untuk berlutut, Jaehan tak akan ragu untuk melakukan itu.

Namun, Yechan tak pernah ingin menyakitinya. Itu yang justru terasa menyiksa.

Kesalahannya selalu dimaafkan, namun ia tahu rasa sakitnya tak akan pernah terlupakan.

Hanya karena cinta yang pernah diikrarkan, pria itu masih mau menerima dengan semua kekurangan yang dimiliki Jaehan.


Baginya, Yechan bukan lagi kesialan, melainkan keberuntungan. Keberuntungan yang tak akan pernah ia tukarkan dengan apapun juga.

"Sebentar lagi libur Natal, kau ingin kemana tahun ini, Yechanie?"

Yechan tampak berpikir, namun pada akhirnya hanya satu jawaban yang mampu membuat Jaehan tak tahu lagi bagaimana cara menjinakkan debaran di hatinya saat ini.

"Jawabanku akan selalu sama, aku akan pergi kemanapun kau mengajakku berlari, Jaehanie ...."

Unwritten Destinies ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang